Advertorial

Etika Bermedsos, Wujud Nyata BPIP dalam Redam Intoleransi di Jagat Maya

Kompas.com - 31/03/2022, 21:28 WIB

KOMPAS.com – Keberadaan media sosial (medsos) di era digital dinilai memiliki peran penting lantaran mampu mempermudah aktivitas banyak orang.

Namun, rendahnya etika dan literasi digital yang dimiliki masyarakat Indonesia membuat medsos seakan berdampak buruk.

Berdasarkan beberapa penelitian, interaksi masyarakat Indonesia pada medsos masih menunjukkan sikap intoleransi. Bahkan, tak jarang laman medsos diwarnai kasus perundungan akibat perbedaan pandangan.

Anggota Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (NU) Yogyakarta Ahmad Munir tak menyangkal fakta itu.

Menurutnya, penggunaan medsos, terutama di kalangan anak muda, memang memprihatinkan. Apalagi, jika berbicara tentang pendidikan,

Hal tersebut ia sampaikan pada dialog kebangsaan antarumat beragama yang diadakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bersama Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta dengan tema “Pembangunan Narasi Persatuan dalam Kebhinekaan dan Moderasi Beragama antar Tokoh Agama se-Indonesia”, Rabu (30/3/2022).

“Anak muda itu kalau bermedsos untuk hiburan semata, bukan untuk pendidikan. Oke, kita bisa bermain hiburan di medsos, tapi ada baiknya bisa mendukung pencapaian cita-cita. Di sini, peran keluarga juga penting untuk mengarahkan anak-anak agar dapat bermedsos secara sehat,” ujar Ahmad dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (31/3/2022).

Sementara itu, perwakilan Persatuan Umat Budha Indonesia (Permabudhi) Yogyakarta Agus Setiawan Suwarno mengatakan, ada dua sisi dampak medsos, yakni baik dan kurang baik. Oleh karena itu, setiap orang harus bijak saat menggunakannya.

“Terutama, jika menerima sesuatu yang baru. Jangan asal menyebarnya tanpa melakukan pengecekan terlebih dulu. Kalau mau membuat konten yang baru, usahakan memberi efek positif bagi persatuan bangsa,” kata Agus.

Untuk mengatasi masalah tersebut, perwakilan Majelis Tinggi Konghucu Indonesia (Matakin) Chandra Setiawan meminta kepada setiap orang agar dapat memberikan contoh baik dan edukasi dalam bermedsos.

“Pengguna wajib mengutamakan rasa kemanusiaan, termasuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Terlebih, bermedsos sifatnya multikultural sehingga karakter yang perlu ditunjukkan adalah nilai-nilai Pancasila yang universal. Kita harus bisa merayakan keragaman dan menerima perbedaan. Dengan begitu, tidak ada pihak yang merasa tersakiti,” kata Chandra.

Menjunjung tinggi toleransi

Rendahnya literasi digital masyarakat Indonesia pun turut mendapatkan tanggapan dari Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Profesor Al Makin.

Ia meminta kepada setiap orang agar lebih bertoleransi dengan belajar menahan diri dan memberi ruang bagi orang yang berbeda pendapat.

“Sering-sering memberi apresiasi kepada orang-orang yang tidak setuju dengan kita. Warganet kita (saat ini ada dalam kondisi yang kalau) berbeda sedikit saja cenderung dibesar-besarkan, dipotong kalimatnya, di-bully, kemudian dipojokkan. Ini membuat trauma orang-orang yang punya pandangan lain sehingga yang terjadi di medsos itu seperti aksi teror,” jelas Al Makin.

Al Makin menambahkan, kondisi tersebut sebetulnya pernah terjadi di era Orde Baru. Meski saat itu medsos belum ada, tapi masyarakat dipaksa untuk berperilaku seragam.

Untuk menghindari kejadian serupa, ia meminta agar warganet dapat menahan diri dan menghargai perbendaan pandangan.

Tak hanya itu, Al Makin juga berpesan kepada para influencer agar tak hanya fokus dalam menambah jumlah follower dan popularitas.

“Jangan cuma mencari kontroversi, apalagi mencari kesalahan kawan-kawan sendiri. Sebab, dunia maya (online) itu bukan dunia sesungguhnya. Kita harus dermawan dalam kehidupan sesungguhnya, bukan hanya di dunia maya. Untuk apa kita kelihatan hebat di dunia maya, tapi di dunia sesungguhnya kita berkelahi,” kata Al Makin.

Sementara itu, Kepala BPIP Kiai Haji (KH) Yudian Wahyudi mengatakan, BPIP memiliki peran penting dalam membangun harmoni antarumat beragama di Indonesia.

Pada acara tersebut, ia juga memberikan penjelasan mengenai sejarah dan latar belakang Salam Pancasila. Menurutnya, sapaan ini diadopsi dari salam merdeka Bung Karno yang dikumandangkan pada masa awal kemerdekaan.

Salam tersebut dibuat untuk mempersatukan masyarakat dan diharapkan dapat menghilangkan perbedaan.

“Bung Karno pernah berkata, kita ini kemajemukannya berlapis-lapis. Supaya tidak repot dengan hal-hal sensitif, perlu ada salam pemersatu kebangsaan. Salam ini dikenalkan pada 1945 dan diadopsi oleh Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Dewan Pengarah BPIP,” jelas Yudian.

Adapun bentuk gerakan Salam Pancasila adalah dengan mengangkat tangan kanan ke atas pundak dan menunjukkan gestur lima jari.

Gestur tersebut memiliki makna bahwa seseorang harus bisa mengamalkan kelima sila Pancasila yang merupakan kewajiban sebagai warga negara Indonesia.

Kemudian, setiap jemari yang tidak berpisah memiliki arti bahwa sila satu dan yang lainnya saling terikat dan menopang.

Pada kesempatan tersebut, Yudian juga menyinggung tentang kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara.

Menurutnya, legitimasi kebangsaan tertinggi bukan muncul dari suatu kelompok tertentu, tetapi ada pada kebersamaan dan persahabatan.

“Artinya, konsensus merupakan sumber hukum tertinggi yang mengatur kehidupan. Untuk agama, konsensusnya adalah kitab suci masing-masing. Sedangkan dalam kehidupan bernegara, konsensusnya termaktub dalam Undang-Undang Dasar (UUD 1945),” tutur yudian.

Isi UUD 1945 terdiri dari nilai-nilai keagamaan yang sudah disepakati bersama melalui prosedur dan bahasa hukum. Yudian menganggap, tidak akan ada toleransi tanpa konsensus.

Tak hanya itu, Yudian juga berharap, forum dialog kebangsaan dapat menjadi pelecut bagi BPIP agar aktif membangun dan menyosialisasikan narasi persatuan kebangsaan melalui berbagai platform. Salah satunya, melalui medsos yang melibatkan berbagai pihak, utamanya kaum milenial.

“Mudah-mudahan kami bisa membuat deklarasi yang lebih besar lagi dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat yang lebih luas. Terutama, dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada 2022.

Yudian menambahkan, BPIP juga akan terus mendorong keterwujudan persatuan. Apalagi, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2022 telah disahkan.

“Lewat PP tersebut, Pancasila menjadi mata pelajaran khusus dan kewarganegaraan menjadi bagian dari Pancasila,” kata Yudian.

Peserta dialog kebangsaan yang diadakan BPIP. Dok. BPIP Peserta dialog kebangsaan yang diadakan BPIP.

Menteri Agama periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin turut merespons. Ia mengatakan, medsos bisa berdampak positif dan negatif. Oleh karena itu, negara perlu hadir untuk mengawal proses yang terjadi pada medsos.

“Namun, kehadiran negara di sini bersifat moderat. Tidak berlebih-lebihan. Jangan sampai kontrol negara melahirkan penyensoran yang justru membatasi demokrasi dan kebebasan berpendapat. Namun, bukan juga tanpa batas karena ini juga tak sehat. Ada nilai-nilai yang perlu kita sepakati bersama,"ujarnya.

Oleh karena itu, tambah Lukman, etika dalam bermedsos perlu dirumuskan sebagai pegangan negara dan masyarakat itu sendiri.

Deklarasikan etika bermedsos

Merespons kondisi tersebut, BPIP bersama organisasi masyarakat lintas agama resmi mendeklarasikan 14 sikap etika dalam bermedsos yang mengedepankan nilai-nilai Pancasila.

Pertama, meneguhkan peran medsos dalam memberikan edukasi untuk pemahaman kebhinekaan dan moderasi beragama. Tujuannya, untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.

Kedua, menjadikan medsos sebagai sarana literasi dalam penyebarluasan narasi untuk menguatkan wawasan keberagaman dan kebangsaan.

Ketiga, mengutamakan sikap sadar etika dan sadar moral dalam melakukan interaksi serta komunikasi di medsos. Dengan begitu, masyarakat dapat menjaga keutuhan hidup berbangsa dan bernegara.

Keempat, mengutamakan norma kesantunan dalam menggunakan medsos sebagai sarana pemersatu di ruang publik.

Kelima, mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan yang universal dalam menyebarluaskan informasi ke ranah publik.

Keenam, menjadi pelopor dan agen dalam menyebarkan budaya sadar berliterasi di medsos guna memperkuat persaudaraan dalam bermasyarakat.

Ketujuh, membangun budaya kritis dan bijaksana dalam merespons informasi melalui medsos.

Kedelapan, mengutamakan penggunaan medsos untuk konten-konten yang berorientasi pada nilai-nilai kemajuan, kearifan lokal, dan peradaban dalam mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki bangsa Indonesia.

Kesembilan, mengutamakan penggunaan medsos untuk menghentikan ujaran kebencian yang mengandung isu suku, aga, ras, dan antargolongan (SARA) di ruang publik.

Kesepuluh, mengutamakan nilai-nilai universal agama sebagai komitmen untuk menegakkan keadilan, kebenaran, kejujuran, dan integritas dalam bermedsos.

Kesebelas, memperkuat kerja sama antarlembaga keagamaan dalam menolak setiap ujaran kebencian.

Kedua belas, memperkuat peran tokoh agama perempuan dalam menolak setiap ujaran kebencian dan mempromosikan moderasi beragama.

Ketiga belas, menguatkan peranan keluarga dan institusi pendidikan dalam menggunakan medsos yang bertanggung jawab terhadap pemahaman moderasi beragama.

Keempat belas, mendorong dan mendesak negara untuk hadir dan berperan sebagai katalisator dan regulator dalam penegakan norma-norma etika komunikasi publik yang berdasarkan Pancasila.

Melalui deklarasi tersebut, BPIP berharap agar masyarakat mampu menyaring konten-konten dengan selektif.

Selain itu, masyarakat juga diharapkan untuk mampu membangun narasi persatuan dan kebangsaan berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila. 

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com