Advertorial

BRI Siapkan 4 Skenario Mitigasi Risiko dan Strategi Hadapi Tantangan Ekonomi

Kompas.com - 26/10/2022, 16:20 WIB

KOMPAS.com – Tantangan kondisi perekonomian terbesar kini datang dari faktor eksternal. Misalnya, peningkatan inflasi yang tinggi. Kondisi ini juga telah direspons oleh bank sentral di berbagai negara dengan cara meningkatkan suku bunga.

Selain itu, tantangan juga datang dari konflik Ukraina dan Rusia yang memicu krisis pangan dan energi.

Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Utama BRI Sunarso dalam diskusi daring Capital Market Summit and Expo 2022.

Sunarso menjelaskan bahwa BRI telah memetakan tantangan perekonomian itu melalui empat matriks skenario. Hal ini menjadi dasar antisipasi atau mitigasi risiko pihaknya untuk menghadapi situasi ekonomi ke depan.

Pertama, kondisi ekonomi pulih, inflasi naik, dan kualitas kredit memburuk. Pada kondisi tersebut, mitigasi yang BRI lakukan adalah mempercepat proses write-offs agar recovery rate lebih tinggi serta mampu mempertahankan coverage ratio yang besar.

“Oleh karena itu, BRI menyediakan coverage ratio terhadap non-performing loan (NPL) yang mencapai 266 persen. Angka ini lebih dari cukup,” ujar Sunarso dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu (26/10/2022).

Jika situasi memburuk, maka pihaknya dapat memastikan bahwa BRI dan nasabah tetap dalam kondisi aman. Ia meyakini, langkah ini membuat kinerja kredit perseroan juga dapat tumbuh secara selektif dengan melakukan pemantuan kualitas pinjaman yang intensif.

Kedua, kondisi ekonomi membaik dengan inflasi terkendali dibarengi kualitas kredit membaik. Langkah yang diambil perseroan pada kondisi ini adalah mempercepat proses write-offs supaya mendapat recovery rate yang lebih tinggi.

Meski demikian, langkah tersebut akan menurunkan coverage ratio yang mengurangi bantalan untuk tumbuh.

Dalam kondisi seperti ini, BRI akan melakukan enhance risk-based pricing model untuk meningkatkan daya saing produk dan melonggatkan loan portofolio guideline (LPG) sehingga kredit dapat dipacu untuk lebih cepat tumbuh.

Ketiga, kondisi ekonomi tetap stagnan, tetapi inflasi tetap terkendali dengan kualitas kredit membaik. Strategi yang diambil perseroan dalam kondisi ini, kata Sunaro, adalah tumbuh secara selektif dengan sedikit melonggarkan LPG menjadi moderat.

Dengan begitu, pihaknya dapat mempertahankan coverage ratio yang tinggi untuk bantalan dan melakukan simulasi stress-test guna memastikan bisnis BRI aman.

Keempat, skenario yang paling buruk, ekonomi tetap stagnan dengan inflasi yang naik serta kualitas pinjaman memburuk.

“(Dengan kondisi tersebut), strategi kami tumbuh secara terbatas, mengatur LPG secara lebih ketat dan mempertahankan coverage ratio yang tinggi. Itulah kira-kira 4 matriks yang kami siapkan untuk menghadapi kondisi ekonomi yang mungkin terjadi ke depan,” kata Sunarso.

3 kunci pertumbuhan BRI

Di tengah tantangan ekonomi global saat ini, kata Sunarso, BRI optimistis dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dengan fokus kepada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang sekaligus dapat menciptakan lapangan kerja.

Seperti diketahui, kondisi perekonomian global dan nasional masih dibayangi tantangan, bahkan dihadapkan dengan ancaman resesi.

Oleh karena itu, BRI berperan aktif menciptakan kinerja positif melalui tiga strategi yang menjadi syarat utama pertumbuhan.

“Untuk tumbuh, syaratnya ada tiga. Pertama, sumber pertumbuhannya jelas dan dipersiapkan untuk saat ini dan jangka panjang,” ujar Sunarso.

Sebagai sumber pertumbuhan baru, BRI sendiri sudah masuk ke segmen ultramikro melalui holding Ultra Mikro (UMi) yang resmi terbentuk sejak September 2021 bersama PT Pegadaian dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM) atas inisiatif Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Kedua, kecukupan modal. Sunarso menyebut bahwa capital adequacy ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal yang dimiliki BRI mencapai 25 persen.

“(CAR tersebut) cukup untuk (perseroan) tumbuh selama 4 tahun ke depan. Laba berapa pun, tidak ada alasan untuk menahan laba menjadi modal. Jadi, (laba tetap layak dibagikan karena itu cukup,” kata Sunarso.

Ketiga, katanya, likuiditas yang melimpah. Saat ini, loan to deposit ratio (LDR) nasional masih berada di level 82 persen.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com