Advertorial

Sering Dianggap Sama, Ini Fakta, Gejala, serta Pengobatan Mioma dan Kista

Kompas.com - 08/12/2022, 18:01 WIB

KOMPAS.com – Berbeda dengan laki-laki, perempuan memiliki rahim sebagai tempat pembuahan sel telur oleh sperma serta mengandung janin hasil pembuahan tersebut. Pada perempuan dengan usia produktif, organ reproduksi ini juga menjadi tempat ovulasi atau pelepasan sel telur dari ovarium.

Saat tidak terjadi pembuahan atau kehamilan, endometrium pada dinding rahim akan luruh bersama darah dan keluar melalui vagina yang dikenal dengan menstruasi.

Fase menstruasi berlangsung selama 2 hingga 7 hari setiap bulan, sebagaimana dilansir dari laman Kementerian Kesehatan. Setiap perempuan pun memiliki durasi dan volume darah berbeda-beda saat menstruasi.

Karena punya peran penting, perempuan wajib menjaga kesehatan organ reproduksi, mulai dari vagina hingga rahim. Pasalnya, organ reproduksi perempuan rentan terkena tumor kandungan.

Dokter Spesialis Kandungan dan Kebidanan Mayapada Hospital dr Caroline Tirtajasa, SpOG(K) menjelaskan bahwa tumor kandungan merupakan daging tumbuh atau benjolan yang terdapat pada rahim atau indung telur.

Tumor kandungan pada rahim disebut mioma, sedangkan pada indung telur dinamakan kista. Meski dianggap sebagai tumor jinak, baik mioma maupun kista dapat berimplikasi serius pada kesehatan organ reproduksi perempuan.

Apalagi, terdapat sejumlah mitos yang membuat perempuan menggampangkan kedua penyakit tersebut. Pertama, jelas dr Caroline, kedua penyakit tersebut sering dianggap sama, padahal terletak di dua area berbeda.

Kedua, perempuan yang belum menikah dianggap tidak akan terkena mioma dan kista. Padahal, perempuan usia produktif walau belum menikah tetap berisiko terkena kedua penyakit itu.

Ketiga, mioma dan kista kerap dianggap bisa hilang sendiri setelah melahirkan atau memasuki masa menopause.

“Hal itu tidak benar karena perempuan yang sudah memasuki masa menopause masih bisa terkena mioma dan kista. Kedua penyakit ini juga tidak hilang saat melahirkan kecuali dioperasi,” tutur dr Caroline dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (6/12/2022).

Penyebab dan gejala

Dokter Caroline menjelaskan, mioma dan kista disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti hormonal, genetika, serta gaya hidup.

“Lingkungan, seperti paparan polutan, juga dapat menyebabkan kista dan mioma,” jelasnya.

Kedua penyakit tersebut, lanjut dr Caroline, dapat dialami oleh perempuan semua kalangan usia, baik yang sudah menikah maupun belum menikah. Dokter Caroline pun menggarisbawahi bahwa pada tahap awal, mioma dan kista tidak menimbulkan gejala.

“Tak ada gejala sama sekali. Bahayanya di situ. Biasanya saat tumor sudah besar barulah menjadi masalah," jelasnya.

Ketika sudah mulai membesar, gejala mulai dirasakan oleh penderita. Pada mioma, misalnya, pola menstruasi penderita akan terganggu. Gangguan tersebut berupa fase menstruasi yang lebih lama dan darah yang keluar lebih banyak.

Lalu, mioma andenomiosis juga sering kali membuat penderita merasa nyeri. Akan tetapi, setiap penderita bisa merasakan nyeri dengan tingkatan berbeda-beda.

“Nyeri biasanya sangat intens dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Harus minum obat. Jika merasa sudah tak bisa ditoleransi, harus memeriksakan diri ke dokter,” jelas dr Caroline.

Sementara itu, lanjut dr Caronline, penderita kista akan merasakan nyeri yang hebat saat menstruasi. Nyeri tersebut datang secara tiba-tiba. Gejala lain adalah rasa tidak nyaman pada perut bagian bawah, perut membesar, sulit makan, serta gangguan menstruasi.

Diagnosis dan tata laksana pengobatan

Dokter Caroline menjelaskan, kedua penyakit tersebut dapat dideteksi dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG) transvaginal. Usai terdiagnosis, dokter akan menentukan tata laksana pengobatan yang tepat sesuai ukuran mioma atau kista serta gejala klinis pasien.

Jika harus dilakukan operasi, pasien pun tidak perlu khawatir. Dokter Caroline mengatakan, saat ini, sudah tersedia teknologi laparoskopi yang dapat meminimalkan rasa sakit saat pasien menjalani tindakan.

Untuk diketahui, laparoskopi merupakan teknik bedah invasif minimal menggunakan alat laparoskop yang digunakan di daerah perut dan panggul dengan empat sayatan kecil sekitar berukuran 0,5 sentimeter (cm) hingga 2 cm.

Pembedahan laparoskopi, imbuh dr Caroline, dapat mengurangi luka dan pendarahan pada pasien saat operasi serta mempercepat masa penyembuhan pascaoperasi.

“Selain tidak nyeri, pasien akan sembuh lebih cepat. Sangat cocok bagi pasien yang takut operasi,” ujarnya.

Adapun tindakan pembedahan laparoskopi sudah bisa dilakukan di Mayapada Hospital. Saat ini, Mayapada Hospital Obstetrics dan Gynecology Center menyediakan berbagai layanan kebidanan dan kandungan, mulai dari kehamilan, persalinan, masalah pada ibu dan janin, infertilitas dan gangguan hormon, hingga pengobatan penyakit pada sistem reproduksi perempuan, termasuk bedah laparoskopi.

Fasilitas tersebut didukung oleh tim dokter multispesialis yang terdiri dari dr I Putu Agus Suarta, SpOG(K) Onk dari Mayapada Hospital Surabaya, dr Tricia Dewi Anggraeni, SpOG(K) Onk dari Mayapada Hospital Jakarta Selatan, dan dr Yudi Andriansyah Eka P, SpOG(K) Onk, dr Unedo Hence Markus, SpOG(K) Onk dari Mayapada Hospital Kuningan, serta dr Elfahmi A Noor Azis, SpOG(K) Onk dari Mayapada Hospital Tangerang.

Untuk informasi secara lengkap dan booking appointment pemeriksaan dengan dokter multispesialis di Mayapada Hospital dapat melalui https://bit.ly/dokterspog-mh.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com