KOMPAS.com – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI menegaskan komitmennya untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah ancaman resesi global. Hal tersebut diutarakan Direktur Utama BRI Sunarso pada acara Capital Market Summit and Expo (CMSE) 2022 pada Kamis (13/10/2022) hingga Sabtu (15/10/2022).
Pada kesempatan itu, Sunarso mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dicapai dengan berfokus pada pendorong pertumbuhan domestik. Caranya, dengan mendukung sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang dapat mendorong penciptaan lapangan kerja.
“Dengan UMKM yang menjadi core business BRI, kami harus lebih berperan aktif. Sebab, 97 persen lapangan pekerjaan di Indonesia berasal dari UMKM,” kata Sunarso dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (17/10/2022).
Sunarso menambahkan, BRI tetap optimistis dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional. Pasalnya, jika kredit tetap tumbuh secara selektif, hal itu akan berdampak positif terhadap ketahanan ekonomi nasional.
“Dalam konteks ini, saya mengatakan (perekonomian) tetap tumbuh. Artinya apa? Upaya kami menekan inflasi itu penting, tetapi akan lebih baik lagi kalau bisa menekan inflasi dan tetap menumbuhkan perekonomian agar tidak terjadi stagflasi dan tambahan unemployment,” ucap Sunarso.
Lebih lanjut, Sunarso menjelaskan bahwa BRI pun masih optimistis bisa menjaga kinerja positif yang berkelanjutan. Ia memaparkan tiga syarat agar pertumbuhan itu tetap terjaga.
Pertama, memiliki sumber pertumbuhannya jelas dan dipersiapkan untuk saat ini dan jangka panjang. Sunarso menjelaskan, sebagai sumber pertumbuhan baru, BRI sudah masuk ke segmen ultramikro melalui holding Ultra Mikro (UMi) yang resmi hadir sejak September 2021.
Hal itu dilakukan perseroan bersama PT Pegadaian dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM) atas inisiasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kedua, kecukupan modal. Sunarso menyebut, rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) yang dimiliki BRI mencapai 25 persen.
“(Angka itu) cukup untuk tumbuh selama empat tahun ke depan. Artinya, dengan laba berapa pun, tidak ada alasan untuk menahan laba menjadi modal. Jadi, layak dibagikan karena cukup,” papar Sunarso.
Ketiga, likuiditas. Saat ini, papar Sunarso, rasio pinjaman terhadap simpanan atau loan to deposit ratio (LDR) nasional berada di level 82 persen. Namun, menurutnya, masih terdapat tantangan dari sisi likuiditas.
Di sisi lain, lanjut Sunarso, BRI pun telah memetakan kondisi perekonomian nasional melalui empat matriks yang menjadi dasar antisipasi atau mitigasi risiko. Hal itu dilakukan perseroan untuk mempersiapkan diri dalam mengatasi situasi ekonomi yang melambat karena tantangan-tantangan yang akan dihadapi.
Pertama, kondisi ekonomi pulih dengan inflasi naik dan kualitas pinjaman memburuk. Untuk kondisi tersebut, strategi BRI adalah dengan mempercepat proses write-offs agar recovery rate dapat lebih tinggi serta mempertahankan coverage ratio yang besar.
“Untuk itu, BRI menyediakan coverage ratio terhadap non-performing loan (NPL) yang mencapai 266 persen. Angka tersebut lebih dari cukup. Jadi, jika terjadi perburukan kondisi, BRI dan nasabah akan tetap aman. Kami akan memantau kualitas pinjaman secara intensif,” ujar Sunarso.
Kedua, kondisi ekonomi membaik dengan inflasi terkendali dibarengi kualitas kredit membaik. Dengan kondisi tersebut, langkah yang diambil BRI adalah mempercepat proses write-offs supaya mendapat recovery rate yang lebih tinggi. Akan tetapi, BRI menurunkan coverage ratio dan mengurangi bantalan untuk tumbuh.
“Langkah selanjutnya adalah melakukan enhance risk-based pricing model untuk meningkatkan daya saing produk. Kemudian, mengendurkan loan portfolio guideline (LPG) sehingga kredit dipacu untuk tumbuh,” jelas Sunarso.
Ketiga, kondisi ekonomi tetap stagnan, tetapi inflasi tetap terkendali dengan kualitas kredit membaik. Jika kondisi ini terjadi, strategi yang diambil BRI adalah tumbuh secara selektif dengan melonggarkan sedikit LPG menjadi moderat.
“Kami juga mempertahankan coverage ratio yang tinggi untuk bantalan dan melakukan simulasi stress-test untuk memastikan bisnis BRI aman,” papar Sunarso.
Keempat, kondisi yang paling buruk, yaitu ekonomi tetap stagnan dengan inflasi yang naik dan kualitas pinjaman memburuk. Jika kondisi itu terjadi, BRI tumbuh secara terbatas dengan pengaturan LPG yang lebih ketat, mempertahankan coverage ratio yang tinggi, dan melakukan berbagai simulasi keadaan yang buruk secara lebih ketat.
“Itulah empat matriks BRI (dalam mengantisipasi) kemungkinan kondisi ekonomi ke depan beserta skenario strategi dan mitigasi risiko untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan tersebut,” jelas Sunarso.