Advertorial

DOB Papua, Pengamat: Pemekaran Bawa Perubahan Signifikan terhadap Pembangunan

Kompas.com - 23/05/2022, 11:48 WIB

KOMPAS.com – Pengamat Politik Lokal Papua Frans Maniagasi tak menampik tujuan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) atau pemekaran Papua untuk mengakselerasi pembangunan dan memperluas jangkauan pelayanan birokrasi pemerintahan.

Namun, ia berpendapat bahwa sebaiknya nilai rasionalitas Orang Asli Papua (OAP) untuk memahami nilai-nilainya sendiri pun mesti diberikan ruang agar dapat berakselarasi.

Bagaimanapun, pemekaran wilayah tidak mencabut OAP dari nilai-nilai dan akar budayanya.

“Pengalaman empiris menunjukkan, pemekaran wilayah selama ini membawa perubahan yang signifikan terhadap kemajuan fisik,” ujar Frans dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (23/5/2022).

Mantan Anggota Tim Asistensi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua 2001 itu menjelaskan bahwa pemekaran tidak hanya fokus pada percepatan pembangunan dan memperpendek rentang kendali pemerintahan (birokrasi), tetapi juga memproduksi kemajuan yang progresif di satu pihak.

Di lain pihak, pemekaran juga berfungsi agar ada sinergitas terhadap eksistensi dan keberlanjutan dari paradigma nilai lokal.

"Pemekaran tak memandang nilai lokal sebagai antipemekaran dan perubahan atau resistensi terhadap pembangunan," kata Frans.

Pemekaran Papua, lanjut Frans, sejatinya bukanlah rencana di atas kertas, melainkan harus diwujudkan. Secara yuridis, pada pasal 76 ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang (UU) No 2/2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua melegitimasi pemekaran dapat dilakukan.

"Mekanismenya dapat dilakukan (secara) bottom-up dan top down. Hal ini dapat ditunjukkan pada ayat (1) pemekaran provinsi–provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP),” ujar Frans.

Adapun pemekaran dilakukan setelah memperhatikan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang dengan sungguh-sungguh

Koordinator Forum Diskusi Sabang–Merauke (FORSAM) tersebut melanjutkan, dalam ayat (2) tertulis bahwa pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat.

Pemekaran tersebut juga dapat mengangkat harkat dan martabat OAP dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua.

"Sementara di Ayat (3), pemekaran daerah provinsi dan kabupaten atau kota, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tanpa dilakukan melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur dalam Undang–Undang mengenai pemerintahan daerah," lanjutnya.

Frans menegaskan bahwa ayat-ayat tersebut merefleksikan negara melakukan pemekaran provinsi lantaran beberapa argumentasi pertama alasan ideologis sebagai ekses warisan sejarah Integrasi Papua (1963) menyusul Pepera (1969) dan diperparah oleh berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang tak pernah tuntas diselesaikan.

Perspektif yang paling dominan, kata Frans, adalah developmentalis yang melatarbelakangi perubahan pasal 76 ayat ( 1, 2, dan 3). Hal ini juga mendominasi argumentasi pemerintah dengan alasan pembangunan dan administratif pemerintahan serta pelayanan kepada masyarakat menjadi basis logika yang menginginkan “percepatan” pemekaran provinsi–provinsi di Papua.

"Oleh karena itu, ayat (2) menjadikan patokan pemekaran wilayah Papua dalam kepentingan strategi nasional. (Tujuannya), untuk mengurai berbagai persoalan dan konflik di Papua berkenaan dengan percepatan pembangunan kesejahteraan (Inpres No 9/2020) dan dikokohkan dengan perubahan UU 21/2001 menjadi UU No 2/2021 tentang Otonomi Khusus Papua," kata Frans.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com