KOMPAS.com – Satu dekade lalu, tepatnya pada 2010, penyakit ginjal kronis (PGK) menjadi penyebab kematian tertinggi ke-18 di dunia. Padahal, penyakit ini sebelumnya berada di urutan ke-27. Temuan ini merupakan hasil penelitian Global Burden of Disease.
Saat itu, lebih dari 2 juta penduduk di dunia didiagnosis PGK. Namun, hanya 10 persen yang mendapat kesempatan transplantasi ginjal. Minimnya akses pengobatan pun membuat angka kematian akibat PGK tinggi.
Di Indonesia sendiri, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi gagal ginjal pada laki-laki mencapai 0,3 persen lebih tinggi dibandingkan perempuan yang hanya 0,2 persen. Secara karakteristik umur, prevalensi gagal ginjal tertinggi ada pada kategori usia di atas 75 tahun.
Batu ginjal penyebab gagal ginjal
PGK sendiri merupakan kondisi di mana ginjal kehilangan kemampuan untuk menyaring kotoran, serta menjaga keseimbangan kimia dan cairan dalam tubuh. Disfungsi ini disebabkan beragam faktor. Salah satunya, batu ginjal.
Batu ginjal adalah endapan keras yang terdiri dari mineral dan garam di ginjal. Ada empat jenis batu ginjal.
Pertama, batu kalsium. Adapun kalsium yang menjadi pemicu batu ini adalah kalsium oksalat. Zat ini merupa kan senyawa alami yang biasa ditemukan dalam buah, sayuran, dan kacang-kacangan.
Kedua, batu struvit. Batu ini terbentuk sebagai respons tubuh terhadap infeksi saluran kemih (ISK). Endapan ini juga dapat berkembang dengan cepat sehingga tak jarang penderita akan merasakan gejala tidak nyaman pada tubuh.
Ketiga, batu asam urat yang biasa terjadi ketika seseorang mengalami dehidrasi akibat diare kronis atau malabsorpsi. Selain itu, dapat pula dialami oleh orang yang punya kebiasaan mengonsumsi makanan tinggi protein dan penderita diabetes, atau gangguan metabolis. Faktor genetik juga dapat meningkatkan risiko batu asam urat.
Terakhir, batu sistin. Gangguan ini biasanya terjadi pada penderita cystinuria yang merupakan kelainan herediter (genetik). Abnormalitas ini menyebabkan ginjal mengeluarkan terlalu banyak asam amino tertentu.
Faktor risiko
Risiko batu ginjal terdiri dari banyak faktor dan kondisi, antara lain genetik, pola hidup tidak sehat, obesitas, dan diet tertentu.
Adapun pola hidup tidak sehat yang memicu batu ginjal adalah tidak memenuhi kecukupan cairan tubuh. Risiko ini akan lebih tinggi jika dehidrasi terjadi secara intens.
Hal yang sama juga terjadi jika seseorang punya kebiasaan makan makanan tinggi protein, natrium (garam), dan gula. Terlalu banyak garam dalam makanan dapat meningkatkan jumlah kalsium yang harus disaring ginjal.
Sejumlah gangguan kesehatan pun bisa bermanifestasi menjadi batu ginjal, yakni radang usus dan diare kronis. Pada kondisi ini, kemampuan ginjal untuk menyerap kalsium dan air akan berkurang. Akibatnya, jumlah zat pembentuk batu dalam urine meningkat.
Kondisi medis lain, seperti asidosis tubulus ginjal, sistinuria, hiperparatiroidisme, dan ISK berulang juga dapat meningkatkan risiko batu ginjal. Begitu pula dengan orang yang habis menjalani operasi bariatrik.
Risiko batu ginjal juga muncul apabila seseorang yang mengonsumsi obat dan suplemen vitamin tidak sesuai dosis alias berlebihan. Contohnya, vitamin C, pencahar, antasida berbasis kalsium, obat migrain, dan antidepresan.
Gejala batu ginjal
Batu ginjal umumnya tidak menimbulkan gejala hingga penderita menyadari batu tersebut keluar-masuk ke ureter dan menghambat aliran urine. Alhasil, jumlah urine yang keluar sedikit atau tidak sama sekali. Kondisi ini yang membuat penderitanya sebentar-sebentar buang air kecil (BAK) alias beser.
Jika sudah begitu, ginjal biasanya membengkak dan ureter berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri dengan intensitas dengan intensitas beragam di sejumlah bagian tubuh. Salah satunya, di bagian pinggang, kemudian menjalar ke ulu hati, perut bagian bawah, dan selangkangan.
Sensasi tersebut bisa hilang-timbul dan dapat berubah. Misalnya, berpindah ke lokasi yang berbeda atau intensitasnya meningkat saat batu bergerak melalui saluran kemih.
Rasa sakit tersebut juga bisa terasa saat berkemih. Tak jarang, urine yang keluar berwarna cokelat atau kemerahan.
Pada kasus yang lebih parah, batu ginjal bisa membuat penderitanya mual dan muntah, keringat dingin, serta demam jika timbul infeksi.
Penanganan batu ginjal
Selain dilihat dari gejala klinis yang muncul, diagnosis batu ginjal dapat ditegakkan melalui beberapa prosedur pemeriksaan medis, mulai dari tes darah, tes urine, tes radiologi, hingga analisis sampel batu ginjal yang keluar dari urine.
Batu ginjal harus ditangani secepat mungkin untuk menghindari komplikasi, mulai dari hidronefrosis, penurunan fungsi, hingga gagal ginjal.
Karena itu, jika gejala-gejala medis di atas sudah terjadi, segera kunjungi dokter untuk mendapatkan penanganan yang tepat.
Terapi untuk batu ginjal sendiri bervariasi tergantung dari jenis batu, penyebab, dan tingkat keparahan. Jika masih berukuran kecil dengan gejala ringan, pasien tidak perlu menjalani operasi.
Pengobatan bisa dilakukan dengan banyak minum air dan konsumsi obat. Kemudian, terapi medis alfa bloker yang dapat merelaksasi otot pada ureter sehingga batu dapat keluar lebih cepat dengan rasa sakit yang minimal.
Sementara, penderita batu ginjal berat harus menjalani perawatan lebih ekstensif dan tindakan noninvasif, seperti extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL).
Namun, tak jarang, penderita juga perlu mendapat tindakan medis minimal invasif, seperti percutaneous nephrolithotomy (PCNL) dan operasi terbuka. Melalui tindakan medis ini, batu dapat dipecahkan dengan menggunakan alat pneumatik (getaran) ataupun laser.
Saat ini, Mayapada Hospital membuka layanan telemedisin untuk penyakit apa pun, termasuk batu ginjal. Bagi yang ingin menggunakan layanan tersebut, silakan hubungi 150770.
Sebagai informasi, pada kuartal IV 2021, Mayapada Hospital akan membuka cabang di Kota Surabaya, Jawa Timur. Tepatnya, di Jalan Mayjen Sungkono nomor 20, Surabaya Barat.