KOMPAS.com – Teknologi digital hadir bak pedang bermata dua. Di satu sisi, dampak positif bisa didapat lewat internet. Di sisi lain, internet juga memunculkan dampak negatif.
Sebagai contoh, kemunculan cyberbullying atau perundungan siber. Fenomena ini terjadi bersamaan dengan penggunaan media sosial yang semakin masif.
Dosen Universitas Bengkulu sekaligus anggota Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi), Lisa Andhirianti, menjelaskan bahwa cyberbullying adalah perundungan yang dilakukan menggunakan teknologi digital, seperti media sosial, platform berkirim pesan, dan game online.
Perundungan siber biasanya dilakukan berulang-ulang dari waktu ke waktu kepada pihak yang dianggap tak bisa melawan. Tindakan ini dilakukan untuk menakuti serta mempermalukan korbannya.
“Cyberbullying dapat merusak mental. Emosional (korban) jadi tidak stabil. Ini juga bisa berimbas pada kesehatan fisik,” jelas Lisa dalam webinar “Identifikasi dan Antisipasi Perundungan Digital (Cyberbullying)” yang diadakan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rabu (17/11/2021).
Untuk itu, ia mengajak masyarakat, terutama generasi milenial dan Z, agar memahami cyberbullying. Hal ini, kata Lisa, dapat berguna untuk memproteksi diri.
Ia melanjutkan, perundungan digital sudah termasuk tindakan pidana. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik pada Pasal 27 ayat (3).
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta,” tutur Lisa mengutip pasal tersebut.
Di samping UU ITE, pelaku perundungan digital juga bisa dijerat dengan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 80.
Pasal tersebut mengatur bahwa setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta.
Cara hindari perundungan siber
Pada kesempatan sama, presenter televisi Oka Fahreza membagikan kiat agar terhindar dari perundungan siber.
Pertama, kata dia, warganet harus punya etika, sopan santun, ramah, dan menjunjung tinggi nilai Pancasila. Hal ini sama seperti di dunia nyata.
Kedua, berlaku dewasa dan kritis saat berada di ruang digital. Hati-hati pula jangan sampai menjadi pelaku perundungan digital.
“Ketiga, jangan terbawa perasaan (baper) bila menjadi korban perundungan. Tetap tenang sembari kumpulkan bukti-bukti melalui screen shoot,” tutur Oka.
Dosen Universitas Ahmad Dahlah dan anggota Japelidi Indah Wenerda menambahkan, pencegahan perundungan digital juga bisa dilakukan dengan mengabaikan komentar haters.
“Kita bisa block orang tersebut sehingga dia tidak bisa berinteraksi dengan kita lagi. Prioritaskan ke hal-hal yang positif. Atau anggap saja mungkin dia hanya ingin memancing kita saja, jadi jangan terlalu dibawa perasaan,” imbuhnya.
Untuk diketahui, webinar “Hidup Produktif di Era Digital” diadakan Kemenkominfo bersama Japelidi dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital.
Informasi kegiatan tersebut bisa dilihat melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.