Advertorial

Menyelisik Makna di Balik Papua Tanah Damai

Kompas.com - 16/11/2022, 15:52 WIB

KOMPAS.com - Sebuah masjid berdiri kokoh di Tanah Papua, tepatnya di Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Meski sebagian besar warga Papua menganut agama Kristen, bangunan berusia 150 tahun bernama Masjid Patimburak ini tetap berdiri tegak. Bahkan, menjadi simbol harmonisasi dan keberagaman di Bumi Cendrawasih.

Masjid tertua yang bernama asli Masjid Al Yassin itu juga menjadi saksi bisu keberagaman dan perbedaan di Tanah Papua dan merupakan salah satu situs cagar budaya di Kabupaten Fakfak.

Seperti diketahui, masyarakat Papua dikenal majemuk dengan beragam etnis, suku, agama, bahasa, budaya, dan adat istiadat. Namun, dalam kehidupan sosial, toleransi antarumat beragama tetap terpelihara secara rukun dan damai.

Kehidupan antarumat beragama yang kondusif menjadi modal penting untuk membangun Tanah Papua yang lebih sejahtera dan berkeadilan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Wakil Ketua Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Papua Pendeta Hizkia Rollo mengatakan, harmonisasi Papua sebagai “Tanah Damai” harus tetap dijaga.

“Jangan ada satu orang pun yang berusaha merusak keberagaman di Papua. Bumi Cendrawasih ini sudah ditetapkan sebagai Tanah Damai. Seluruh elemen masyarakat tidak boleh mengalah pada strategi dan cara apa pun (yang dapat merusak keberagaman di Papua),” ujar Hizkia dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu (16/11/2022).

Apa pun alasan dan kepentingannya, lanjut Hizkia, setiap pemimpin agama di Papua harus tetap menjadikan Papua sebagai Tanah Damai.

“Para tokoh lintas agama menyatakan sikap bahwa damai dan kerukunan adalah harga mati," kata Hizkia.

Hizkia menambahkan, toleransi kerukunan antarumat beragama di Tanah Papua merupakan nilai penting yang patut dijaga. Pasalnya, sikap saling menghormati agama yang dianut oleh setiap masyarakat menjadi dasar untuk mengembangkan konsep dasar persaudaraan.

Dengan landasan toleransi, kesadaran warga untuk menghargai, menghormati, membiarkan, dan memiliki pendirian, pandangan, keyakinan, serta kepercayaan, akan tumbuh.

“Bahkan, nilai toleransi akan memberikan ruang bagi pelaksana kebiasaan, perilaku, dan praktik keagamaan orang lain yang berbeda kepercayaan,” tambahnya.

Ia menegaskan bahwa pembangunan Masjid Tua Patimburak merupakan salah satu simbol toleransi yang terajut di sana.

Dari segi bentuk bangunan, misalnya, terlihat kubah menyerupai model atap gereja-gereja di Eropa. Bentuk ventilasi dan pilar bangunan juga dibuat seperti bangunan kolonial.

Keberadaan tiga pintu di sisi utara, selatan, dan timur masjid, ia menjelaskan sebagai lambang keberadaan tiga agama di Fakfak.

Hal itu diamini cucu Raja Pertuanan Wertuar, Moi Kuda. Moi mengatakan, arsitektur bangunan masjid yang dibangun oleh Raja Pertuanan Wertuar pada 1870 itu terbilang unik karena merupakan perpaduan bentuk antara masjid dan gereja.

“Bentuk bangunan masjid tersebut mengandung arti bahwa umat beragama di Fakfak tidak bisa dipisahkan. Kami berharap, melalui simbol yang menjadi ciri khas pada Masjid Patimburak itu, masyarakat dari tiga agama, yaitu Islam, Kristen, dan Katolik, (di Papua) selalu hidup rukun,” kata Moi.

Sementara itu, pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Papua, tokoh lintas agama, akademisi, dan berbagai unsur pejabat di Papua berkomitmen untuk menjaga dan mempertahankan “Papua Tanah Damai”.

Berbagai unsur rasisme yang berkembang di masyarakat Indonesia pun patut dikesampingkan demi menjaga nilai keberagaman.

Uskup Jayapura Leo Laba Ladjar juga mengimbau seluruh pihak untuk membangun komunitas basis.

“Bukan sesuku, tetapi yang berdekatan. Rukun dulu, bangun kerukunan. Kerukunan dan kedamaian jangan hanya membatasi diri pada satu agama atau suku, tapi pada siapa pun yang membutuhkan," kata Leo.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com