Advertorial

Jangan Bingung, Begini Cara Lapor Pajak Saham di SPT Tahunan

Kompas.com - 02/06/2022, 15:07 WIB

KOMPAS.com – Pada awal pandemi Covid-19, masyarakat cenderung memilih untuk mengalokasikan uangnya pada tabungan dan investasi daripada membelanjakannya. Pembatasan gerak masyarakat menjadi salah satu penyebab mereka menunda pembelanjaan barang konsumsi.

Hal itu selaras dengan temuan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Per akhir Agustus 2021, KSEI mencatatkan jumlah single investor identification (SID) saham mencapai 2.697.832. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat ketimbang akhir 2020.

“Total investor pasar modal per Agustus 2021 tercatat 6.100.525 atau tumbuh 57,2 persen dari data jumlah investor pada akhir 2020,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP Neilmaldrin Noor dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (27/5/2022).

Meski demikian, ketertarikan masyarakat Indonesia dengan investasi, khususnya pada saham, sebaiknya diiringi dengan kesadaran melaporkannya pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. 

Neil melanjutkan, investor yang baik harus memahami kewajiban membayar pajak, termasuk mendaftarkan produk investasinya dalam pelaporan pajak. Ia pun memberi tahu tata cara pelaporan produk investasi pada SPT.

Pada aplikasi atau web perusahaan sekuritas, katanya, biasanya terdapat menu SPT Tahunan atau tax report (laporan pajak). Di dalam menu ini, terdapat berbagai dokumen yang diperlukan dalam pelaporan SPT Tahunan.

“Dokumen tersebut terdiri dari ringkasan rekapitulasi penjualan (trade recapitulation summary), daftar penerimaan dividen (stock dividend listing), portofolio nasabah (client portfolio), serta rekening dana nasabah (RDN),” ujarnya.

Ia melanjutkan bahwa terdapat dua macam penghasilan yang didapatkan saat berinvestasi saham, yakni penghasilan atas penjualan saham dan penghasilan dividen.

Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 282/KMK.04/1997, penghasilan atas penjualan saham dikenai Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,1 persen dari seluruh nilai penjualan (net amount).

PPh tersebut dikenakan saat transaksi penjualan saham dan dibayarkan melalui pihak sekuritas. Sementara itu, penghasilan dividen dikenai PPh final sebesar 10 persen dari jumlah penghasilan dividen yang diterima.

“Karena pajaknya bersifat final, jumlah penghasilannya tidak diperhitungkan atau dijumlahkan lagi ketika menghitung penghasilan neto. Dengan demikian, (pajak ini) tidak memengaruhi jumlah PPh terutang,” ujar Neil.

Pelaporan pajak PPh final

Setelah mengetahui jenis pajak dari investasi saham yang harus dilaporkan, Neil menjelaskan, penghasilan dari saham bisa dilaporkan pada bagian atau kolom penghasilan yang dikenakan PPh final dan/atau bersifat final.

Penghasilan atas penjualan saham dimasukkan pada bagian nomor 3, yaitu penjualan saham di bursa efek. Untuk mengisi pos ini, diperlukan data dari ringkasan rekapitulasi penjualan atau trade recapitulation summary.

Sementara itu, penghasilan dividen dimasukkan pada bagian nomor 12, yaitu dividen. Untuk mengisi pos dividen, diperlukan data dari daftar penerimaan dividen atau stock dividend listing.

“Kolom PPh terutang diisi dengan total PPh final atas penghasilan dividen dalam satu tahun. Data-data tersebut seperti dasar pengenaan pajak (DPP) atau penghasilan bruto, dapat dilihat pada bagian amount dan PPh terutang yang ada pada bagian income tax,” tuturnya.

Selain mengisi kolom penghasilan yang dikenakan PPh final dan/atau bersifat final, lanjut Neil, pelapor SPT juga harus mengisi kolom harta.

Adapun kolom harta yang diisi adalah pos nomor 31, yaitu saham yang dibeli untuk dijual kembali. Untuk mengisi bagian ini, diperlukan data-data dari client portfolio.

Kolom harta yang harus diisi selanjutnya adalah pos nomor 19, yaitu Setara Kas Lainnya. Kolom ini berisi sisa dana yang tidak dipergunakan untuk pembelian saham, termasuk penghasilan dividen dan penghasilan dari penjualan saham menjadi saldo RDN.

“Sisa saldo yang tersisa di RDN inilah yang nantinya diisikan pada kolom setara kas lainnya,” ujar Neil.

Ia melanjutkan, wajib pajak yang memiliki saham belum dijual atau lupa melaporkan saldo RDN pada SPT Tahunan dapat memanfaatkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS).

Sebagai informasi, PPS merupakan program baru dari Direktorat Jenderal Pajak berupa pemberian kesempatan kepada wajib pajak (WP) untuk melaporkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta.

“Apabila WP memiliki aset berupa saham yang belum dijual atau memiliki saldo di RDN, aset tersebut wajib dilaporkan pada SPT setiap tahun,” tuturnya.

Neil melanjutkan bahwa apabila pemilik aset saham mengikuti PPS kebijakan II, WP wajib membayar PPh final sesuai dengan tarif yang tercantum pada Pasal 6 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan PPS yang besarnya paling tinggi 18 persen dikalikan dengan nilai harta yang belum diungkapkan.

Apabila tidak mengikuti PPS, lanjutnya, WP yang belum melaporkan harta sepanjang 2016-2020 akan dikenakan PPh final dengan tarif 30 persen (Pasal 11 ayat 2 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan) ditambah sanksi keterlambatan.

Selain itu, WP yang pernah mengikuti program tax amnesty dan belum melaporkan hartanya secara lengkap akan dikenakan PPh final sebesar 25 persen untuk WP badan, 30 persen untuk WP orang pribadi, dan 12,5 persen untuk WP tertentu dari harta bersih tambahan (PP 36/2017 tentang Tax Amnesty). Besaran PPh final ini akan ditambah sanksi administrasi hingga 200 persen atas keterlambatan.

“Dengan demikian, WP yang mengikuti PPS akan membayar PPh final lebih rendah jika dibandingkan jika tidak mengikuti PPS. Perlu diketahui, program ini hanya berlaku selama 6 bulan, yakni hingga 30 Juni 2022,” ujar Neil.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com