Advertorial

Task Force ESC B20 Fokus Bahas Akses Peningkatan Pembiayaan Transisi Energi di Stakeholder Consultation Ke-3

Kompas.com - 22/03/2022, 11:53 WIB

KOMPAS.com - Task Force Energy, Sustainability, and Climate (ESC) B20 menggelar Stakeholder Consultation Ke-3 yang dilaksanakan di Jakarta, Jumat (18/3/2022).

Kali ini, forum tersebut fokus membahas peningkatan dukungan pembiayaan dalam rangka mempercepat transisi energi. Lewat forum Stakeholder Consultation Ke-3, para pemangku kepentingan diharapkan dapat memberikan masukan atas isu-isu prioritas yang dibawa oleh Task Force ESC B20.

Dengan begitu, rekomendasi kebijakan yang dirumuskan dapat mewakili pandangan para pelaku usaha dan lembaga sektor keuangan.

Chair of Task Force ESC B20 Nicke Widyawati mengatakan, topik diskusi pada Stakeholder Consultation Ke-3 berfokus pada aspek pembiayaan. Utamanya, terkait kerja sama global dalam menyalurkan ketersediaan pembiayaan berskala besar untuk investasi transisi energi.

“Pertukaran pandangan selama Stakeholder Consultation akan memperkaya pembentukan rekomendasi Task Force Energy ke G20,” ujar Nicke dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (22/3/2022).

Nicke menambahkan, terdapat beberapa isu utama yang dibahas dalam Stakeholder Consultation ke-3.

Isu tersebut adalah kerja sama global untuk pasar karbon, penyaluran dana untuk pembiayaan transisi energi, serta penerapan standar pelaporan keberlanjutan (sustainable reporting) dan taksonomi yang diakui secara global.

Adapun sektor energi memiliki tantangan paling serius untuk bisa beralih ke energi berkelanjutan (sustainable energy).

Peralihan tersebut dilakukan sebagai upaya mengurangi emisi karbon yang menjadi penyebab efek gas rumah kaca.

Kondisi di Indonesia, jelas Nicke, sedikit berbeda karena kontribusi emisi karbon dari sektor energi berada pada kisaran 20 sampai 36 persen. Angka ini lebih kecil jika dibandingkan dengan deforestasi yang berada pada kisaran 44 sampai 62 persen.

“Meski begitu, hal tersebut tidak bisa menjadi alasan bagi para pelaku industri, khususnya di sektor energi, untuk tidak ikut serta dalam pengurangan emisi gas rumah kaca,” kata Nicke.

Berdasarkan perkiraan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), lanjut Nicke, kenaikan suhu rata-rata global saat ini sudah mendekati ambang batas konsensus 1,5 derajat Celcius.

“Ada sedikit waktu yang tersisa untuk mengambil tindakan drastis. Kita harus mengurangi percepatan emisi puncak ke transisi hingga menuju ke net zero yang saat ini tertinggal secara signifikan,” imbuh Nicke.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Nicke pun mengajukan tiga rekomendasi kebijakan.

Pertama, mempercepat transisi menuju penggunaan energi yang berkelanjutan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan kerja sama global. 

Selain mempercepat transisi energi, upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi intensitas karbon dalam penggunaan energi.

Kedua, memastikan transisi yang adil dan terjangkau. Setiap pihak diharapkan mau meningkatkan kerja sama global untuk memastikan transisi yang adil, teratur, dan terjangkau. Hal ini bertujuan agar penggunaan energi berkelanjutan dapat dirasakan di seluruh negara maju dan berkembang.

Ketiga, kerja sama global dalam meningkatkan ketahanan energi. Kerja sama global penting dilakukan demi meningkatkan ketahanan energi pada tingkat konsumen melalui pemberian akses dan kemampuan untuk mengonsumsi energi yang bersih serta modern.

Menurut Nicke, semua kebijakan itu harus menjadi fokus bersama untuk menekan percepatan laju pemanasan global yang terjadi saat ini.

Selain itu, perumusan rekomendasi kebijakan tersebut juga akan melibatkan beberapa pihak di Task Force ESC B20.

Pihak tersebut termasuk 8 Co-Chairs yang merupakan C-Level dari pelaku usaha negara G20 dan lebih dari 140 anggota yang memberikan masukan terkait arah rekomendasi kebijakan serta prioritas masalah.

“Hal terpenting dalam perumusan rekomendasi ini adalah keselarasan dengan para pemangku kepentingan. Jadi, isu-isu yang kami bawa ke task force bisa sejalan dengan arah kebijakan Indonesia di G20,” tutur Nicke.

Peran penting pemangku kepentingan

Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) yang juga menjabat sebagai B20 Sherpa, Dr Rizal Affandi Lukman, mengatakan bahwa konsultasi pemangku kepentingan yang berkelanjutan berperan penting untuk mengumpulkan ide-ide, wawasan, serta informasi yang relevan.

"Sejak awal, Task Force ESC adalah gugus tugas paling populer di dalam Presidensi B20 Indonesia. Ini adalah sinyal kuat bahwa masalah energi, keberlanjutan, dan iklim sangat relevan bagi banyak pihak," ujar Rizal.

Melalui diskusi tersebut, Rizal juga mendorong agar hasilnya dapat segera dilaksanakan.

"Mari lebih terbuka dan kritis karena keterlibatan kita semua adalah sebagai sumber informasi berharga yang dapat digunakan. Ke depan, kami akan menjalin kolaborasi dan kemitraan yang kuat dalam melahirkan rekomendasi kebijakan yang baik untuk semua," ucap Rizal.

Sebagai informasi, forum Stakeholder Consultation Ke-3 dihadiri oleh narasumber dari berbagai lembaga keuangan, seperti World Bank, MUFG Bank, Global Reporting Initiative (GRI), dan International Federation of Accountants (IFAC).

Kemudian, World Research Institute (WRI) selaku network partner, serta PriceWaterhouseCoopers (PwC) dan Boston Consulting Group (BCG) sebagai knowledge partner di dalam task force.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com