Advertorial

Redam Disinformasi Soal TBC, STPI Ajak Masyarakat Perkuat Literasi lewat Kampanye #141CekTBC

Kompas.com - 24/03/2022, 10:56 WIB

KOMPAS.com – Pekerjaan rumah (PR) Indonesia dalam bidang kesehatan tidak hanya pandemi Covid-19. Sebab, Tanah Air juga menjadi wilayah endemi beberapa penyakit lain. Salah satunya, tuberkulosis (TBC).

Penyakit yang disebabkan infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis itu pun kian menjadi momok. Pasalnya, selain menular, TBC juga menyumbang angka kematian cukup tinggi. 

Berdasarkan data TB Indonesia menunjukkan, jumlah kasus TBC di Tanah Air hingga Oktober 2021 mencapai 824.000 orang dengan angka kematian sebanyak 13.110 jiwa. Dari angka tersebut, baru 67 persen yang ditemukan dan diobati.

Penanganan TBC sebenarnya sudah digalakkan sejak lama. Namun, upaya ini kerap menemui kendala. Salah satunya, mitos-mitos seputar TBC yang mengakar kuat di masyarakat. Padahal, hal tersebut tidak terbukti kebenarannya.

Disinformasi tersebut akhirnya memunculkan stigma bagi pasien TBC. Akibatnya, tak sedikit dari mereka ragu untuk menjalani pengobatan. Di sisi lain, pasien suspek pun enggan melakukan pemeriksaan lebih lanjut karena takut dicap buruk oleh lingkungannya.

Setidaknya, ada lima mitos TBC yang beredar di masyarakat. Pertama, penyakit ini bersifat genetik. Faktanya, TBC adalah penyakit menular yang disebabkan bakteri. Kalaupun dalam satu rumah atau keluarga terdapat lebih dari satu pengidap, penyebabnya transmisi patogen yang terjadi di antara mereka.

Kedua, TBC bisa menular lewat kontak fisik, baik langsung maupun ketika menyentuh benda bekas penderita TBC. Padahal penularan TBC bukan lewat kontak fisik, seperti sentuhan, melainkan lewat udara.

Itu berarti, penularan tidak akan terjadi sekalipun seseorang sempat bersalaman, berbagi makanan atau minuman dengan pasien TBC. Prosesnya pun tidak terjadi begitu saja sehingga tidak ada alasan untuk menjauhi, apalagi mengasingkan mereka. 

Meski tidak menular dengan cepat, langkah pencegahan wajib dilakukan demi menekan penularan TBC di Indonesia. Jika khawatir tertular usai berkontak langsung dengan penderita, segera hubungi petugas kesehatan untuk mendapatkan penanganan.

Mitos ketiga seputar TBC adalah penyakit ini sulit disembuhkan. Faktanya, banyak pengidapnya sembuh total. Dengan catatan, mereka rajin minum obat dan kontrol ke dokter. Adapun durasi pengobatan umumnya berkisar antara 6-12 bulan.

Namun, untuk pasien TBC dengan masalah resistensi obat, mereka perlu menjalani pengobatan lebih lama dan mendapatkan dosis obat lebih tinggi.

Keempat, TBC adalah penyakit orang miskin. Faktanya, lembaga kesehatan dunia maupun nasional menemukan penularan TBC terjadi di seluruh kelompok masyarakat.

Di Indonesia, berdasarkan hasil Survei Prevalensi Tuberkulosis 2013-2014 Kementerian Kesehatan (Kemenkes), tidak ada perbedaan jumlah penderita antara kelompok ekonomi bawah sampai menengah atas, yakni 0,4 persen.

Perbedaan hanya terjadi pada kelompok ekonomi atas, yakni 0,2 persen. Ini berarti, risiko TBC dapat terjadi pada hampir semua tingkatan sosial ekonomi.

Mitos terakhir adalah TBC hanya menyerang paru-paru. Faktanya, bakteri Mycobacterium tuberculosis bisa berkembang biak dan menjalar ke organ lain, seperti jantung, ginjal, tulang belakang, dan sistem saraf.

Jika patogen tersebut sampai ke otak, penderita TBC bisa mengalami meningitis. Risiko kesehatan yang dialami pun semakin besar di antaranya kejang, kehilangan pendengaran, gangguan penglihatan, kerusakan otak, stroke, dan kematian.

Meredam disinformasi soal TBC

Mengingat TBC mengintai siapa saja, permasalahan kesehatan ini otomatis menjadi PR bersama. Karena itu, membekali diri dengan informasi faktual dan komprehensif seputar TBC perlu dilakukan agar disinformasi yang beredar di masyarakat bisa diredam.

Ada banyak sarana yang bisa digunakan untuk mendapatkan bekal tersebut. Salah satunya, lewat situs web https://141.stoptbindonesia.org yang diinisiasi oleh Stop TB Partnership Indonesia (STPI).

Selain menyajikan informasi seputar TBC, situs itu juga menyediakan Chatbot 141CekTBC. Fitur ini bisa dimanfaatkan untuk mengetahui lokasi fasilitas kesehatan (faskes) terdekat yang melayani pemeriksaan TBC.

Masyarakat pun dapat terhubung secara mudah dengan dokter pada aplikasi Halodoc atau komunitas TBC terdekat lewat fitur chatbot tersebut.

Sebagain informasi, fitur Chatbot 141CekTBC juga bisa diakses melalui WhatsApp di nomor +628119961141.

Perlu diketahui, STPI saat ini menggelar kampanye komunikasi digital #141CekTBC sebagai upaya mendukung program Temukan Tuberkulosis Obati Sampai Sembuh (TOSSTBC) milik Kemenkes. Dengan begitu, kasus TBC di Indonesia bisa tertangani secara baik sehingga masyarakat bisa mendapatkan kehidupan lebih baik.

Selain lewat laman 141.stoptbindonesia.org, informasi lebih lanjut mengenai kampanye tersebut juga bisa didapatkan lewat https://tbindonesia.or.id, serta akun Instagram, Twitter, dan Facebook Stop TB Partnership Indonesia.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com