KOMPAS.com – Pertamina dan Air Liquide Indonesia sepakat untuk melakukan kerja sama dalam pengembangan teknologi carbon capture and utilization (CCU) di Unit Pengolahan Kilang Balikpapan, Kalimantan Timur.
Upaya tersebut merupakan komitmen Pertamina dalam mengimplementasikan aspek environment, social, and governance (ESG) serta mendukung penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia.
Kerja sama antara kedua belah pihak diresmikan melalui penandatanganan joint study agreement (JSA) oleh Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dan Group Chief Executive Officer (CEO) Air Liquide François Jackow di Paris, Prancis, Selasa (17/5/2022).
Penandatanganan kerja sama tersebut juga dihadiri Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) I Pahala Nugraha Mansury, Vice President for European and International Affairs Air Liquide Laurent Dublanchet, dan President Director of Alindo Marloes Moerman.
Dalam kerja sama tersebut, Pertamina dan Air Liquide akan melakukan studi bersama terkait penerapan teknologi penangkapan karbon dioksida (CO2) syngas dan flue gas dari produksi hidrogen di area Kilang Balikpapan.
Emisi CO2 yang telah ditangkap kemudian akan dikompresi dan dialirkan ke area penyimpanan yang potensial di cekungan Kutai, Kalimantan Timur. Hal ini merupakan solusi untuk produksi hidrogen rendah karbon atau bluehydrogen.
Selanjutnya, sebagian CO2 dikonversi menjadi produk bernilai tambah, yakni metanol. Produk ini dapat dicampurkan dengan bahan bakar minyak (BBM) untuk menghasilkan bahan bakar rendah karbon.
Pahala mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK dan mencapai net zero emission pada 2060. Komitmen ini telah tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021.
Perpres tersebut diterjemahkan ke dalam 48 aturan turunan. Beberapa aturan yang sedang disusun berdasarkan Perpres itu adalah National Determined Contribution (NDC) per sektor, carbon economic value, dan pajak karbon.
“Kementerian BUMN berkomitmen untuk memulai dekarbonisasi. Komitmen ini diwujudkan dengan secara aktif memimpin agenda dekarbonisasi dengan tiga pilar inisiatif, yakni reduce end-to-end emission, build adjacent businesses, dan explore step-out opportunities,” ujar Pahala dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu (18/5/2022).
Menurut Pahala, inisiatif tersebut memiliki target progresif, yakni mengurangi sekitar 85 juta ton CO2e per tahun. Angka ini menyumbang sebesar 10 persen dalam NDC pada 2030.
“Penerapan teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS) dapat meningkatkan produksi minyak dan gas sekaligus mengurangi emisi GRK secara signifikan,” ujarnya.
Teknologi CCUS, sambung Pahala, memungkinkan kilang Pertamina untuk membuat CO2 yang tersedia, baik untuk penyimpanan (CCS) maupun penggunaan (CCU), sekaligus mengintegrasikan sektor ini ke dalam ekonomi sirkular.
Pada kesempatan yang sama, Nicke mengatakan bahwa penerapan teknologi CCUS merupakan salah satu inisiatif untuk mengurangi emisi karbon dari fasilitas kilang Pertamina. Teknologi ini juga dapat menjadi solusi peningkatan produksi minyak dan gas (migas) di era transisi energi.
"Saat ini, transisi energi merupakan isu prioritas. Pertamina telah memainkan peran penting dalam memimpin transisi industri energi Indonesia," ujar Nicke.
Pertamina, lanjut Nicke, menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 30 persen. Perseroan juga berupaya meningkatkan bauran energi baru terbarukan dari 9,2 persen pada 2019 menjadi 17,7 persen pada 2030.
Seperti diketahui, Indonesia memegang Presidensi Group of Twenty (G20) dengan memprioritaskan transisi ke energi berkelanjutan sebagai salah satu isu utama.
Kerja sama tersebut, tutur Nicke, diharapkan akan mempercepat penerapan green technology dalam menyediakan energi rendah karbon sekaligus menjaga perubahan iklim global.
"Kami berharap, penandatangan kerja sama tersebut dapat membawa dampak positif bagi percepatan implementasi teknologi rendah karbon serta penyediaan low carbon energy resilience di Indonesia," ujarnya.