Advertorial

Pertamina dan ExxonMobil Perkuat Kerja Sama Dekarbonisasi Kejar Target Nol Emisi 2060

Kompas.com - 13/11/2022, 18:35 WIB

KOMPAS.com – Studi bersama PT Pertamina (Persero) serta ExxonMobil berhasil menemukan potensi karbon dioksida (C02) dengan kapasitas hingga satu miliar ton di lapangan minyak dan gas (migas) Pertamina.

Kapasitas tersebut dinilai mampu menyimpan emisi CO2 secara permanen di seluruh Indonesia hingga 16 tahun ke depan.

Penemuan potensi CO2 itu juga menjadi titik cerah pengembangan bisnis carbon capture and storage (CCS), upaya dekarbonisasi di Indonesia, pertumbuhan ekonomi melalui investasi, pembukaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan bagi negara.

Kerja sama tersebut ditandai dengan penandatanganan head of agreement (HoA) oleh Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dan President Asia Pacific Exxon Mobile Low Carbon Solution and President ExxonMobil Indonesia Irtiza Sayyed di Nusa Dua, Bali, Minggu (13/11/2022).

Penandatanganan itu juga disaksikan oleh Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Republik Indonesia Sung Y Kim, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif.

Adapun penandatangan HoA tersebut juga merupakan tindak lanjut joint study agreement (JSA) yang ditandatangani di AS pada 13 Mei 2022.

Melalui penguatan kerja sama itu, Pertamina serta ExxonMobil akan mematangkan dan menyiapkan rancangan model komersial untuk pengembangan hub CCS regional di wilayah kerja PT Pertamina Hulu Energi OSES yang berpotensi menyimpan CO2 domestik dan internasional.

Pada kesempatan itu, Luhut mengatakan bahwa pemerintah tengah berupaya mengembangkan regulasi yang mendukung CCS dan memulai pembahasan dengan pemerintah di wilayah lain.

“Kesepakatan bersama tersebut merupakan landasan yang kukuh bagi Indonesia untuk mencapai target nol bersih emisi atau net zero emission (NZE) pada 2060,” ujar Luhut dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Minggu (13/11/2022).

Sementara itu, Nicke menilai bahwa kerja sama itu merupakan salah satu upaya Pertamina dalam mendukung program pemerintah dalam mempercepat transisi energi dan target penurunan emisi sebesar 29 persen pada 2030.

“Salah satu lapangan terpilih itu memiliki kapasitas besar untuk menyimpan CO2. Implementasi teknologi tersebut akan memprioritaskan sumber daya di ranah domestik, pembukaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan bagi negara,” jelas Nicke.

Nicke menegaskan, cara cepat untuk mengembangkan transisi energi baru terbarukan (EBT) dan dekarbonisasi di Indonesia adalah melalui partnership dengan berbagai pihak. Hal ini dapat menjawab tiga tantangan global sekaligus, yaitu teknologi, finance, dan human capital.

Penerapan teknologi CCS, lanjut Nicke, diharapkan dapat berperan penting dalam menurunkan gas rumah kaca di atmosfer yang berkontribusi terhadap pemanasan global, perubahan iklim, pengasaman laut, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

“Pengembangan teknologi CCS memiliki dampak ganda. Selain mengurangi emisi, teknologi ini juga meningkatkan produksi migas nasional,” tutur Nicke.

Secara total, Pertamina tengah menggarap enam proyek CCS dan carbon capture, utilization and storage (CCUS) dengan menyeleksi lapangan-lapangan yang dapat digunakan sebagai tempat injeksi CO2.

Keenam lahan potensial tersebut berada di berbagai wilayah lepas pantai di Indonesia, mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, hingga Sulawesi.

“Pengembangan teknologi CCS juga sejalan dengan komitmen Pertamina dalam menerapkan environmental, social and governance (ESG) pada semua lini bisnis perusahaan guna mendorong keberlanjutan bisnis di masa depan,” imbuh Nicke.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com