Advertorial

Peningkatan Kualitas Demokrasi di Era Digital

Kompas.com - 17/06/2022, 19:41 WIB

KOMPAS.com - Negara demokrasi memiliki sejumlah ciri, antara lain berdasar pada hukum, terdapat kontrol rakyat terhadap jalan pemerintahan, pemilihan umum (pemilu) yang jujur dan adil, partisipasi masyarakat yang kuat, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).

Seluruh poin tersebut telah berjalan di Indonesia. Akan tetapi, Indonesia masih menghadapi banyak persoalan terkait demokrasi, seperti kemunculan ideologi intoleran dan ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa Indonesia belum mapan dalam kehidupan berdemokrasi dan masih dalam proses pembelajaran menuju negara dengan demokrasi yang sehat.

Secara kuantitatif, kondisi tersebut dapat dirujuk pada capaian indeks demokrasi Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, indeks demokrasi Indonesia pada 2010 adalah 68,28 dalam skala 0 sampai 100. Sementara, pada 2021, indeks demokrasi Indonesia mencapai 75,46. Adapun nilai indeks demokrasi Indonesia mencapai angka tertinggi pada 2019, yakni 76,34.

Dalam skala global (0-10), skor indeks demokrasi Indonesia adalah 6,71. Angka ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-52 dunia. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih lebih rendah dari Malaysia yang memiliki skor 7,24 dan Timor Leste dengan skor 7,06.

Upaya peningkatan kualitas demokrasi

Untuk mendorong peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menggelar Forum Cerdas Berdemokrasi dengan tema “Peningkatan Kualitas Demokrasi Di Era Digital”.

Forum tersebut dilaksanakan di Gedung Graha Kebangsaan Universitas 17 Agustus 1945, Semarang, Selasa (14/6/2022).

Forum Cerdas Berdemokrasi digelar untuk meningkatkan pengetahuan serta kesadaran dan partisipasi masyarakat, terutama generasi milenial, untuk merawat dan mengembangkan demokrasi yang sehat di Indonesia.

Adapun sejumlah narasumber yang hadir dalam forum tersebut, antara lain perwakilan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jawa Tengah Rahmad Winarto, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas 17 Agustus 1945 Semarang Dra Rini Werdiningsih, MS, dan Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto.

Direktur Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan Kemenkominfo Bambang Gunawan mengatakan, Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan India.

“Demokrasi merupakan hal yang krusial bagi negara yang memiliki latar belakang budaya dan etnis,” katanya dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Jumat (17/6/2022).

Perkembangan teknologi, lanjutnya, berkontribusi pada perkembangan demokrasi. Hal ini pun memunculkan fenomena demokrasi digital.

“Saat ini, demokrasi digital merupakan cara baru bagi masyarakat untuk berkreasi, berekspresi, dan berpendapat melalui platform digital,” ujarnya.

Bambang juga berharap, pemerintah dan masyarakat dapat berkolaborasi dalam meningkatkan kualitas demokrasi sekaligus mengimplementasikan demokrasi yang sehat di era digital.

“Terlebih, dunia digital memiliki tantangan tersendiri, seperti maraknya konten-konten bersifat hoaks yang menyesatkan dan tidak jelas asal usulnya, serta mudah diakses oleh siapa pun,” sambungnya.

Oleh karena itu, kata Bambang, masyarakat harus berhati-hati dan cermat dalam menerima informasi.

Kesetaraan ruang

Sementara itu, Rahmad Winarto menjelaskan dalam paparannya bahwa proses demokrasi harus memberikan ruang yang setara bagi siapa pun. Dengan begitu, kegelisahan publik dapat dikelola dengan baik dan melahirkan rekomendasi-rekomendasi strategis yang bermanfaat bagi khalayak ramai.

“Kita telah mengalami fase dimana komunikasi, informasi, dan transportasi telah mengalami perubahan yang sangat besar,” jelasnya.

Saat ini, kata Rahmad, manusia telah sampai pada titik kemudahan informasi yang dapat diterima hanya dengan mengetikkan kata kunci.

“Kata kunci ini melahirkan referensi-referensi yang memiliki dampak negatif dan belum valid kebenarannya. Oleh karena itu, kita jangan salah pilih guru dan mengambil referensi. Karena bila salah guru akan salah pula referensinya,” ujarnya.

Rahmad mengatakan bahwa saat ini, generasi Z mendominasi setiap aspek kehidupan di Indonesia. Oleh karena itu, perlu ada bentuk komunikasi yang dapat dimengerti anak muda agar mereka tertarik kepada dunia politik.

“Bicara soal demokrasi dan mahasiswa, jika sebelumnya identik dengan aksi turun ke jalan, sekarang platformnya telah berbeda. Kritik dan aspirasi dapat disampaikan dengan cara yang baik melalui platform digital tanpa harus turun ke jalanan,” tutur Rahmad.

Indikator kualitas demokrasi

Dra Rini Werdaningsih mengatakan, era digital menimbulkan pergeseran nilai di tengah masyarakat. Saat ini, segala sesuatu disampaikan dan disebarluaskan melalui media sosial.

“Tak bisa dimungkiri, setiap generasi memiliki penerimaan yang berbeda-beda dalam menghadapi situasi ini,” ujarnya.

Lebih lanjut Rini menjelaskan, setidaknya ada lima indikator dalam mengukur kualitas demokrasi, yaitu budaya politik, kebebasan sipil, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik dan proses pemilu, serta pluralisme.

“Adapun kualitas demokrasi di era digital sesungguhnya dilihat dari bagaimana masyarakat, terutama perilaku generasi Z, dalam mempengaruhi kelima indikator tersebut,” jelasnya.

Menurutnya, generasi Z menjadi faktor penentu karena mereka sangat berdampingan dengan kemajuan teknologi, open minded, dan turut berperan sebagai agen perubahan.

Kesiapan dari lembaga pemerintahan merupakan salah satu kunci penting dalam upaya meningkatkan kualitas demokrasi di era digital.

Upaya tersebut telah dicontohkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang telah menyediakan kanal laporgub.jatengprov.go.id untuk memudahkan masyarakat menyampaikan keluhan dan aspirasi.

Tantangan jelang pemilu

Damar Juniarto mengungkapkan bahwa ada tantangan terhadap kualitas demokrasi suatu negara, terutama menjelang pemilu.

Menurutnya, platform digital berperan sebagai instrumen untuk melihat tingkat transparansi politik dan demokrasi.

“Kemudahan akses platform digital memungkinkan masyarakat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah,” tuturnya.

Selain itu, lanjut Damar, platform digital juga dapat membantu menyuarakan HAM. Pasalnya, konsep digital sendiri sejajar dengan konsep demokrasi karena semua orang memiliki akses yang sama.

Damar menyampaikan, teknologi dapat mendorong peningkatan kualitas demokrasi menjadi lebih baik.

“Namun, di era digital yang bebas ini, masyarakat dapat memperoleh konten negatif dan berperilaku negatif dengan mudah. Oleh karena itulah, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam rangka mengatur perilaku dan muatan konten yang terdapat di platform digital,” jelasnya.

Jelang pemilu 2024, Damar berharap masyarakat semakin cerdas dan bijaksana dalam berdemokrasi.

“Terutama, cara menjaga dan bertanggung jawab terhadap situasi yang kita hadapi sekarang. Pengalaman pemilu lalu, kita tidak memilih pemimpin bukan karena prestasi atau rekam jejaknya, tetapi karena rasa suka dan tidak suka,” terangnya.

Menurutnya, peningkatan kualitas demokrasi tidak hanya berbicara tentang bagaimana internet bisa mengalahkan suara amplop, tetapi juga pemanfaatan kemajuan teknologi secara cerdas dan bijaksana. Utamanya, dalam menyampaikan aspirasi dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

“Dengan demikian, teknologi digital akan mendukung terwujudnya demokrasi yang semakin sehat dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih baik,” sambung Damar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com