Advertorial

Mengenal Aritmia, Gangguan Irama Jantung yang Bisa Sebabkan Kematian

Kompas.com - 02/12/2022, 14:13 WIB

KOMPAS.com – Kematian mendadak atau sudden adult death syndrome (SADS) belakangan menjadi perbincangan setelah jumlah kasusnya meningkat saat pandemi Covid-19. Beberapa pesohor diketahui mengalami kematian mendadak, bahkan pada usia muda.

Untuk diketahui, SADS menjadi penyebab kematian nomor satu di Amerika Serikat (AS). Kondisi ini umumnya menyerang orang dewasa, terutama laki-laki berusia 30 sampai 40-an tahun.

Meski disebabkan banyak faktor, SADS sering diasosiasikan dengan gangguan irama jantung atau aritmia.

Pada kondisi jantung sehat, aritmia umumnya tidak berpengaruh terlalu signifikan terhadap kondisi seseorang.

Namun, kelainan yang memicu kejadian aritmia terus-menerus bisa menyebabkan masalah kesehatan serius, termasuk SADS.

Konsultan Kardiologi Intervensi dan Aritmia Eka Hospital Bumi Serpong Damai (BSD) dr Ignatius Yansen Ng, SpJP (K), FIHA, mengatakan bahwa aritmia merupakan gangguan yang dapat membuat jantung berdetak lebih cepat, lebih lambat, atau tidak teratur.

“Aritmia masuk ke dalam golongan penyakit silent killer. Artinya, kondisi ini terbilang langka dan hampir tidak menunjukkan gejala apa pun. Penderita aritmia kerap terlihat dalam keadaan sehat sebelum kondisi ini menyerang mereka,” jelas dr Yansen dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (1/12/2022).

Oleh sebab itu, sejumlah orang terlambat mendapatkan pertolongan. Penyakit ini, terutama gangguan irama jantung fatal (maligna), pun dapat menyerang di saat tak terduga, bahkan ketika seseorang sedang tidur.

Penyebab dan faktor risiko aritmia

Dokter Yansen menuturkan, aritmia disebabkan oleh aktivitas sinyal listrik yang tidak normal sehingga detak jantung menjadi tidak stabil.

Kondisi tersebut bisa terjadi karena beberapa faktor, mulai dari bawaan genetik, penyakit jantung koroner, kelainan otot jantung, gangguan elektrolit, penggunaan obat-obatan, gaya hidup yang tidak sehat, hingga penyakit bawaan lain, misalnya diabetes.

Sebagian besar kasus aritmia tidak menunjukan gejala. Namun, terdapat beberapa gejala awal yang perlu diwaspadai, seperti sakit kepala, detak jantung tidak beraturan (bisa lebih cepat atau lebih lambat), sering merasa lelah, pingsan atau pandangan gelap, nyeri dada, sesak napas, dan kejang.

“Beberapa gejala lain juga bisa dirasakan tergantung dari kondisi penderita. Gejala-gejala tersebut bisa timbul kapan saja, baik saat penyakit masih ringan maupun ketika sudah memburuk,” ucap dr Yansen.

Deteksi dan pencegahan aritmia

Dokter Yansen melanjutkan, deteksi aritmia sulit dilakukan secara mandiri. Pasalnya, gejala aritmia tidak menentu.

Meski demikian, seseorang dapat mengantisipasi aritmia dengan menghitung jumlah denyut nadi selama satu menit. Caranya, tempelkan dua jari pada pembuluh darah besar di pergelangan tangan atau bagian leher samping.

Pada kondisi normal, jantung umumnya akan berdetak sebanyak 60-100 kali dalam satu menit. Jika detak jantung di luar batas tersebut atau tidak beraturan, seseorang sebaiknya segera memeriksakan diri ke dokter.

“Cara paling efektif untuk mendeteksi kelainan pada irama jantung adalah dengan memeriksakan diri ke dokter,” kata dr Yansen.

Sebagai standar baku diagnosis gangguan aritmia, lanjut dr Yansen, dokter dapat menganalisis aktivitas listrik jantung secara langsung menggunakan elektrokardiogram (EKG) atau holter.

Selain itu, dokter juga dapat melakukan pemeriksaan penunjang lain, seperti ekokardiografi, tes treadmill, atau melakukan studi elektrofisiologi, yakni pemeriksaan invasif berupa pemeriksaan listrik jantung.

Alternatif lainnya, pasien juga dapat melakukan pemeriksaan berupa skrining genetik, melalui tes deoxyribonucleic acid (DNA). Tes ini bisa mendeteksi mutasi genetik yang berpotensi menimbulkan aritmia. Sayangnya, tes tersebut belum tersedia di Indonesia

Dokter Yansen mengatakan bahwa aritmia tidak bisa dicegah dan diobati. Seseorang dapat mengantisipasi dan menurunkan risiko aritmia dengan memeriksakan diri ke dokter, terutama jika memiliki riwayat keluarga dengan kematian mendadak yang disebabkan oleh aritmia atau kematian di usia muda.

Selain itu, risiko aritmia juga dapat ditekan dengan menerapkan pola hidup sehat, seperti menghindari konsumsi alkohol, mengurangi asupan makanan berlemak tinggi, mengelola stres dengan bijak, dan rutin melatih jantung dengan berolahraga.

“Waspadai risiko aritmia mulai sekarang. Sebab, tindakan kecil yang dilakukan saat ini dapat menentukan kesehatan Anda pada masa depan,” ujar dr Yansen.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com