Advertorial

Pelecehan Seksual Lewat Platform Komunikasi Online Marak Terjadi Sepanjang Pandemi

Kompas.com - 09/12/2021, 22:35 WIB

KOMPAS.com – Kasus pelecehan seksual mengalami peningkatan selama masa pandemi Covid-19, meskipun pertemuan tatap muka minim dilakukan. Pasalnya, mayoritas pelecehan seksual terjadi dalam platform komunikasi digital.

Tercatat, 90 persen pelecehan seksual dilakukan melalui aplikasi pesan singkat seperti Whatsapp dan Line. Kemudian, 75 persen pelecehan seksual terjadi saat video conference yang berlangsung di aplikasi Zoom, Google Meet, dan Skype.

Akun media sosial pribadi pun menjadi medium pelecehan seksual. Sebanyak 78 persen korban pelecehan seksual melalui platform online selama pandemi mengaku pernah mengalami pelecehan di dua hingga tujuh media teknologi komunikasi sekaligus.

Fenomena tersebut dibahas dalam webinar bertajuk “Cegah dan Tangkal Bahaya Pornografi dan Pelecehan Seksual di Internet” yang diselenggarakan bagi masyarakat di Jakarta Utara, Rabu (17/11/2021).

Webinar tersebut diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital.

Dosen senior Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya sekaligus Accenture Development Partnership Lead Indonesia Dr Nia Sarinastiti mengatakan, pelecehan seksual lewat platform online memberi dampak yang tak kalah buruk bagi korban.

“Korban dapat diselimuti perasaan negatif, tidak nyaman, malu, marah, menjadi tidak percaya diri, bahkan depresi dan terpikir untuk bunuh diri,” papar Nia. 

Dampak tersebut akan lebih terasa ketika pelecehan yang terjadi dilakukan oleh individu dalam lingkungan kerja. Oleh sebab itu, menurutnya setiap perusahaan pun perlu membuat mekanisme pelaporan khusus yang imparsial, aman, dan konfidensial.

Selain itu, perlu ada kebijakan dan menerapkan sanksi tegas bagi karyawan yang melakukan tindak pelecehan.

“Akan lebih baik lagi jika perusahaan membentuk tim khusus yang terlatih dan responsif terhadap kebutuhan korban serta edukasi mengenai pelecehan seksual di lingkungan kerja. Dengan demikian, karyawan merasa aman,” katanya.

Lebih lanjut Nia mengungkapkan, pada dasarnya setiap orang rentan menjadi korban pelecehan seksual melalui platform digital sepanjang pandemi.

Waktu yang dihabiskan untuk mengakses platform komunikasi digital menjadi lebih banyak. Sementara itu, sifat anonimitas, terutama pada jaringan media sosial, membuat seseorang bisa saja menyalahgunakan kesempatan untuk melakukan pelecehan seksual lewat pesan.

Pada sesi key opinion leader, news anchor RCTI Shafinaz Nachiar yang menjadi narasumber menyampaikan bahwa berkembangnya kasus pelecehan seksual melalui platform online sangat terkait dengan literasi digital masyarakat.

“Kita diharapkan bisa menjadi pribadi yang semakin cerdas seiring dengan semakin berkembangnya teknologi,” imbaunya.

Tak hanya itu, terkait literasi digital, ia pun mengatakan masyarakat sebaiknya tidak mengonsumsi informasi yang tersebar melalui jaringan komunikasi digital secara mentah-mentah. Verifikasi tetap diperlukan sebelum meyakini dan menyebarkan informasi.

“Terkadang berita di TV atau koran saja bisa salah, apalagi melalui media sosial di mana orang yang menyebarkannya belum tentu kredibel dan belum mengerti tata caranya,” kata Shafinaz.

Menghindari jerat pornografi

Selain pelecehan seksual, penyebaran konten pornografi melalui platform online juga masif terjadi di masa pandemi.

Salah satu partisipan, Mega Syafitri, mengutarakan pertanyaan mengenai cara menghindarkan anak dari paparan pornografi yang berisiko memicu tindak kejahatan seksual.

Pertanyaan tersebut dijawab oleh dosen sekaligus konsultan sumber daya manusia (SDM) Dr Arfian, M Si.

Ia mengatakan, sebagai orang yang lebih dewasa orangtua perlu menanamkan pada diri anak untuk selalu menanggapi informasi di dunia digital dengan bijak. Selain itu, mememberi pemahaman mengenai efek destruktif konten pornografi.

“Berikan pemahaman tentang pelajaran agama, bahwa jika terpengaruh konten pornografi akan berdosa, dan bisa memberikan kesibukan lain untuk anak dari orang tua seperti berolahraga, ikuti kursus-kursus, dan lain sebagainya,” katanya.

Selain ketiga narasumber di atas, webinar juga menghadirkan peneliti dari Paramadina Public Policy Institute Septa Dinata, AS, M Si serta dosen Universitas Serang Raya dan IAPA Dr Delly Maulana, MPA

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian Gerakan Nasional Literasi Digital. Hingga akhir 2021, Kemenkominfo bersama Japelidi dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital akan terus menggelar webinar serupa. Kegiatan ini ditargetkan dapat menjaring 12,5 juta audiens hingga akhir tahun.

Informasi mengenai agenda dan cara berpartisipasi dapat ditemukan di akun Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com