KOMPAS.com - Usia menjadi salah satu faktor penting yang harus dipertimbangkan saat pasangan memutuskan untuk menikah. Pasalnya, pengantin yang menikah pada usia yang terlalu muda akan menanggung berbagai risiko. Salah satunya adalah melahirkan anak dengan kondisi stunting.
Dokter Mario Johan dalam diseminasi informasi dan edukasi percepatan penurunan stunting bertajuk Kepoin Generasi Bersih dan Sehat (GenBest): Tunda Pernikahan Dini, Stunting Teratasi di Kota Batu, Jawa Timur (Jatim), Kamis (21/7/2022), mengatakan, pernikahan yang dilakukan pada usia remaja cenderung berisiko. Sebab, karena remaja secara medis masih dalam proses tumbuh kembang dan masih membutuhkan asupan gizi.
Menurutnya, remaja yang menikah terlalu dini lalu hamil, maka asupan gizi yang ia terima akan terbagi dua dengan anaknya.
“Otomatis jika si calon ibu tidak tumbuh maksimal, anaknya juga berpotensi tidak tumbuh maksimal,” ujar dr Mario dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (22/7/2022).
Dokter Mario melanjutkan, ibu yang hamil dan melahirkan pada usia terlalu dini juga memiliki banyak risiko, mulai dari meningkatkan risiko keguguran, rendahnya berat badan bayi ketika lahir, hingga kelahiran prematur.
Selain itu, ukuran panggul remaja perempuan saat melahirkan belum terbentuk sempurna. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pendarahan dan distosia atau gagal lahir, bahkan mengancam nyawa ibu dan janin.
“Organ reproduksi perempuan yang terlalu muda belum terbentuk maksimal. Kesehatan reproduksi yang belum matang akan memengaruhi janin yang dikandung,” ujarnya.
Seperti diketahui, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan bahwa umur ideal untuk menikah bagi perempuan adalah 21 tahun atau lebih. Sementara itu, untuk laki-laki pada umur 25 tahun. Usia tersebut dinilai tepat karena tubuh sudah matang secara fisik dan dapat berpikir secara dewasa.
Pada kesempatan sama, Direktur Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Wiryanta mengatakan, angka prevalensi stunting di Kota Batu sudah melebihi target yang ditetapkan oleh Presiden, yaitu 13,8 persen pada 2021 dari target 14 persen untuk 2024.
Meski demikian, tindakan pencegahan untuk menunda pernikahan tetap perlu dilakukan agar angka tersebut tidak bertambah.
Pemerintah, lanjut Wiryanta, tengah fokus pada program penurunan prevalensi stunting karena hal ini terkait dengan masa depan Indonesia. Menurutnya, produktivitas yang didasarkan pada sumber daya manusia (SDM) kompeten dan sesuai jati diri nilai bangsa menjadi ukuran penting dalam mewujudkan cita-cita nasional. Hal ini menjadi alasan mengapa penurunan prevalensi stunting menjadi program prioritas pemerintah.
Adapun saat yang tepat untuk mencegah stunting adalah pada 1.000 hari pertama kehidupan. Upaya ini dilakukan sejak anak masih berada dalam kandungan sampai berusia dua tahun.
“Waktu tersebut menjadi masa krusial untuk melahirkan generasi yang sehat dan produktif,” tutur Wiryanta.
Sementara itu, Sub Koordinator Bina Ketahanan Remaja, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi Jatim, Yuyun Evriana, menyampaikan bahwa remaja yang menikah pada usia muda rentan melahirkan anak stunting.
“Stunting merupakan kondisi anak gagal tumbuh. Kalau pasangan yang menikah muda tidak memperhatikan gizi anaknya, stunting dapat terjadi,” tutur Yuyun.
Sebagai informasi, Forum Kepoin GenBest yang diadakan di Kota Batu, Malang, merupakan bagian dari kampanye GenBest. GenBest merupakan inisiasi Kemenkominfo untuk menciptakan generasi Indonesia yang bersih dan sehat serta bebas stunting.
GenBest mendorong masyarakat, khususnya generasi muda, agar menerapkan pola hidup bersih dan sehat dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui situs genbest.id dan media sosial @genbestid, GenBest juga menyediakan berbagai informasi seputar stunting, kesehatan, nutrisi, tumbuh kembang anak, sanitasi, siap nikah, serta reproduksi remaja. Informasi tersebut disajikan dalam bentuk artikel, infografik, serta videografik.