Advertorial

Jurus Pertamina Lakukan Penghematan hingga Rp 32 Triliun

Kompas.com - 21/06/2022, 20:27 WIB

KOMPAS.com – Merespons arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar tak hanya mengandalkan subsidi dari pemerintah, Pertamina melakukan serangkaian upaya efisiensi dan optimalisasi biaya. Hal ini dinilai sebagai salah satu cara terbaik untuk mengubah tantangan menjadi prestasi.

Adapun upaya Pertamina dalam menghemat biaya operasional terjadi pada tahun kedua pandemi Covid-19. Nilainya terbilang fantastis, yakni sebesar 2,2 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 32 triliun.

Efisiensi tersebut diperoleh dari implementasi program penghematan biaya (cost saving) sebesar Rp 20 triliun, penghindaran biaya (cost avoidance) Rp 5 triliun, dan tambahan pendapatan (revenue growth) senilai Rp 7 triliun.

Pejabat Sementara (Pjs) Vice President Corporate Communication Pertamina Heppy Wulansari mengatakan, upaya penghematan yang diupayakan Pertamina pada 2021 bukan hal mudah.

Heppy menjelaskan, berbagai inovasi dan cara ditempuh Pertamina untuk menyiasati tantangan bisnis yang kian berat. Terlebih, di tengah lonjakan harga minyak mentah dunia akibat disrupsi rantai pasok dan kondisi pandemi yang masih berlangsung.

Tantangan serupa juga dihadapi Pertamina pada 2022. Konflik Ukraina-Rusia mengakibatkan minyak mentah Indonesia atau Indonesian crude price (IPC) meroket hingga 100 dollar AS per barrel.

“Dengan efisiensi, kami bisa bertahan di tengah dinamika global yang tak terduga dan mempersembahkan laba bersih sebesar Rp 29,3 triliun pada 2021,” ujar Heppy dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (21/6/2022).

Heppy menambahkan, pada sektor hulu yang menerima windfall profit dari tingginya harga ICP, Pertamina mampu melakukan optimalisasi biaya produksi dan pelayanan melalui serangkaian terobosan.

Adapun terobosan tersebut mulai dari budget tolerance profile, optimalisasi intervensi sumur, penghematan konsumsi chemical, hingga penggunaan bahan bakar.

Alhasil, lanjut Heppy, Pertamina mampu menghemat biaya Rp 6,2 triliun atau lebih tinggi 10 persen dari target, yakni Rp 5,6 triliun.

Lebih lanjut, Heppy menuturkan, pada proses pengadaan minyak mentah dan produk, Pertamina menerapkan optimasi biaya pengadaan medium crude melalui aktivitas blending heavy and light crude, renegosiasi alpha, advance procurement, pembelian distress cargo, co-load delivery, extensive delivery date range, dan optimalisasi portofolio impor liquefied petroleum gas (LPG), baik secara multi-source, direct sourcing, maupun trading swap.

“Meski rumit, hasilnya (tetap) ciamik dan dapat menekan biaya hingga Rp 2,8 triliun,” terang Heppy.

Selain itu, optimalisasi biaya pada sektor pengangkutan dan distribusi energi juga menuai hasil positif sebesar Rp 4,1 triliun. Capaian ini diperoleh lewat penerapan sejumlah cara, antara lain perubahan pola suplai crude dan produk, perubahan rute dan jenis kapal, serta optimalisasi bunker.

Optimalisasi pola supply logistic, optimalisasi biaya distribusi, handling dan storage, renegosiasi tarif alur pelayaran, serta renegosiasi tanker charter rate.

Peningkatan TKDN

Torehan prestasi Pertamina dalam upaya efisiensi tak berhenti di situ saja. Pada belanja pengadaan dan perawatan non-hydro, misalnya, perseroan mampu membukukan penghematan biaya sebesar Rp 3,4 triliun.

Adapun metode efisiensi yang diterapkan Pertamina adalah sentralisasi pengadaan, renegosiasi kontrak jangka panjang, dan penurunan konsumsi barang atau jasa.

Selain itu, imbuh Heppy, Pertamina juga melakukan penyempurnaan program pemeliharaan melalui peningkatan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dan reprioritasi aktivitas pemeliharaan peralatan kilang, preventive maintenance mobil tangki, prioritas tank cleaning dan penyempurnaan program docking panel, serta pengurangan durasi pelaksanaan docking.

“Gerakan optimalisasi biaya juga masif untuk pengeluaran keuangan, umum, dan administrasi. Sektor pendukung ini juga berkreasi dengan penghematan Rp 2,5 triliun, lebih tinggi dari target yang ditetapkan, yakni sebesar Rp 2,3 triliun,” jelasnya.

Heppy menjelaskan, capaian tersebut diraih berkat jurus optimalisasi beban pajak dan bunga, serta optimalisasi biaya administrasi dan umum.

Beberapa jurus tersebut di antaranya adalah pemanfaatan media online untuk optimalisasi biaya travel dan training pekerja, pembatasan penggunaan jasa konsultan, relokasi gedung perkantoran dengan tarif sewa yang lebih murah, serta reprioritas kegiatan promosi, seremonial dan sponsorship.

“Dengan menghemat energi dan bahan bakar kilang untuk penggunaan sendiri serta optimalisasi penggunaan listrik, anggaran Rp 403 miliar dapat diefisienkan,” ujar Heppy.

Selain menghemat biaya untuk mencetak efisiensi secara signifikan, Pertamina juga melakukan penghindaran biaya hingga Rp 5,1 triliun atau lebih tinggi 10 persen dari target yang dipatok, yakni sebesar Rp 4,6 triliun.

Untuk mendukung upaya penghematan, lanjut Heppy, Pertamina juga mampu menghasilkan tambahan pendapatan sebesar Rp 7,1 triliun atau mencapai 107 persen dari target 2021 sebesar Rp 6,6 triliun.

“Program cost optimization merupakan program berkelanjutan. Adapun realisasi program cost efficiency pada 2020 sebesar Rp12,6 triliun. Sementara, realisasi cost optimization hingga April 2022 sebesar Rp 2,9 triliun,” kata Heppy.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com