Advertorial

Aroma Kopi Ijen yang Tercium hingga Mancanegara

Kompas.com - 04/04/2022, 09:00 WIB

KOMPAS.com - Pagi itu, di kawasan wilayah kaki pegunungan Ijen, Banyuwangi, terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut yang turun pun terlihat lebih tebal dan embun pun juga lebih banyak, ini karena semalam habis turun hujan. 

Namun, dinginnya udara tidak menyurutkan semangat Achmad Shofawy untuk menunaikan rutinitas menumbuk biji kopi roasting secara tradisional menggunakan wajan tanah liat dan kayu bakar setiap jam setengah enam pagi.

Biji kopi yang telah ia tumbuk dan terpisah dari kulitnya kemudian ia pilah yang bagus-bagus. Setelah itu barulah dikemas dalam bentuk biji kopi ataupun yang digiling menjadi bubuk.

Kopi yang ditanam di kaki Gunung Ijen biasanya disebut Kopi Ijen atau Kopi Ijen Raung. Kopi yang mulai dikenal pada 1978 ini lebih banyak berjenis kopi Arabika.

Hal ini dikarenakan dataran tinggi pegunungan Ijen Raung sangat cocok untuk budidaya perkebunan kopi arabika, yang umumnya tumbuh pada ketinggian sekitar 700-1.700 kaki di atas permukaan laut. Kondisi ini berbeda dengan jenis kopi Robusta yang hanya bisa ditanam didataran rendah.

Achmad Shofawy merupakan salah satu supplier kopi Ijen. Ia sudah menjalankan usahanya sejak 2009 dan membuka kedai kopi rumahan di 2016.

Hari ini, “Kedai Ijen Maning” yang terletak di Dusun Pesucen, Kecamatan Licin, Banyuwangi milik Achmad kedatangan rombongan dari Jakarta untuk mencicipi racikan kopi Luwak Arabika buatannya.

Keunikan kopi Ijen selalu ia jual karena memiliki cerita yang khas, yakni perkebunan kopi di wilayah ini diapit oleh pegunungan Ijen dan laut. 

Cita rasa kopi Ijen khas Banyuwangi juga tergolong unik, karena adanya terpaan udara asam belerang pegunungan ijen dan udara yang mengandung asam garam laut. Achmad menyebut, cita rasa seperti ini sangat digemari oleh wisatawan baik domestik dan luar negeri.

“Sebelum pandemi, wisatawan Rusia dan Eropa sering datang ke kedai kopi di desa kami hanya untuk mencicipi kopi luwak arabika di sini. Tidak jarang setelah membawa pulang kopi Ijen, mereka akan melakukan repeat order dan kami akan kirim ke negara mereka,” ujar Ahmad.

Sebelum pandemi, Achmad mengaku sering mengirim kopi luwak dan kopi arabika merek “Ijen Maning” kepada pelanggan-pelanggan asing yang pernah datang ke kedainya. Harga yang diberikan berada di kisaran Rp 1 juta per kilogram (kg) untuk kopi luwak dan Rp 400.000 per kg untuk kopi arabika.

Permintaan kopi paling tinggi diakui Achmad adalah kopi luwak. Namun, karena keterbatasan sumber daya hewan, Achmad juga sering menawarkan kopi arabika sebagai pengganti.

“Petani kopi di sini benar-benar mengumpulkan biji kopi hasil dari pembuangan binatang luwak yang memang berkeliaran di perkebunan kopi. Luwak itu memilih sendiri tumbuhan kopi terbaik untuk dimakan sehingga kualitas biji kopi luwak ini sangat baik. Namun, karena pasokan Luwak liar sangat terbatas, biasanya kami selalu menawarkan dua kopi tersebut,” tambahnya.

 Walau tak seramai sebelum pandemi, kedai kopi Ijen Maning milik Achmad mulai berangsur pulih. Meski tidak memiliki karyawan, Achmad dibantu oleh istri dan anak untuk mengemas dan mengirim pesanan kopi.

Terkait perkembangan pertanian kopi, Pemerintah Daerah (Pemda) Banyuwangi sudah memberi perhatian khusus sejak awal 2009. Salah satunya melalui pelatihan untuk petani kopi hingga melalui Banyuwangi Festival (B-Fest) dan menggelar acara di berbagai sudut kota dan desa.

Hal ini bertujuan agar wisatawan tertarik untuk “masuk” ke jalan desa yang berisi tempat penjualan kopi hasil panen milik masing-masing warga.

Guna meningkatkan potensi ekonomi Banyuwangi, Pemda Banyuwangi melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi menargetkan tiga juta wisatawan berkunjung ke Banyuwangi pada 2022.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Yanuarto Bramuda mengatakan, target tersebut masih menyesuaikan dengan situasi pandemi. Namun, pihaknya tetap berupaya untuk menarik minat wisatawan lewat strategi pariwisata dan kolaborasi dengan pihak perhotelan, travel agent, serta pihak ketiga.

Seiring dengan pulihnya ekonomi Banyuwangi, pelaku usaha menengah usaha mikro kecil menengah (UMKM) pun mulai memetik hasil positif. Terdapat lonjakan kedatangan wisatawan yang terlihat dari penuhnya tingkat keterisian hotel, penggunaan jasa travel, hiburan, kuliner, suvenir, serta penjualan produk UMKM di Banyuwangi.

Para pelaku UMKM juga tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, termasuk ketika terdapat pengajuan kredit lewat pihak perbankan. Lewat kesempatan tersebut, Achmad ikut mengajukan fasilitas pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada 2021 sebesar Rp 40 juta.

Lewat dana dari program KUR, ia bisa memperbesar kapasitas produksi sehingga mampu memenuhi permintaan konsumen.

Dukungan terhadap geliat ekonomi Banyuwangi tidak berhenti sampai disitu. PT Asuransi Kredit Indonesia atau Askrindo ikut mendukung penuh pemulihan ekonomi, khususnya UMKM di Kota Banyuwangi.

Dukungan tersebut dilakukan melalui program KUR. Askrindo berperan dalam membantu akses permodalan UMKM, serta Penjaminan KUR, yakni menurunkan resiko kredit yang disalurkan perbankan ke UMKM.

Dorongan Askrindo untuk terus membantu UMKM tumbuh juga merupakan bagian dari pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2020.

Besarnya penyerapan di berbagai sektor menjadi indikasi semakin kuatnya pemulihan daya beli masyarakat serta gerak perekonomian yang semakin membaik.

Ke depan, Askrindo tetap berkomitmen untuk berpartisipasi memperkuat pemulihan ekonomi nasional khususnya melalui Penjaminan Kredit di segala sektor usaha yang kredibel.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com