JAKARTA, KOMPAS.com - Perkembangan teknologi komunikasi yang semakin maju serta pertumbuhan platform media sosial (medsos) yang kian masif membawa banyak perubahan bagi kehidupan masyarakat.
Perubahan yang paling terasa saat ini yakni masyarakat semakin mudah mengakses berbagai informasi, mulai dari website media arus utama (mainstream) hingga medsos, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram.
Sayangnya, seiring kemajuan teknologi, masyarakat mudah mempercayai "info bohongan" daripada fakta sesungguhnya.
Dalam menerima berita palsu, masyarakat pun cenderung mengutamakan emosi serta kebencian, daripada ketepatan data, akal sehat, dan nurani yang jernih. Hal ini menjadi penanda bahwa masyarakat kita tengah berada di era pasca-kebenaran (post-truth).
Merespons fenomena tersebut, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Polisi (P) Profesor Dr Budi Gunawan dan Komisaris Besar Polisi Dr Barito Mulyo Ratmono, memberi gambaran lengkap tentang post-truth lewat buku Demokrasi di Era Post Truth.
Buku tersebut diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada 2021.
Keduanya adalah tokoh penting dalam penegakan hukum sekaligus pendidikan kepolisian di Indonesia.
Buku tersebut memperlihatkan bagaimana medsos memiliki kapasitas untuk menyebarluaskan informasi yang salah, memunculkan teori-teori konspirasi liar, membicarakan kubu tertentu secara negatif tanpa dasar yang jelas, serta menyebabkan terjadinya polarisasi di masyarakat.
Representasi pemikiran Budi Gunawan
Pada bedah buku bertajuk "Era 'Post-Truth' Ancam Demokrasi" yang digelar Penerbit KPG secara virtual, Sabtu (11/12/2021), sejumlah narasumber turut hadir untuk mengupas buku Demokrasi di Era Post Truth.
Adapun narasumber yang hadir, yaitu Barito Mulyo Ratmono, pemerhati media massa sekaligus anggota Dewan Pers Agus Sudibyo, serta aktor dan founder RANS Entertainment Raffi Ahmad.
Barito membeberkan alasan Budi Gunawan menuliskan buku tersebut.
"Buku tersebut merepresentasikan Budi Gunawan sebagai praktisi sekaligus akademisi di bidang cyber. Hal ini sejalan dengan gelar profesor yang diraih sebagai analis intelijen di bidang cyber," ungkap Barito.
Adapun Demokrasi di Era Post Truth merupakan kelanjutan dari buku pertama yang berjudul Kebohongan di Dunia Maya.
Buku tersebut mengupas seputar kondisi ruang cyber di Tanah Air, definisi ruang cyber, media baru, serta medsos yang berfokus pada isu hoaks, fake news, dan hate speech yang diprofilerasi (kembang biak) atau diviralkan," ujar Barito.
Barito menjelaskan, era post-truth pada dasarnya tak terlepas dari hoaks, fake news, dan hate speech. Pasalnya, post-truth berpotensi menimbulkan ancaman bagi demokrasi dan keamanan nasional suatu negara.
Dalam buku Demokrasi di Era Post Truth, Budi Gunawan menjadikan Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu contoh. Polarisasi politik di AS terjadi cukup tajam antara kubu liberal dan kubu konservatif akibat disinformasi post-truth, terutama pada masa pemilu.
Hal yang sama juga terjadi di Inggris yang ditandai pertarungan dua partai dominan, yaitu Partai Buruh dan Partai Konservatif.
Kondisi yang terjadi di AS ternyata juga dialami Korea Selatan (Korsel). Pemilu di Korsel berkelindan dengan peningkatan berita palsu pada Pemilihan Presiden 2017.
“Itu artinya, medsos memiliki peran dalam mempercepat terjadinya polarisasi yang tajam antara pihak yang berkompetisi,” terangnya.
Belajar dari peristiwa tersebut, imbuh Barito, Indonesia tidak boleh abai dengan apa yang disebut post-truth yang memanfaatkan medsos di ruang cyber untuk kepentingan tertentu.
"Untuk itu, mengamankan ruang cyber serta mencermati pengguna medsos di Indonesia merupakan hal penting. Hal ini menjadi perhatian Budi Gunawan dalam menuangkan pemikirannya dalam buku Demokrasi di Era Post Truth," jelasnya.
Ia menilai, untuk mengamankan ruang cyber, negara tidak bisa menangani sendiri sehingga diperlukan keterlibatan masyarakat yang kritis untuk berparisipasi. Terlebih, potensi pengguna cyber di Indonesia terbilang cukup banyak.
Barito menyebutkan, berdasarkan hasil survei salah satu lembaga Singapura, per Januari 2021, dari 274,9 juta penduduk Indonesia, yang aktif menggunakan internet sebesar 73,7 persen atau 202,6 juta penduduk. Kemudian, pengguna medsos sebesar 61,8 persen dari populasi.
“Artinya, lebih kurang 170 juta penduduk Indonesia merupakan pengguna medsos,” terang Barito.
Dibandingkan penduduk dunia, dari sisi durasi penggunaan internet, masyarakat Indonesia juga lebih unggul dibandingkan rerata dunia. Dalam sehari, penduduk Indonesia menghabiskan waktu selama 8 jam 52 menit untuk berinternet. Sementara, penduduk dunia hanya 6 jam 54 menit.
"Hal ini menempatkan Indonesia menduduki rangking 8 sedunia dalam penggunaan internet. Jadi, ini sangat potensial," jelas Barito
Demikian pula dalam penggunaan medsos, Indonesia masih lebih unggul di mana waktu yang dipergunakan dalam sehari yakni 3 jam 14 menit. Sementara, masyarakat dunia hanya 2 jam 25 menit.
Itu berarti, mengamankan ruang cyber Indonesia serta memberikan literasi digital pada masyarakat terkait bermedia sosial yang baik merupakan hal krusial.
“Uraian terkait hal-hal tersebut di atas dipaparkan secara gamblang dalam buku Demokrasi di Era Post Truth,” kata Barito.
Utamakan rasionalitas, bukan emosi
Di era post-truth, Barito mengakui adanya perilaku masyarakat pengguna teknologi digital yang cenderung mengutamakan emosi daripada rasional dan akal sehat.
Hal itu terjadi bukan tanpa sebab. Pasalnya, di ruang cyber, informasi melimpah ruah atau overload information.
"Begitu seseorang masuk di ruang cyber, mereka seperti tengah berada di tengah hutan belukar yang dihujami berbagai informasi. Dalam situasi seperti ini, seseorang belum sempat berpikir jernih kemudian dihujami dengan informasi-informasi lain," terangnya.
Untuk itu, lanjut Barito, negara perlu memberikan literasi dan edukasi digital pada masyarakat secara berkesinambungan.
Terkait hoaks dan fake news, Barito juga menjabarkan pengertian dan perbedaan kedua istilah tersebut yang kini marak.
"Berdasarkan resume Budi Gunawan, hoaks adalah berita bohong. Sementara, fake news adalah berita palsu," paparnya.
Untuk diketahui, hoaks merupakan fakta yang dibelokkan, dimodifikasi, ditambahkan narasi baru dan kalimat baru yang bombastis, menguras emosi, serta mampu menggoyahkan keyakinan untuk tujuan tertentu.
"Sementara, fake news sama sekali tidak ada faktanya. Adapun fakta yang dibuat adalah fakta palsu untuk mencapai tujuan tertentu," jelasnya.
Untuk itu, masyarakat Indonesia diharapkan menjadi masyarakat yang kritis ketika berinteraksi di dunia cyber dan medsos. Hal itu diimbangi dengan mengutamakan logika dan akal sehat daripada emosi.
"Kedepankan logika dan rasionalitas ketimbang emosi dan keyakinan sepihak. Selalu lakukan saring sebelum sharing dengan melakukan empat hal, yaitu, cek, ricek, kroscek, dan final cek," kata Barito.
Terkait fenomena tersebut, Agus menjelaskan bahwa kecenderungan seseorang mengutamakan emosi daripada logika lantaran masyarakat Indonesia belum memahami dunia digital secara komprehensif.
"Kita hanya mengetahui 5 persen saja dari seluruh isi dunia digital, yakni hanya memahami bagian permukaannya saja atau surface web (web permukaan), seperti menggunakan akun gmail, mengakses website, medsos, hingga e-commerce.
Sementara, imbuh Agus, 95 persennya lagi tidak memahami bagaimana medsos berkembang demikian cepat dan aplikasi begitu cepat diakses.
"Mengapa banyak yang lebih mudah emosional, ekspresif, dan tidak berpikir panjang? Hal ini karena masyarakat belum memahami bahwa medsos merupakan ruang publik baru. Orang seringkali tidak sadar bahwa apa yang dikatakan di medsos mudah tersebar, memiliki dampak politik, dan dampak publik," terangnya.
Menurut Agus, dunia digital bukan dunia yang natural alamiah, melainkan dunia yang terkurasi dan tertata oleh sistem algoritma platform digital. Karena itu, kehati-hatian harus diutamakan.
“Jangan sampai tanpa sadar membagikan data informasi pribadi, baik data demografis maupun sikometris kepada pihak yang tidak diketahui apa maksud tujuannya. Maka, diet sosmed dan teknologi itu penting, gunakan seperlunya saja jangan berlebihan agar tidak diperbudak teknologi,” kata Agus.
Bijaksana di era digital
Setali tiga uang dengan Barito dan Agus, aktor Raffi Ahmad juga menekankan perlunya budaya membaca oleh masyarakat, utamanya generasi muda yang melek teknologi dan medsos.
Raffi mengatakan, masyarakat Indonesia saat ini cenderung lebih mudah mempercayai informasi yang berasal dari medsos daripada berita mainstream.
Karena itu, pihaknya merekomendasikan generasi milenial membaca buku Demokrasi di Era Post Truth. Tujuannya, agar lebih bijaksana dalam bermedsos di ranah digital.
“Era post-truth yang mencakup fake news, hoaks, dan hate speech merupakan kondisi yang krusial karena berpotensi menimbulkan perpecahan. Tak hanya dalam tataran antarindividu, tetapi juga bangsa. Terlebih, penduduk Indonesia tercatat sebagai salah satu pengguna digital tertinggi dunia,” ungkap Raffi.
Karena itu, lanjut Raffi, masyarakat Indonesia perlu lebih memahami cara berdemokrasi dengan lebih bijaksana di era digital.
"Hal itu (bijak bermedia sosial) perlu disuarakan. Kita memang perlu beradaptasi dengan perubahan zaman dan teknologi digital, tapi perlu diimbangi dengan pemahaman yang tepat bagaimana bersikap bijak di ranah digital, salah satunya dengan membaca buku Demokrasi di Era Post Truth," kata Raffi.