Advertorial

SDI Laporkan Situs APRTN Indonesia ke Polda Metro Jaya dengan Dugaan Sebar Berita Bohong

Kompas.com - 26/08/2022, 17:50 WIB

KOMPAS.com - Organisasi Sarekat Demokrasi Indonesia (SDI) melaporkan situs web aprtn.org milik Aliansi Penghuni Rumah Tanah Negara (APRTN) Indonesia kepada Polda Metro Jaya.

Pelaporan itu dilakukan karena situs tersebut diduga melakukan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait berita bohong tentang PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI yang ditulis APRTN Indonesia, terutama pada laman https://aprtn.org/profil/latar-belakang.

Ketua Umum SDI M Andrean Saefudin mengatakan, berita bohong yang disampaikan dalam situs tersebut terletak pada narasi-narasi provokatif sehingga dapat menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Narasi tersebut juga dikhawatirkan akan membentuk masyarakat yang tidak tertib hukum.

Dalam situs aprtn.org, pihak APRTN menggunakan frasa “praktik jahat” yang tertulis di alinea ketiga, yakni “Yang bersifat perseorangan atau berdiri sendiri, melainkan terpola sedemikian rupa karena pada kenyataannya 'praktik jahat' dari para oknum."

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Andrean, frasa “praktik jahat” diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas atau dengan kata lain dilakukan secara ilegal.

"Padahal, faktanya adalah tindakan KAI bukan merupakan praktik jahat, seperti penjelasan di aprtn.org. Intinya, KAI sudah melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan," kata Andrean dalam siaran pers yang diterima oleh Kompas.com, Jumat (26/8/2022).

Dalam situs itu, pihak APRTN juga menuliskan bahwa rumah dan tanah KAI sesungguhnya adalah tanah negara. Pernyataan ini dituliskan di hampir setiap alinea laman https://aprtn.org/profil/latar-belakang.

Menurut Andrean, pernyataan tersebut sesat. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan secara jelas bahwa yang dimaksud tanah negara, atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara, adalah tanah yang tidak dimiliki sesuatu hak atas tanah.

“Sementara, KAI telah memiliki hak atas tanah-tanah yang diklaim sebagai tanah negara di situs aprtn.org,” ujarnya.

Selanjutnya, Andrean juga mengupas lebih lanjut perihal klaim rumah negara dalam postingan tersebut. Menurutnya, rumah negara yang dimaksud adalah bangunan yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian pejabat dan/atau pegawai negeri.

Padahal, menurut Andrean, KAI adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kekayaannya berasal dari penyertaan modal negara. Artinya, aset KAI sudah terpisah dari kekayaan negara itu sendiri Status kepegawaian dari KAI pun bukan merupakan pegawai negeri.

“Oleh karena itu, rumah-rumah milik KAI bukanlah rumah negara. Berdasarkan pengertian itu, klaim rumah negara yang terdapat dalam postingan tersebut jelas adalah informasi sesat atau berita bohong,” ujarnya.

Andrean melanjutkan, jika tulisan dalam laman https://aprtn.org/profil/latar-belakang terbukti berita bohong, pemberi pernyataan akan terkena sanksi pidana pada Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 atas perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Adapun pasal tersebut berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).”

Selain itu, pemberi pernyataan juga akan terkena sanksi pada Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pasal tersebut berbunyi, “Barang siapa dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.”

Lebih lanjut, Andrean menjelaskan bahwa berita bohong lainnya juga terdapat pada alinea ketiga yang menggunakan frasa “korban”. Alinea yang dimaksud berbunyi, “Kami para penghuni rumah dan tanah 'negara' yang saat ini tengah berkonflik panjang dengan Jawatan/Perusahaan Kereta Api (sekarang PT KAI Persero) adalah sebagian dari 'korban' kondisi tersebut, korban dari sengkarutnya hukum dan perilaku oknum yang mencari keuntungan sendiri namun mengatasnamakan kedinasan/institusi."

Andrean menambahkan, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “korban” adalah orang yang mengalami kerugian atas benda kepunyaannya sendiri dan bukan kepunyaan milik pribadi.

Menurutnya, korban sebenarnya atas peristiwa yang ditimbulkan adalah KAI serta masyarakat umum.

“Jika melihat pada kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengakuan mereka sebagai korban merupakan hal yang salah. Sebab, kata ‘korban’ bisa dikatakan sebagai bentuk penghasutan terhadap masyarakat dan berpotensi memunculkan perlawanan,” papar Andrean.

Salah satu contoh perlawanan terjadi pada kasus penertiban yang berada di Bandung, Jawa Barat, dan Surabaya, Jawa Timur. Padahal, korban sesungguhnya adalah KAI.

Andrean berharap, konten pada sebuah situs web atau media sosial bisa memiliki nilai-nilai edukasi dan sosialisasi, bukan justru sebaliknya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com