Advertorial

Wamenkumham: Produk Hukum Buatan Indonesia untuk Indonesia

Kompas.com - 10/12/2022, 08:40 WIB

KOMPAS.com - Masa kolonialisme di Indonesia meninggalkan berbagai warisan. Tak hanya gedung dan jembatan, kolonialisme juga mewariskan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang hingga kini masih digunakan sebagai salah satu hukum nasional di Indonesia.

Untuk diketahui, KUHP berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS)–peraturan perundang-undangan era kolonialisme Belanda.

Setelah merdeka, Indonesia mengadopsi KUHP menjadi hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Sejak 1958, beberapa pasal KUHP yang tidak lagi relevan dicabut untuk menyelaraskan kondisi Indonesia pasca-kemerdekaan. Langkah ini ditandai dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN).

Kemudian, pada 1963, Indonesia menyelenggarakan Seminar Hukum Nasional I yang menghasilkan berbagai resolusi. Salah satunya, perumusan KUHP baru yang masih diproses hingga 2022.

Perumusan yang memakan waktu hingga puluhan tahun itu menunjukkan bahwa pembaruan KUHP baru bukan perkara mudah. Ada banyak faktor yang perlu diselaraskan. Ini mengingat Indonesia merupakan negara luas dengan penduduk yang beragam.

Indonesia membutuhkan hukum nasional yang dapat mengayomi seluruh unsur sosial dan struktur masyarakat, serta sesuai secara sosiologis dan dinamika masyarakat.

Oleh karena itu, pemerintah melibatkan berbagai unsur masyarakat dalam diskusi publik dan sosialisasi pembaruan KUHP. Dengan begitu, berbagai pihak bisa memberikan masukan sehingga tercipta Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang bisa mengakomodasi aspirasi masyarakat.

Penyesuaian KUHP

Mendekati momen pengesahan RKUHP, muncul kekhawatiran dari berbagai pihak terkait pasal multitafsir atau pasal karet yang berisiko menjerat pidana. Beleid tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, misalnya, dinilai akan membatasi aspirasi masyarakat.

Merespons hal tersebut, pemerintah Indonesia melakukan penyesuaian terhadap RKHUP. Hal ini dilakukan melalui sejumlah upaya, salah satunya diskusi publik untuk mendengar aspirasi masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia. Diskusi ini pun menghasilkan pengurangan pasal yang dinilai tidak relevan.

Sebagai informasi, draf RKUHP terbaru per November 2022 memuat 627 pasal. RKUHP ini berkurang 5 pasal dari versi Juli 2022. Ada tiga pasal yang telah diperbarui karena dinilai multitafsir.

Pertama, terkait penghinaan kepala negara. Pasal ini dinilai sebagian pihak dapat mematikan aspirasi rakyat dan membuat kepala negara bersifat antikritik.

Faktanya, kritik tetap diperbolehkan. Kritik mengenai program presiden dalam menjalankan negara tanpa menyerang harkat dan martabat pribadi tidak bisa dipidanakan. Fokus dalam pasal ini adalah penghinaan yang dinilai menyerang harkat dan martabat kepala negara.

Dalam RUKHP Pasal 218 ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Adapun yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” adalah merendahkan atau merusak nama baik dan harga diri, termasuk menista atau memfitnah pribadi kepala negara.

Kedua, tindak pidana terkait agama. Pasal ini menimbulkan kontroversi bahwa negara mencampuri ruang privat warganya. Pasal ini pun telah direformulasi menyesuaikan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR).

Ketiga, terkait aborsi. Pasal ini dinilai akan mengancam korban perkosaan dan orang-orang yang membutuhkan tindakan aborsi karena masalah kesehatan.

Faktanya, aturan itu tidak berlaku jika perempuan merupakan korban tindak pidana pemerkosaan dan kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan dengan umur kehamilan tidak lebih dari 12 minggu.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan bahwa KUHP sebagai produk hukum abad ke-17 perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan hukum modern.

“Mempertahankan penerapan Asas Legalitas atau pasal 1 ayat 1 KUHP yang kaku cenderung menghukum, tidak memiliki alternatif sanksi pidana, serta belum memuat tujuan dan pedoman pemidanaan,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Kompas,com, Jumat (9/12/2022).

Pria yang akrab disapa Eddy itu pun menjelaskan bahwa upaya penyerapan aspirasi masyarakat dilakukan melalui berbagai mekanisme, baik secara audiensi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun informal.

Pemerintah, imbuh Eddy, menjamin pembaharuan KUHP akan melibatkan semua pihak dan tidak dilakukan secara eksklusif di antara para pemangku jabatan. Meski demikian, pembaruan ini akan sulit memuaskan semua pihak.

Menurutnya, perbedaan pendapat serta perdebatan tentu tidak bisa dihindarkan. Ia berharap, dengan dibukanya kesempatan beraspirasi dapat mengakomodasi berbagai kepentingan tanpa mengesampingkan nilai-nilai universal yang ada.

“(Hal itu) demi terciptanya produk hukum buatan Indonesia untuk Indonesia,” tutur Eddy.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com