Advertorial

Ulang Tahun Ke-75, Sekolah Farmasi ITB Gelar Seminar Pengembangan Farmasi Hijau

Kompas.com - 11/10/2022, 19:30 WIB

KOMPAS.com - Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) memperingati ulang tahun ke-75 (Lustrum XV) dengan menggelar seminar bertajuk “Green Pharmacy: From Innovation Towards Development and Application for The Bright Future” di Hotel Harris Ciumbuleuit, Bandung, Jawa Barat (Jabar), Selasa (11/10/2022) hingga Rabu (12/10/2022).

Ketua Panitia Lustrum XV Alma Nugrahani mengatakan bahwa acara tersebut diikuti oleh berbagai pihak, mulai dari akademisi, peneliti, hingga praktisi. Seminar ini juga digelar secara hibrida untuk memudahkan peserta menghadiri acara.

Seminar tersebut, lanjut Alma, menghadirkan para ahli dari mancanegara, seperti Inggris, Belanda, Slovenia, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan.

“Kami berusaha menilik permasalahan dengan harapan mencari solusi yang dapat ditinjau dari aspek kefarmasian,” ujar Alma dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa.

Alma berharap, acara tersebut juga dapat memberikan dampak nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta masyarakat luas.

“Pihak panitia mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam pelaksanaan acara ini,” imbuh Alma.

Sebagai informasi, acara seminar tersebut dibuka langsung oleh Wakil Rektor ITB Jaka Sembiring serta Dekan Sekolah Farmasi ITB I Ketut Adnyana.

Acara dihadiri oleh Deputi Bidang Fasilitas Riset dan Inovasi (BRIN) Agus Haryono dan Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Lucia Rizka Andalucia sebagai pembicara.

Sementara itu, Ketua Lustrum Sekolah Farmasi ITB Muhamad Insanu menutup rangkaian acara dengan menyampaikan pengumuman pemenang lomba.

Sinergi pemerintah dan ITB hadirkan farmasi hijau

Untuk diketahui, pemerintah menggandeng ITB untuk mengembangkan riset serta inovasi di bidang farmasi dan kesehatan hijau. Hal ini disampaikan Lucia Rizki Andalucia pada seminar.

"ITB erat dengan kemandirian di bidang kesehatan dan kefarmasian. Oleh karena itu, (riset) ini merupakan langkah Indonesia memiliki kemandirian di bidang kefarmasian dan tidak tergantung dari produk impor," ujar Lucia.

Lucia mengatakan, perkembangan teknologi kefarmasian kini sudah bergeser ke arah biologis atau biofarmasi. Hal ini mampu memberikan kecepatan pengembangan industri obat serta meminimalkan pencemaran lingkungan.

"Kalau kimia, bahan bakunya sulit untuk mendapatkan reduksi cemarannya. Kemudian, mendapatkan kemurniannya juga sulit. Nah, sekarang di seluruh dunia itu sudah bergeser ke arah biofarmasi produk," jelasnya.

Ia pun menjelaskan bahwa pengembangan produksi biofarmasi pun tidak hanya untuk obat, tetapi juga vaksin, obat bahan alam, serta alat diagnostik.

Lucia memaparkan, Kemenkes memiliki program Bio, Genom, Sains, dan Inisiatif (BGSI) untuk melakukan pengembangan obat-obatan dan vaksin yang berbasis genomik.

“Sekarang eranya pressure medicine yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan keberhasilan terapi," ujarnya.

Kemenkes, lanjut Lucia, tidak melakukan penelitian dasar mengenai program ini. Untuk itu, pihaknya bekerja sama dengan BRIN dan ITB.

"Penelitian terapan ke pasien itu tugas kami. Maka dari itu, kami mengajak para peneliti dari ITB, baik mahasiswa maupun dosen, untuk ikut berpartisipasi dalam pengembangan biofarmasi," tuturnya.

Adapun terkait pembiayaan, pemerintah memberikan dana lebih kurang Rp 400 miliar. Lucia menjelaskan, sumber pendanaan tidak sepenuhnya mengandalkan anggaran pemerintah, tetapi melalui konsep kolaborasi dengan organisasi internasional, seperti World Bank.

"Bisa melalui kolaborasi dengan organisasi internasional yang bergerak dalam pengembangan obat. World Bank sendiri juga punya program untuk pengembangan obat atau vaksin, terutama belajar dari pandemi Covid-19 kemarin,” tutur Lucia.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com