KOMPAS.com – Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, kebutuhan energi primer pun semakin meningkat. Hal tersebut juga dirasakan oleh Indonesia.
Konsumsi final energi di Indonesia pada 2011 tercatat sebanyak 754.4 juta barrel oil equivalent (BOE). Angka ini naik menjadi 848.85 juta BOE pada 2021.
Indonesia sendiri terus berupaya dalam meningkatkan produksi minyak dan gas bumi (migas) dengan target 1 juta barell minyak per hari (BPOD) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD).
Sayangnya, pemenuhan kebutuhan energi tersebut masih didominasi oleh energi fosil. Padahal, Indonesia telah menetapkan target mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) untuk menuju net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Selain itu, Indonesia juga menjadi bagian dari Perjanjian Paris. Kesepakatan global ini merupakan pernyataan komitmen negara-negara di dunia untuk membatasi kenaikan suhu global sampai di angka minimum 1,5 derajat Celcius dan di bawah 2 derajat Celcius.
Oleh karena itu, transisi energi dari energi fosil menjadi energi terbarukan menjadi urgensi untuk mencapai target NZE dan Perjanjian Paris.
Pemerintah Indonesia sendiri memiliki berbagai program dekarbonisasi yang termasuk dalam target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
Program tersebut berupa penggunaan bahan bakar rendah karbon, seperti konversi minyak tanah ke liquefied petroleum gas (LPG), peningkatan jaringan gas bumi melalui pipa untuk rumah tangga, penggunaan gas alam untuk transportasi (SPBG), dan fuel switching bahan bakar minyak (BBM) transportasi dari RON 88 ke RON 92.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI pun melakukan berbagai upaya untuk dapat mencapai target tersebut.
Salah satunya dengan bekerja sama dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan PT Pertamina (Persero) untuk membuat proyeksi beban emisi pada kegiatan usaha hulu dan hilir migas hingga 2060.
Berdasarkan proyeksi tersebut, untuk mencapai target 1 juta BOPD dan 12 BSCFD, akan menghasilkan puncak emisi GRK sekitar 44 juta ton ekuivalen karbon dioksida (CO2e) pada 2030.
Sementara itu, total emisi sampai 2060 diperkirakan sebesar 1.149 juta ton CO2e, dengan rincian 659 juta ton CO2e dari hulu dan 490 juta ton CO2e dari hilir.
Selain itu, Ditjen Migas juga telah menyusun serangkaian program dan strategi mitigasi emisi untuk mendukung pencapaian NZE 2060.
Penggunaan teknologi CCS dan CCUS
Untuk mencapai NZE, pemerintah memanfaatkan teknologi penangkapan dan penyimpanan CO2 atau Carbon Capture and Storage (CCS) serta pemanfaatan sebagai Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS).
Adapun CCS adalah kegiatan mengurangi emisi GRK yang mencakup penangkapan (capture), pengangkutan (transport), serta penginjeksian dan penyimpanan CO2 (storage) ke bawah permukaan tanah.
Sementara itu, cara kerja CCUS pada prinsipnya sama dengan CCS. Pada kegiatan ini, CO2 juga dimanfaatkan untuk berbagai hal, seperti penggunaan untuk kebutuhan industri, menghasilkan produk bernilai tambah, serta pemanfaatan untuk peningkatan produksi migas melalui enhanced oil recovery (EOR), enhanced gas recovery (EGR), atau enhanced coalbed methane recovery (ECBM).
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan bahwa CCUS bisa menjadi enabler technology.
“CCUS mampu meningkatkan produksi migas melalui CO2-EOR atau EGR sekaligus mengurangi emisi GRK secara signifikan,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Sabtu (3/12/2022).
Selain itu, CCS/CCUS juga dapat meningkatkan produksi migas melalui EOR, EGR, atau ECBM. Hal ini karena sumber CO2 dapat berasal dari lapangan migas dengan kandungan CO2 tinggi atau dari industri lain.
Berdasarkan hasil studi Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi Lemigas dan studi lainnya, Indonesia memiliki potensi storage yang cukup besar, yaitu sekitar 2 giga ton CO2 pada depleted oil and gas reservoir yang tersebar di beberapa wilayah serta sekitar 10 giga ton CO2 potensi storage dari saline aquifer dari cekungan Sumatera Selatan dan Jawa bagian barat. Bahkan, beberapa lembaga riset dan perusahaan memperkirakan potensi storage di Indonesia jauh lebih besar.
Saat ini, terdapat 15 proyek CCS/CCUS yang sedang dalam tahap studi dan persiapan. Sebagian besar dari proyek ini ditargetkan mulai beroperasi sebelum 2030.
Adapun proyek tersebut antara lain adalah proyek Tangguh EGR/CCUS oleh bp Berau Ltd. yang telah mendapatkan persetujuan Plan of Development (POD) dari SKK Migas dan proyek Jatibarang CCUS/CO2-EOR oleh Pertamina yang telah memulai pilot test CO2 huff and puff.
Berbagai upaya pun dilakukan Ditjen Migas untuk mendorong penerapan teknologi CCS/CCUS di Indonesia.
Pertama, membentuk National Center of Excellence (CoE) CCS/CCUS pada 2017. Pusat pembelajaran ini menjadi wadah pengembangan kapasitas nasional dalam penguasaan aspek teknis, keselamatan, ekonomi, sosial, serta aspek regulasi dari kegiatan CCS/CCUS.
Kedua, memfasilitasi dan berkoordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan yang ingin melaksanakan kegiatan CCS/CCUS di Indonesia, serta membuka peluang kerja sama dengan berbagai negara.
Ketiga, menyusun rancangan Peraturan Menteri (Permen) ESDM terkait penyelenggaraan kegiatan CCS/CCUS dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, baik dalam lingkup nasional maupun internasional.
Pengelolaan gas suar
Untuk mencapai target NZE, pemerintah Indonesia juga menjadi salah satu negara yang mendukung inisiatif Bank Dunia terkait Zero Routine Flaring (ZRF) pada 2030.
Ditjen Migas pun telah menyusun peta jalan pada kegiatan usaha migas untuk mengurangi volume pembakaran gas suar.
Dalam peta jalan tersebut, terdapat berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mencapai ZRF, seperti menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 17/2021 tentang Pelaksanaan Pengelolaan Gas Suar pada Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi serta Permen ESDM Nomor 30/2021 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Suar pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
“Di Kementerian ESDM, Ditjen Migas telah mengeluarkan dua permen tentang gas suar, yaitu terkait teknis dan commerciality. Kedua Permen tersebut diupayakan untuk bisa menggairahkan pemanfaatan gas suar,” ujar Tutuka.
Selain itu, Ditjen Migas juga menyusun baseline data pembakaran gas suar rutin sebagai dasar perencanaan program pemanfaatan gas suar, berkoordinasi dengan pemangku kepentingan sektor migas di Indonesia untuk meningkatkan pengurangan pembakaran gas suar, serta memfasilitasi perusahaan pemilik teknologi dan pemilik izin pengolahan untuk melakukan pemanfaatan gas suar.
Kemudian, memberikan penghargaan pemanfaatan gas suar pada kegiatan usaha migas. Penghargaan ini merupakan bentuk apresiasi pemerintah terhadap upaya pemanfaatan gas suar yang dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan Badan Usaha Pemilik Izin Pengolahan.
Berbagai upaya tersebut telah membuahkan hasil yang baik. Berdasarkan Global Gas Flaring Tracker Report pada 2022 oleh Global Gas Flaring Reduction (GGFR) dan The World Bank menunjukkan bahwa terjadi penurunan volume pembakaran gas suar Indonesia.
Peringkat Indonesia juga mengalami perbaikan dari tahun ke tahun. Pada 2022, Indonesia berada pada peringkat ke-16, setelah sebelumnya berada pada peringkat 15 pada 2018.
Penurunan volume pembakaran gas suar pada kegiatan usaha migas tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah implementasi program pemanfaatan gas suar.
Ditjen Migas pun terus mendorong optimalisasi kegiatan pemanfaatan gas suar di sektor migas. Hal ini terlihat dari data Ditjen Migas pada 2021 yang mencatat sebanyak 51 KKKS dan 7 Badan Usaha Pengolahan Migas telah melakukan kegiatan pemanfaatan gas suar.
Adapun gas suar digunakan untuk berbagai tujuan, baik untuk kepentingan sendiri, disalurkan ke jaringan gas kota, maupun masuk skema monetisasi.
Melalui berbagai program dan strategi dalam upaya pengurangan emisi GRK tersebut, industri migas diharapkan dapat menjadi industri lebih hijau, rendah emisi, dan tetap dapat diandalkan untuk menjaga ketahanan energi dalam proses transisi energi.