Advertorial

Mengenal COREMAP-CTI, Program Strategis Pemerintah dalam Melestarikan Terumbu Karang dan Kawasan Pesisir

Kompas.com - 11/12/2021, 10:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Kelestarian sumber daya laut dan pesisir menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia. Hal ini mengingat keduanya berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir sekaligus pemanasan global.

Untuk itu, sejak 1998, pemerintah telah menginisiasi program strategis Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP).

Executive Director Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) Dr Tonny Wagey menjelaskan, COREMAP-CTI hadir sebagai respons keprihatinan dunia atas degradasi wilayah pesisir, utamanya terumbu karang.

Program strategis tersebut bertujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola terumbu karang serta ekosistemnya agar tetap lestari.

Selain itu, COREMAP-CTI juga didesain untuk menghasilkan model inovasi pembangunan, terutama dalam mengelola ekosistem pesisir dan laut secara berkelanjutan serta mendukung upaya penanganan dampak perubahan iklim di sektor kelautan dan perikanan.

"COREMAP merupakan kegiatan dengan pendanaan terbesar dalam sejarah Indonesia, khususnya berkaitan dengan ekosistem pesisir yang di dalamnya mencakup terumbu karang. Artinya, ini kegiatan pengelolaan penyelamatan ekosistem terbesar dalam sejarah Indonesia," terang Tonny dalam sesi wawancara dengan Kompas.com, Senin (6/12/2021).

Tonny menjelaskan, kegiatan COREMAP terbagi dalam tiga fase. Fase pertama merupakan tahapan inisiasi yang berlangsung sejak 1998-2004.

Adapun inisiasi yang dimaksud berupa pengembangan landasan berupa data. Melalui data itu, kerangka kerja untuk pengelolaan terumbu karang di daerah prioritas dapat disusun.

"Kalau tidak dilakukan upaya penyiapan landasan, ancaman kerusakan terumbu karang oleh manusia bisa berdampak buruk. Bahkan, dampak yang ditimbulkan sama signifikannya dengan kerusakan akibat perubahan iklim," jelasnya.

Fase kedua, yakni percepatan atau implementasi, berjalan pada periode 2004-2011. Pada fase ini, aksi pemberdayaan masyarakat yang mendukung pengelolaan secara berkelanjutan terumbu karang dan ekosistem terkait mulai diimplementasikan.

Kemudian, fase ketiga atau pelembagaan yang berlangsung sejak 2014 hingga sekarang. Pada fase ini pula, COREMAP direstrukturisasi oleh pemerintah, tepatnya pada periode 2017-2019. Restrukturisasi menghasilkan perubahan pelaksana kegiatan.

Pada 2017, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menghentikan pelaksanaan proyek COREMAP fase ketiga. Proyek ini kemudian dilanjutkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai pelaksanaan kegiatan dan didanai oleh World Bank lewat skema loan.

Sementara, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melalui ICCTF diamanatkan untuk melaksanakan kegiatan yang didanai oleh hibah Global Environment Facility (GEF) yang dikelola oleh World Bank dan Asian Development Bank (ADB)

"Kami, ICCTF terlibat di fase ujung, yaitu fase ketiga, untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan ekosistem pesisir prioritas. Sementara, kelembagaan dalam monitoring ekosistem merupakan tanggung jawab LIPI," papar Tonny.

Adapun implementasi kegiatan COREMAP yang dilakukan oleh ICCTF-Bappenas juga sejalan dengan fungsi Bappenas sebagai enabler dalam pengembangan kawasan perairan secara terpadu.

Keberhasilan program pembangunan berkelanjutan COREMAP nantinya dapat dijadikan model untuk direplikasi di kawasan konservasi perairan (KKP) yang berada di daerah lainnya.

Agenda COREMAP-CTI 2020-2022

Tonny menjelaskan, total grant dari ADB untuk pelaksanaan kegiatan COREMAP pada periode 4 Maret 2020-31 Desember 2022 mencapai 5,2 juta dollar Amerika Serikat (AS).

Dana itu digunakan untuk mendukung pengelolaan di tiga KKP, yakni KKP Nusa Penida, Provinsi Bali, Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra, serta Taman Pulau Kecil (TPK) Gili Balu di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

"Lokasi proyek COREMAP-CTI ADB juga berada di kawasan perairan Lesser Sunda. Kawasan ini dikenal memiliki 76 persen spesies karang, 2.631 spesies ikan karang, serta 6 jenis penyu," jelasnya.

-Dok. ICCTF -

Kegiatan konservasi yang dilakukan meliputi perlindungan jenis ikan endemik, terancam dan dilindungi (endangered, threatened and protected/ETP), rehabilitasi ekosistem pesisir (mangrove, terumbu karang, dan lamun), serta membangun infrastruktur ekowisata.

Kemudian, kegiatan juga menyasar pada peningkatan sistem pengawasan. Untuk hal ini, ICCTF membangun menara pemantau berikut sarana dan prasarana pengawasan serta melakukan penguatan kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas).

“Kami memberikan pelatihan pada masyarakat yang tergabung dalam Pokmaswas supaya mereka bisa mandiri pada saat proyek ini selesai. Dengan begitu, keberlanjutan lingkungan terus terjaga," terang Tonny.

Selain itu, imbuh Tonny, pihaknya juga melakukan pengembangan usaha ekonomi, termasuk kegiatan pelatihan keterampilan, business plan, serta penyediaan prasarana dan sarananya. Ada pula kajian rantai pasok (supply chain) untuk komoditas-komoditas unggulan, seperti tuna, kakap, dan rumput laut.

ICCTF juga berupaya meningkatkan kapasitas personel dengan memberikan beasiswa pendidikan tingkat magister di University of Queensland (Australia) serta pelatihan terkait pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.

"Kami mengonsep Payment Ecosystem Services (PES) serta naskah akademiknya," jelas Tonny.

Sementara, grant dari World Bank digunakan ICCTF untuk menjalankan program konservasi yang mencakup tiga komponen. Pertama, efektivitas pengelolaan KKP dan konservasi jenis terancam.

-Dok. ICCTF -

Kedua, perencanaan wilayah pesisir terpadu. Ketiga, penata layanan sumber daya pesisir oleh masyarakat.

Program tersebut dijalankan di Taman Nasional Perairan Laut Sawu di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan tiga kawasan konservasi perairan di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat.

Tonny mengatakan, luasan marine protected area (MPA) di Laut Sawu merupakan kawasan konservasi terbesar di Indonesia, yakni mencapai 3,3 juta hektare (ha).

Sementara, kegiatan di Papua Barat mencakup suaka alam perairan Kepulauan Raja Ampat, Kepulauan Waigeo sebelah barat, dan KKP daerah Raja Ampat.

Kegiatan yang dilakukan meliputi pemanfaatan KKP oleh masyarakat secara berkelanjutan di Raja Ampat dan Laut Sawu.

Kemudian, implementasi Rencana Aksi Nasional (RAN) atau National Plan of Action (NPOA) Jenis Terancam di Raja Ampat dan Laut Sawu.

Ada pula dukungan implementasi terhadap pengelolaan wilayah pesisir terpadu atau Integrated Coastal Zone Management (ICZM) di Raja Ampat.

Program COREMAP juga ditujukan untuk memberi dukungan bagi kelompok masyarakat pengawas di Raja Ampat dan Laut Sawu.

"Selain memberdayakan masyarakat, kami juga membantu mereka mengelola sumber daya berbasis hak adat. Mereka diberi pemahaman untuk bisa memanfaatkan sumber daya dengan baik, tanpa harus merusak alam," tambahnya.

Selain itu, program juga akan memberikan akses wilayah pengelolaan sumber daya perikanan secara berkelanjutan untuk masyarakat setempat di Raja Ampat dan Laut Sawu.

Tonny menyebutkan, dana hibah yang dikelola ICCTF untuk fase ketiga sebesar 11,4 juta dollar Amerika Serikat (AS). Rinciannya, World Bank menyediakan dana sebesar 6,2 juta dollar AS dan ADB 5,2 juta dollar AS. 

"Sejak 1998 hingga saat ini, total dana yang dikucurkan, baik loan ataupun hibah, (mencapai) lebih kurang 200 juta dollar AS atau setara Rp 3 triliun," tambahnya.

Dana sebesar itu, lanjut Tonny, membuktikan bahwa upaya konservasi ekosistem pesisir dan terumbu karang yang dilakukan pemerintah Indonesia telah diakui secara internasional.

-Dok. ICCTF -

Konservasi berbasis spesies

Selain konservasi kawasan terumbu karang dan pesisir, COREMAP juga telah melakukan kegiatan pengelolaan kawasan konservasi berbasis spesies.

Melalui upaya tersebut, baik pemerintah maupun publik bisa mendapatkan informasi terkait pergerakan spesies langka, seperti Cetacean (paus dan lumba-lumba) serta Elasmobranch (hiu dan pari).

Untuk Cetacean, kegiatan COREMAP meliputi tagging paus melalui satelit, baik paus biru maupun paus sperma. Kegiatan ini juga menjadi tagging pertama di Indonesia dengan menggunakan satelit untuk melihat pergerakan spesies di kawasan konservasi.

Tagging tersebut dapat dioptimalkan sebagai input dalam pengelolaan kawasan konservasi terkait keberadaan mamalia laut, terutama di Laut Sawu yang memiliki tagline rumah bagi mamalia laut di Indonesia,” kata Tonny.

Tonny pun berharap beragam kegiatan konservasi COREMAP pada fase ketiga dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi sampai pada kategori dikelola secara optimal.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com