Advertorial

Harga Minyak Dunia Tinggi, Pertamina Jaga Stok BBM dan LPG Tetap Aman

Kompas.com - 08/07/2022, 18:27 WIB

KOMPAS.com – Di tengah tingginya harga minyak mentah dunia, PT Pertamina (Persero) memastikan pasokan minyak mentah, bahan bakar minyak (BBM), dan liquefied petroleum gas (LPG) nasional berada pada level aman. Terlebih, ketersediaan produk tersebut kini dapat dikontrol melalui sistem digital.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menjelaskan bahwa kenaikan harga minyak menyebabkan krisis energi di sejumlah negara.

Oleh sebab itu, sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang energi, Pertamina membuat perencanaan akurat dengan menyeimbangkan aspek ketahanan energi nasional dan kondisi korporasi.

Tidak hanya secara nasional, Pertamina juga menjaga ketersediaan pasokan BBM dan LPG per wilayah. Bahkan, hingga tingkat stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Pasalnya, stok yang diperlukan masing-masing wilayah berbeda untuk setiap jenis produk.

“Beberapa wilayah membutuhkan pasokan Solar yang lebih tinggi ketimbang produk lain. Ada pula yang lebih membutuhkan Pertalite atau Pertamax. Kebutuhan ini bisa dilihat melalui sistem digital yang dimiliki SPBU,” papar Nicke dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (8/7/2022).

Nicke juga menjelaskan, kenaikan harga minyak dan gas bumi merupakan tantangan berat bagi sektor hilir. Pasalnya, harga keekonomian produk turut meningkat tajam.

Sebagai contoh, per Juli 2022, pemerintah menetapkan harga jual Solar CN-48 atau Biosolar (B30), sebesar Rp 5.150 per liter. Padahal, harga keekonomian produk ini mencapai Rp 18.150. Artinya, pemerintah membayar subsidi sebesar Rp 13.000 untuk produk ini.

Nicke melanjutkan, Pertalite dijual dengan harga Rp 7.650 per liter, sedangkan harga pasar saat ini mencapai Rp 17.200. Artinya, pemerintah menyubsidi Pertalite sebesar Rp 9.550 per liter untuk masyarakat.

Hal serupa juga terjadi pada LPG Public Service Obligation (PSO). Sejak 2007, produk ini dijual dengan harga Rp 4.250 per kilogram (kg), sedangkan harga pasar mencapai Rp 15.698 per kg. Jadi, subsidi dari pemerintah mencapai Rp 11.448 per kg.

Sementara itu, Pertamina mematok harga Pertamax sebesar Rp 12.500. Padahal untuk RON 92, perusahaan kompetitor sudah menetapkan harga sekitar Rp 17.000. Pasalnya, harga pasar Pertamax telah mencapai Rp 17.950. 

“Kami masih menahan harga Pertamax pada Rp 12.500. Sebab, jika harga Pertamax dinaikkan, akan terjadi shifting ke Pertalite. Hal ini justru berpotensi menambah beban negara,” ujar Nicke.

Nicke menjelaskan, pemulihan ekonomi pascapandemi telah berdampak pada peningkatan mobilitas masyarakat. Penjualan BBM dan LPG pun ikut naik.

Bila tren itu berlanjut, kata Nicke, kebutuhan Pertalite dan Solar diprediksi melebihi kuota yang ditetapkan pemerintah.

“Oleh karena itu, pemerintah tengah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014, khususnya mengenai kriteria kendaraan yang berhak menggunakan BBM bersubsidi,” jelasnya.

Menurut Nicke, Pertamina harus menjaga kuota BBM bersubsidi agar tidak kelebihan kuota. Hal ini juga didasarkan pada data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang menyebutkan bahwa sebanyak 40 persen penduduk miskin dan rentan miskin hanya mengonsumsi 20 persen dari total BBM bersubsidi.

Sementara itu, 60 persen penduduk dengan tingkat ekonomi teratas mengonsumsi 80 persen BBM bersubsidi.

Oleh sebab itu, Pertamina harus memastikan bahwa BBM bersubsidi digunakan oleh masyarakat yang berhak dan kendaraan yang sesuai ketentuan.

Sesuai roadmap Pertamina, pendaftaran kendaraan penerima BBM bersubsidi dilakukan mulai Juli 2022.

Pendaftaran dilakukan melalui tiga cara, yakni melalui laman subsiditepat.mypertamina.id, aplikasi MyPertamina, dan secara langsung di SPBU. Adapun implementasi selanjutnya akan mengacu pada peraturan yang dikeluarkan pemerintah.

“Sejalan dengan implementasi tersebut, kami pun harus memastikan ketersediaan BBM dan LPG nonsubsidi,” imbuh Nicke.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com