Advertorial

Tarif PPN Jadi 11 Persen, Kemenkeu Jamin Keadilan dan Stabilitas Penyerapan Pajak

Kompas.com - 05/04/2022, 18:06 WIB

KOMPAS.com – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memutuskan untuk memberlakukan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11 persen dari sebelumnya sebesar 10 persen.

Seperti diketahui, Undang Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengamanatkan pemberlakuan tarif PPN sebesar 11 persen mulai Jumat (1/4/2022).

Kenaikan PPN sebesar 1 persen yang bersamaan dengan kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok itu pun menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak. Pasalnya, kenaikan tersebut dinilai dapat memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.

Meski demikian, sejumlah pihak, khususnya dari dunia usaha, optimistis bahwa kenaikan PPN sebesar 1 persen dapat berdampak positif bagi perekonomian di Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani meyakini, pemerintah sudah memiliki hitungan tersendiri untuk menjaga inflasi dan meningkatkan daya beli saat tarif PPN 11 persen diberlakukan.

Menurutnya, UU HPP disusun dengan menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam upaya peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan pembangunan sosial.

“UU HPP hadir untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian,” ujar Hariyadi dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (4/4/2022).

Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan bahwa strategi konsolidasi fiskal diperlukan untuk menjaga kestabilan perekonomian Indonesia.

Oleh karena itu, pihaknya akan menerapkan strategi yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak. Salah satunya adalah menerapkan kebijakan peningkatan kinerja penerimaan pajak.

“Kenaikan tarif PPN bertujuan untuk menghadirkan rezim pajak yang adil dan kuat. Penyehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi fokus utama pemerintah demi mengembalikan defisit APBN ke level tiga persen pada 2023,” ujar Sri Mulyani.

Kenaikan tarif PPN di Indonesia, lanjut Sri Mulyani, masih jauh lebih rendah dibandingkan berbagai negara yang tergabung dalam Group of Twenty (G20) dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Hal tersebut dipengaruhi oleh posisi Indonesia dan sejumlah negara lainnya yang masih berkutat dalam pemulihan ekonomi pascapandemi.

“PPN rata-rata di negara tersebut sekitar 15 persen, bahkan 15,5 persen," tuturnya.

Sri Mulyani melanjutkan, UU HPP juga mengatur sejumlah barang dan/atau jasa yang pajak terutangnya tidak dipungut sebagian atau seluruhnya. Bahkan, barang dan/atau jasa tersebut dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya melalui beleid turunan.

“Kebijakan tersebut berlaku untuk barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat, jasa kesehatan, jasa pendidikan, serta jasa pelayanan sosial,” tutur Sri Mulyani.

Penerapan kebijakan tersebut, kata Sri Mulyani, selaras dengan upaya pemerintah dalam mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis. Hal ini dilakukan dalam rangka pembangunan nasional.

Selain itu, imbuhnya, penerapan UU HPP juga dilakukan untuk meningkatkan potensi ekspor, mulai dari tarif PPN 0 persen pada ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, hingga ekspor jasa kena pajak masih berlaku.

Di samping itu, kemudahan dalam pemungutan PPN juga akan diberikan kepada jenis barang atau jasa atau sektor usaha tertentu melalui penerapan tarif PPN final. Sebagai contoh, 1 persen, 2 persen, atau 3 persen dari peredaran usaha.

"Penerapan UU HPP untuk mewujudkan rezim pajak yang kuat untuk menjaga Indonesia, bukan untuk menyusahkan rakyat," ujarnya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com