Advertorial

Realisasi Penerimaan Pajak hingga Oktober 2022 Capai 97,52 Persen

Kompas.com - 01/12/2022, 16:19 WIB


KOMPAS.com - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa realisasi penerimaan pajak menunjukkan kinerja positif. Per Senin (31/10/2022), capaian penerimaan pajak sebesar Rp 1.448,7 triliun atau 97,52 persen dari target yang ditetapkan pemerintah dalam Peraturan presiden No 98 Tahun 2022.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor dalam acara Media Gathering DJP 2022 mengatakan, capaian tersebut tumbuh 51,8 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy) ketimbang periode sama pada tahun lalu.

Realisasi tersebut ditopang dari pajak penghasilan (PPh) non-minyak dan gas (migas) yang mencapai Rp 784,4 triliun (setara 104,7 persen dari target), pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) senilai Rp 569,7 triliun (105,1 persen dari target), serta pajak bumi dan bangunan (PBB), serta pajak lain senilai Rp 26,0 triliun (80,6 persen dari target).

Neil melanjutkan, seluruh jenis pajak mengalami pertumbuhan neto kumulatif yang dominan positif. Pertumbuhan ini berasal dari PPh 21 sebesar 21,0 persen, PPh 22 Impor sebesar 107,7 persen, PPh Orang Pribadi sebesar 4,8 persen, PPh Badan sebesar 110,2 persen, PPh 26 sebesar 19,7 persen, PPh Final sebesar 62,2 persen, PPN Dalam Negeri sebesar 37,4 persen, dan PPN Impor sebesar 47,2 persen. 

"Kinerja penerimaan pajak bisa berjalan dengan baik hingga Oktober 2022 karena tren peningkatan harga komoditas, pertumbuhan ekonomi yang ekspansif, low-based effect pada 2021, dan implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)," kata Neil dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (1/12/2022).

Untuk penerimaan secara sektoral, lanjut Neil, seluruh sektor utama mengalami pertumbuhan positif. Hal ini ditopang oleh kenaikan harga komoditas, pemulihan ekonomi, serta bauran kebijakan. 

"Beberapa sektor dengan kontribusi terbesar adalah industri pengolahan (29,4 persen) tumbuh 43,7 persen, perdagangan (24,8 persen) tumbuh 64,4 persen, jasa keuangan dan asuransi (10,6 persen) tumbuh 15,2 persen, pertambangan (8,5 persen) tumbuh 188,9 persen, serta sektor konstruksi dan real estat (4,0 persen) tumbuh 3,0 persen," papar Neil. 

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor dalam acara Media Gathering DJP 2022. (Dok. Kementerian Keuangan)

Implementasi UU HPP

Neil juga menyampaikan perkembangan terkini tentang penerimaan pajak terkait implementasi UU HPP. Pertama, PPN Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMSE). Sebanyak 13 perusahaan pelaku PMSE ditunjuk sebagai pemungut sebanyak 131 perusahaan dan berhasil mengumpulkan penerimaan PPN sebesar Rp 9,17 triliun. 

Jumlah tersebut berasal dari setoran pada 2020 senilai Rp 730 miliar, setoran pada 2021 Rp 3,9 triliun, dan setoran pada 2022 Rp 4,54 triliun. 

Kedua, pajak financial technology (fintech) yang berlaku pada 1 Mei 2022 dan mulai dibayarkan pada Juni 2022. PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebesar Rp 101,39 miliar dan PPh 26 yang diterima wajib pajak luar negeri atau BUT sebesar Rp 47,21 miliar. 

Ketiga, pajak kripto yang berlaku mulai 1 Mei 2022 dan dibayarkan pada Juni 2022, PPh 22 atas transaksi aset kripto melalui penyelenggaraan PMSE dalam negeri dengan penyetoran sebesar Rp 91,40 miliar. Lalu, dari PPN dalam negeri atas pemungutan oleh nonbendahara sebesar Rp 99,71 miliar. 

Keempat, dampak penyesuaian tarif PPN mulai 1 April 2022, penambahan penerimaan PPN sebesar Rp 1,96 triliun pada April 2022, Rp 5,75 triliun pada Mei 2022, Rp 6,25 triliun pada Juni 2022, Rp 7,15 triliun pada Juli 2022, Rp 7,28 triliun pada Agustus 2022, Rp 6,87 triliun pada September 2022, dan Rp 7,62 triliun pada Oktober 2022. 

Selain perkembangan penerimaan pajak, Neil juga menyampaikan strategi pengamanan penerimaan pendapatan pajak pada 2023. Seperti diketahui, Indonesia dihadapkan pada ancaman resesi dan normalisasi harga komoditas pada 2023.

"Pengoptimalan penerimaan pajak tahun depan dapat dilakukan melalui perluasan basis pajak dan penguatan strategi pengawasan serta tetap memberikan dukungan pada pertumbuhan investasi dan ekonomi," jelas Neil. 

Adapun kebijakan tersebut dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama, optimalisasi perluasan basis pemajakan dengan tindak lanjut pengawasan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dan implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 

Kedua, penguatan ekstensifikasi pajak serta pengawasan terarah dan berbasis kewilayahan. Tahap ini dilakukan dengan implementasi penyusunan daftar prioritas pengawasan dan prioritas pengawasan high wealth individual serta wajib pajak (WP) grup dan ekonomi digital. 

Ketiga, percepatan reformasi bidang sumber daya manusia (SDM) organisasi, proses bisnis, dan regulasi. Tahap ini dilakukan persiapan implementasi core tax system, perluasan kanal pembayaran, penegakan hukum yang berkeadilan, dan pemanfaatan kegiatan digital forensik. 

Keempat, insentif fiskal yang terarah dan terukur dengan pemberian insentif untuk mendorong pertumbuhan sektor tertentu serta memberikan kemudahan investasi. 

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com