Advertorial

BPIP dan Ormas Lintas Agama Deklarasikan 14 Sikap Etika dalam Bermedia sosial

Kompas.com - 01/04/2022, 10:11 WIB

KOMPAS.com - Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bersama dengan organisasi masyarakat lintas agama mendeklarasikan 14 sikap etika dalam bermedia sosial (bermedia sosial) yang mengedepankan nilai-nilai Pancasila.

Deklarasi tersebut dihadiri oleh berbagai organisasi keagamaan, mulai dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, PP Muhammadiyah, Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), serta Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI).

Kemudian, Majelis Tinggi Konghucu Indonesia (MATAKIN), Persatuan Umat Budha Indonesia (Permabudhi), Al Washliyah, Al Khairaat, Persatuan Islam (Persis), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Selain organisasi keagamaan, influencer dan pegiat media sosial juga ikut dalam perumusan naskah deklarasi tersebut. Salah satunya adalah Sakdiyah Ma`ruf. Hadir pula perwakilan dari Gusdurian, Setara Institute, dan Maarif Institute.

Dalam sambutannya, Kepala BPIP Profesor (Prof) Yudian Wahyudi berharap, deklarasi tersebut dapat menjadi pelecut bagi BPIP untuk lebih aktif dalam membangun serta menyosialisasikan narasi persatuan dan kebangsaan.

Upaya tersebut, kata Prof Yudian, dilakukan BPIP melalui platform media sosial dengan melibatkan berbagai pihak, terutama kaum milenial.

Prof Yudian melanjutkan, pihaknya ingin membuat deklarasi yang lebih besar dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat yang lebih luas. Hal ini dilakukan dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada Agustus 2022.

“Kami juga akan mendorong terwujudnya (persatuan dan kebangsaan) melalui pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2022. PP ini mengatur Pancasila menjadi mata pelajaran khusus dan kewarganegaraan menjadi bagian dari Pancasila," ujar Prof Yudian dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (31/3/2022).

Media sosial, lanjut Prof Yudian, merupakan platform penting yang harus disasar untuk menyebarkan nilai-nilai Pancasila. Sebab, media sosial memiliki keterjangkauan yang luas dan mampu membentuk opini komunal.

Selain itu, media sosial juga bisa diakses kapan pun dan di mana pun. Dengan demikian, sosialisasi nilai-nilai Pancasila melalui media sosial harus dimaksimalkan dan melibatkan banyak pihak.

“Media sosial menjadi platform penting dalam mengenalkan mata pelajaran Pancasila kepada siswa dan mahasiswa. Pada mata pelajaran Pancasila, 30 persen materi bersifat teoritis dan 70 persen materi lebih menggali kehidupan masyarakat melalui tradisi dan kebudayaan,” tuturnya.

Menteri Agama periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin mengamini hal pendapat Prof Yudian. Ia mengatakan, media sosial bisa berdampak positif dan negatif. Oleh karena itu, negara perlu hadir untuk mengawal proses yang terjadi pada media sosial.

“Namun, kehadiran negara di sini bersifat moderat. Tidak berlebih-lebihan. Jangan sampai kontrol negara melahirkan penyensoran yang justru membatasi demokrasi dan kebebasan berpendapat. Namun, bukan juga tanpa batas karena ini juga tak sehat. Ada nilai-nilai yang perlu kita sepakati bersama," ujarnya.

Oleh karena itu, tambah Lukman, etika dalam bermedia sosial perlu dirumuskan sebagai pegangan negara dan masyarakat itu sendiri.

Dengan begitu, BPIP sebagai pengawal Pancasila bisa menjalankan peran dan tugasnya secara implementatif dalam melihat aktivitas media sosial masyarakat.

Selain itu, BPIP juga bisa melihat bagian-bagian yang dapat mengancam nilai Pancasila atau menjadi bagian dari beragam wacana yang perlu dihargai dan hormati.

Tak sampai di situ, Lukman juga menegaskan urgensi peran tokoh organisasi agama atau majelis keagamaan agar pemanfaatan media sosial mejadi lebih proaktif.

“Adagium yang waras ngalah entah masih relevan atau tidak. Kalau yang waras selalu diam, semua media sosial kita akan dipenuhi oleh yang tidak waras. Maksud saya, kita harus mampu mengisi ruang publik di media sosial dengan cara pandang keagamaan yang kembali ke akar kita,” kata Lukman.

Lukman menambahkan, cara pandang tersebut tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia seperti tenggang rasa, tetapi juga akar atau inti dari ajaran agama. Utamanya, mengenai kemanusiaan.

Jadi, sekeras atau setajam apa pun perbedaan yang ada, tidak bisa menjadi alasan bagi seseorang untuk menegasikan hubungan kemanusian antarsesama. Apalagi, dengan menggunakan alasan keagamaan

“Merumuskan nilai-nilai universal dalam ajaran setiap agama itu perlu didahulukan. Pasalnya, problem keagamaan yang melahirkan konflik itu biasanya muncul pada persoalan yang partikutral, bukan yang universal,” tutur Lukman.

Adapun berikut 14 sikap etika dalam bermedia sosial yang dideklarasikan BPIP bersama berbagai ormas keagamaan.

Pertama, meneguhkan peran media sosial dalam memberikan edukasi untuk pemahaman kebhinekaan dan moderasi beragama. Hal ini bertujuan untuk menjaga persatuan serta kesatuan bangsa dan negara.

Kedua, menjadikan media sosial sebagai sarana literasi serta penyebarluasan narasi untuk menguatkan wawasan keberagaman dan kebangsaan.

Ketiga, mengutamakan sikap sadar etika dan moral dalam melakukan interaksi serta komunikasi di media sosial. Tujuannya, untuk menjaga keutuhan hidup berbangsa dan bernegara.

Kepala BPIP Prof Yudian Wahyudi tengah saat mendeklarasikan 14 sikap etika dalam bermedia sosial.DOK. BPIP Kepala BPIP Prof Yudian Wahyudi tengah saat mendeklarasikan 14 sikap etika dalam bermedia sosial.

Keempat, mengutamakan norma kesantunan dalam menggunakan media sosial sebagai sarana pemersatu di ruang publik.

Kelima, mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan yang universal dalam menyebarluaskan informasi ke ranah publik.

Keenam, menjadi pelopor dan agen dalam menyebarkan budaya sadar berliterasi di media sosial guna memperkuat persaudaraan sejati dalam bermasyarakat.

Ketujuh, membangun budaya kritis dan bijaksana dalam merespons informasi melalui media sosial.

Kedelapan, mengutamakan penggunaan media sosial untuk konten yang berorientasi pada nilai-nilai kemajuan, kearifan lokal, serta peradaban bangsa dalam mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki bangsa Indonesia.

Kesembilan, mengutamakan penggunaan media sosial untuk menghentikan ujaran kebencian yang berlandaskan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) di ruang publik.

Kesepuluh, mengutamakan nilai-nilai universal agama sebagai komitmen untuk menegakkan keadilan, kebenaran, kejujuran, serta integritas dalam bermedia sosial.

Kesebelas, memperkuat kerja sama antarlembaga keagamaan dalam menolak setiap ujaran kebencian.

Kedua belas, memperkuat peran tokoh agama perempuan dalam menolak setiap ujaran kebencian dan mempromosikan moderasi beragama.

Ketiga belas, menguatkan peranan keluarga dan institusi pendidikan dalam menggunakan media sosial yang bertanggung jawab terhadap pemahaman moderasi beragama.

Keempat belas, mendorong dan/atau mendesak negara hadir dan berperan sebagai katalisator serta regulator dalam penegakan norma-norma etika komunikasi publik berdasarkan Pancasila.

Melalui 14 sikap etika bermedia sosial tersebut, BPIP berharap masyarakat mampu memfilter konten di media sosial dengan selektif .

“Masyarakat juga harus mampu membangun narasi persatuan dan kebangsaan berdasarkan prinsip-prinsip yang ada pada Pancasila,” tutur Prof Yudian.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com