Advertorial

Sikap Toleran Jadi Kunci Kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang Damai

Kompas.com - 19/10/2022, 18:44 WIB

KOMPAS.com – Sejumlah pemuda lintas agama, suku, dan budaya mengunjungi Taman Baca Kebun Makna di Dusun Karang Sanggrahan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Jateng), Sabtu (17/9/2022).

Acara tersebut digelar sebagai peringatan Hari Perdamaian Internasional yang jatuh pada 21 September. Gelaran ini diramaikan dengan pementasan jaran kepang, barongsai, dan hadrah.

Salah satu pemuka agama yang hadir pada acara tersebut adalah pengasuh Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo Magelang Kiai Haji (KH) Muhammad Yusuf Chudlori atau akrab disapa Gus Yusuf.

Pada kesempatan itu, dia mengatakan bahwa dalam ajaran Islam, toleransi atau tasamuh berarti saling menghormati.

“Tasamuh dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Gus Yusuf dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu (19/10/2022).

Tokoh agama Buddha Bhante Ditthi Sampanno, PhD yang hadir juga mengamini hal tersebut. Ia berpesan kepada masyarakat Indonesia untuk hidup dengan damai.

“Kita harus menjunjung Bhinneka Tunggal Ika. Walau berbeda, kita tetap satu,” kata Bhante Ditthi Sampanno.

Sebagai informasi, tak jauh dari Dusun Karang Sanggrahan, terdapat 11 desa di Kota Magelang yang juga mengedepankan toleransi dan kerukunan.

Sebelas desa yang disebut Kampung Religi itu menjadi melting pot keberagaman dengan menerapkan prinsip saling menghargai dalam kehidupan sehari-hari.

Berkat nilai-nilai yang diusungnya, Kampung Religi mengantarkan Kota Magelang masuk ke dalam daftar 10 kota paling toleran di Indonesia versi Setara Institute, yakni lembaga yang berfokus pada kebebasan beragama dan toleransi.

Wali Kota Magelang Muhammad Nur Aziz mengatakan, penghargaan itu tidak lepas dari komitmen Pemerintah Kota (Pemkot) Magelang dalam mewujudkan masyarakat toleran.

“Beragam agama, ras, dan budaya bukan menjadi penghalang untuk bersikap toleran terhadap sesama,” ujar Nur Aziz.

Menurutnya, memaknai sikap toleran tak hanya dilakukan saat perayaan Festival Toleransi atau melalui keberadaan Kampung Religi. Toleransi perlu dimaknai setiap hari, baik dalam diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat.

Sementara itu, penulis dan influencer Kalis Mardiasih mengemukakan pendapatnya mengenai dampak perkembangan teknologi terhadap sikap intoleran.

Ia menilai, transformasi digital yang masif justru membuka ruang bagi narasi-narasi intoleran.

“Intoleransi, radikalisme, dan diskriminasi muncul akibat konsumsi informasi yang berlebih,” kata Kalis.

Hal itu ia sampaikan saat berbicara pada Pra-Konferensi International Non-Governmental Organization (NGO) Forum on Indonesian Development (INFID) dengan tema “Sikap dan Pandangan Generasi Z dan Millenial di Indonesia terhadap Toleransi, Kebinekaan, dan Kebebasan Beragama” pada Juli 2022.

Menanggapi hal tersebut, Asisten Deputi Mitigasi Bencana dan Konflik Sosial Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Andre Notohamijoyo memaparkan bahwa toleransi, kebinekaan, dan kebebasan beragama dapat dimulai dari keluarga sebagai lingkungan terkecil.

“Sikap toleran dapat dipupuk dengan mengedepankan dialog terbuka, empati pada orang lain, tradisi saling mendengarkan, serta memahami orang lain (yang berasal) dari latar, kelas, suku, dan agama yang berbeda,” jelas Andre.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau