Advertorial

Mana yang Lebih Baik, Vitamin dari Bahan Alami atau Kimia? Simak Penjelasan Berikut

Kompas.com - 22/04/2022, 19:04 WIB

KOMPAS.com – Fenomena panic buying oleh masyarakat sempat mewarnai Indonesia saat awal pandemi Covid-19 melanda pada Maret 2020.

Situasi pun sempat chaos lantaran masyarakat di berbagai kota berlomba-lomba membeli berbagai produk rumah tangga dalam jumlah banyak. Tak hanya produk pangan, suplemen kesehatan dan vitamin pun jadi incaran.

Hal itu dilakukan masyarakat untuk mengantisipasi kondisi darurat di tengah pandemi Covid-19. Alhasil, ketersediaan suplemen dan vitamin di pasaran saat itu menjadi terbatas.

Namun, seiring melandainya pandemi Covid-19, ketersediaan berbagai produk kesehatan tersebut kembali normal.

Seperti diketahui, suplemen vitamin biasanya berbahan dasar kimia. Bahan dasar ini kerap dipilih oleh produsen untuk memenuhi kebutuhan pasar karena cepat dan mudah ditemukan.

Beberapa orang mungkin lebih memilih suplemen vitamin berbahan dasar kimia karena alasan kepraktisan. Sementara, sebagian lainnya memilih suplemen vitamin berbahan dasar herbal yang diyakini berasal dari bahan alami. 

Namun, tahukah Anda apa yang membedakan dua jenis bahan suplemen vitamin tersebut? Jika ditinjau dari sudut pandang kesehatan, mana lebih baik?

Berikut Kompas.com rangkumkan empat perbedaan vitamin berbahan dasar kimia dan alami, berdasarkan informasi salah satu shipper Ninja Xpress, Dr. O. 

  1. Kandungan mikronutrien

Kandungan mikronutrien dalam suplemen vitamin berbahan dasar herbal cenderung lebih banyak jika dibandingkan mengonsumsi vitamin berbahan dasar kimia.

Komposisi pada vitamin kimia biasanya sudah diresepkan sedemikian rupa sehingga hanya memuat satu vitamin tertentu saja.

Misalnya, ketika seseorang mengonsumsi vitamin C dari produksi obat kimia. Bahan utama yang dikandung pada umumnya hanya vitamin C.

Sebaliknya, jika mengonsumsi vitamin C yang berasal dari tanaman herbal, daun kelor misalnya. Senyawa alami, seperti flavonoid, antrakuinon, serta mikronutrien yang terkandung dalam daun kelor juga ikut masuk ke dalam tubuh.

Dengan begitu, berbagai zat yang baik untuk tubuh selain vitamin bisa diserap.

Untuk diketahui, vitamin herbal tak hanya memberikan zat yang dibutuhkan oleh tubuh, tetapi juga zat antioksidan yang berguna untuk mereduksi kerusakan jaringan dalam tubuh.

  1. Tingkat bioavailabilitas

Bioavailabilitas merupakan istilah dalam dunia farmasi yang merujuk pada jumlah relatif dan laju obat yang mencapai sirkulasi umum tubuh (sistem peredaran darah).

Terkait vitamin herbal dan kimia, bioavailabilitas merupakan tolok ukur apakah suatu vitamin lebih cepat dan lebih mudah diserap oleh tubuh.

Beberapa vitamin kimia memiliki bioavailabilitas yang sama dengan vitamin yang berasal dari bahan herbal, misalnya vitamin C dan asam folat.

Melansir healthline.com, saat dibandingkan, vitamin C dan asam folat yang diproduksi dari bahan kimia serta vitamin C dan asam folat yang berasal dari bahan herbal memiliki bioavailabilitas yang mirip.

Namun, beberapa jenis vitamin, seperti B1, B2, B3, dan E, yang berasal dari bahan kimia, memiliki bioavailabilitas yang lebih rendah dibandingkan vitamin yang berasal dari bahan alami dan herbal.

  1. Risiko kelebihan vitamin

Mengonsumsi vitamin yang terbuat dari bahan kimia memang lebih praktis. Seseorang hanya perlu menelan satu tablet atau kapsul untuk mendapatkan asupan vitamin.

Namun, tahukah Anda bila seseorang yang terbiasa mengonsumsi vitamin dari bahan kimia kerap terbiasa menelan vitamin dengan jumlah lebih banyak, bahkan lebih pada tubuhnya dari yang dianjurkan oleh ahli gizi?

Jika dikonsumsi terus-menerus, hal itu dapat memengaruhi kesehatan serta menyebabkan akibat fatal, yaitu keracunan.

Studi Annals of the New York Academy of Sciences 2019 menunjukkan bahwa orang-orang yang terbiasa mengonsumsi makanan fortifikasi dan suplemen vitamin berbahan dasar kimia, cenderung memiliki kadar zat besi, asam folat, dan vitamin A berlebih di dalam tubuh.

Pada dasarnya, vitamin memang baik untuk metabolisme tubuh. Meski begitu, jangan sampai kadar vitamin dalam tubuh melebihi ambang batas yang ditentukan. Sebab, hal ini bisa mengganggu sistem kerja tubuh.

  1. Risiko efek samping

Vitamin yang berasal dari bahan kimia diklaim rentan menimbulkan efek samping dan dapat mengganggu kesehatan seseorang.

Penelitian Advances in Nutrition Amerika Serikat (AS) membuktikan, konsumsi suplemen vitamin A dan beta karoten yang berasal dari bahan kimia dapat meningkatnya risiko jenis kanker tertentu. Tingkat risiko yang ditimbulkan bahkan mencapai hingga 16 persen.

Studi lain dari Molecules di Malaysia pun menemukan hubungan antara konsumsi suplemen vitamin A dosis tinggi berbahan dasar kimia dengan rendahnya kepadatan tulang pada perempuan. Utamanya, pada perempuan yang memiliki kadar vitamin D rendah.

Nah, itulah empat perbedaan antara vitamin berbahan dasar kimia dan alami. Ulasan tersebut bisa menjadi referensi Anda sebelum memilih jenis vitamin yang akan dikonsumsi.

Baik vitamin yang terbuat dari kandungan kimia maupun berbahan herbal memiliki kelebihan masing-masing. Namun, bagi Anda yang ingin mengonsumsi vitamin dengan risiko efek samping yang lebih rendah, vitamin berbahan dasar herbal bisa jadi pilihan.

Dari sejumlah suplemen vitamin yang tersedia, suplemen vitamin BONEY bisa jadi pilihan tepat bagi Anda yang ingin mengonsumsi vitamin herbal berkualitas.

Suplemen vitamin BONEY bermanfaat untuk merawat kesehatan tulang, mencegah osteoporosis, serta menambah tinggi badan.

Anda bisa memperoleh manfaat dari suplemen vitamin BONEY dengan membelinya di sini atau kunjungi akun Shopee official dr. O. Harganya pun terjangkau, yakni mulai dari Rp 149.000 per botol.


Tertarik untuk mencobanya? Dapatkan produk BONEY sekarang.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com