Advertorial

Proyeksikan Ekonomi Melaju 4,8-5,3 Persen pada 2022, BRI Optimistis Kredit Perbankan Tumbuh Lebih Tinggi

Kompas.com - 27/12/2021, 15:59 WIB

KOMPAS.com – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI memprediksi pemulihan ekonomi nasional bakal tereskalasi berkat perbaikan permintaan domestik dan strategi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pemerintah pada 2022.

Chief Economist BRI sekaligus Research Director BRI Research Institute Anton Hendranata menjelaskan, hal tersebut terlihat dari peningkatan daya beli masyarakat.

Ia menambahkan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia juga berpotensi tumbuh di kisaran 4,8 hingga 5,3 persen secara tahunan atau year on year (yoy) pada 2022.

Hal tersebut sejalan dengan adaptasi masyarakat terhadap kondisi pandemi yang membuat mobilitas tidak terlalu terguncang.

“Kami meyakini (bahwa) ekonomi domestik bakal semakin pulih dan kuat bila kondisi Covid-19 bisa tetap terjaga. Pemulihan ekonomi Indonesia ditopang oleh kondisi permintaan yang meningkat, yakni dari daya beli, belanja pemerintah, dan adaptasi masyarakat terhadap kondisi pandemi,” ujar Anton dalam Economic Outlook BRI 2022 bertema “Melanjutkan Pemulihan Ekonomi dengan Kewaspadaan”.

Anton menambahkan, komposisi konsumsi dalam pengeluaran rumah tangga meningkat 570 basis poin (bps) dari 69,4 persen pada Oktober 2020 menjadi 75,1 persen pada Oktober 2021.

Peningkatan tersebut disebabkan oleh capaian vaksinasi Covid-19 dan pelonggaran pembatasan mobilitas masyarakat.

Selain itu, pertumbuhan permintaan juga dipantik oleh strategi countercyclical melalui program PEN yang akan berlanjut pada 2022.

Adapun Outlook BRI memproyeksikan tingkat inflasi pada 2022 akan berada di level 2,8-3 persen secara yoy.

Dengan perbaikan ekonomi tersebut, BRI memprediksi tingkat pengangguran akan menyusut menjadi 6,3-7,7 persen.

Di sisi lain, terdapat juga sejumlah tantangan yang mesti diantisipasi dalam pemulihan ekonomi pada tahun depan.

Salah satu tantangan tersebut adalah adanya tapering off dan potensi kenaikan suku bunga yang mengacu pada Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed).

Untuk diketahui, Bank Sentral AS telah mengurangi stimulus atau tapering off sejak November 2021.

Meski demikian, inflasi di AS yang melesat ke level 6,2 persen secara yoy berpotensi mengubah arah kebijakan moneter AS.

“Inflasi ini memacu AS untuk mempercepat normalisasi moneter yang disertai peningkatan nilai tapering off dan bisa segera mengerek suku bunga acuan untuk menghindari overheating. Ini akan membawa dampak bagi Indonesia sebagai emerging market,” ucap Anton.

Anton melanjutkan, sebagai pemegang otoritas moneter tertinggi di dalam negeri, Bank Indonesia (BI) tidak menutup kemungkinan ikut mengerek suku bunga acuan pada 2022.

BRI memprediksi, suku bunga BI-7 Days Reverse Repo Rate (BI-7DRR) akan dikerek dari posisi 3,50 persen, menjadi 4,25-4,50 persen.

Mengacu pada situasi tersebut, Anton berharap pelaku industri perbankan mau memperhatikan kondisi likuiditas 2022 yang tidak akan selonggar 2021.

Pasalnya, likuiditas bisa berdampak pada perlambatan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK).

“Tren 25 tahun terakhir menunjukkan, ketika ada kondisi ekonomi yang sedang menurun atau konsolidasi, DPK akan berada di atas kredit. Sebaliknya, ketika dalam masa pemulihan atau ekspansi seperti tahun depan, kemungkinan kreditnya akan melampaui DPK. Kondisi likuiditas ini perlu menjadi perhatian perbankan,” kata Anton.

Sejauh ini, BRI telah mengantisipasi kondisi likuiditas untuk menjaga pertumbuhan penyaluran permodalan bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang merupakan tulang punggung utama perekonomian Indonesia.

Ruang bagi BRI untuk memompa kredit juga dapat dilihat dari loan to deposit ratio (LDR) yang masih berada di level 83 persen. Angka ini berada di bawah ketentuan regulator yang sebesar 92 persen.

Penyaluran kredit BRI hingga kuartal III 2021 masih didominasi oleh segmen UMKM dengan komposisi 82,67 persen terhadap total portofolio kredit.

Dari sisi permodalan, BRI memiliki rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) yang sangat baik untuk bisa bertumbuh secara berkelanjutan.

Saat ini, CAR BRI berada di angka 24,54 persen atau tiga kali lipat dari threshold BI. BRI sendiri memproyeksikan pertumbuhan kredit perseroan akan lebih baik, yakni berkisar 8-10 persen secara yoy pada 2022.

“Ketika ekonomi mengalami pemulihan, industri perbankan akan mengalami pemulihan juga. Ini akan tampak dari growth kredit yang lebih tinggi jika dibandingkan 2021 dan DPK yang tumbuh lebih terbatas,” jelas Anton.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com