Advertorial

Terapkan Manajemen Risiko yang Prudent, BRI Catat Pertumbuhan Laba Diiringi Penguatan Pencadangan

Kompas.com - 23/02/2023, 14:56 WIB

KOMPAS.com – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI mencatatkan kinerja keuangan yang impresif pada 2022. Hal ini tergambar dari pertumbuhan laba perseroan yang mencapai 67,15 persen secara tahunan atau year on year (yoy) menjadi Rp 51,4 triliun.

Seiring dengan pertumbuhan laba, BRI pun tetap memperkuat pencadangan sebagai langkah antisipasi dan mitigasi risiko untuk menghadapi tantangan ekonomi ke depan.

Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari manajemen risiko yang prudent. Hal ini tecermin dari rasio non-performing loan (NPL) konsolidasian BRI yang relatif manageable, yakni di level 2,67 persen.

Di samping itu, BRI juga menyiapkan pencadangan yang cukup memadai dengan NPL coverage tercatat sebesar 305,73 persen. Angka ini meningkat jika dibandingkan NPL coverage di akhir 2021 yang sebesar 281,16 persen.

Pencadangan yang memadai tersebut merupakan langkah antisipatif dan upaya mitigasi risiko dalam menghadapi ketidakpastian perekonomian global, inflasi dan kenaikan suku bunga, serta potensi perlambatan ekonomi.

Kualitas kredit yang baik dan pencadangan yang memadai tersebut juga diiringi dengan pertumbuhan kredit yang positif. Adapun total kredit dan pembiayaan BRI Group tercatat mencapai Rp 1.139,08 triliun pada akhir Desember 2022. Dari angka ini, khusus portofolio kredit mikro BRI tumbuh double digit sebesar 13,9 persen secara tahunan.

Kemampuan BRI dalam menyalurkan kredit dan pembiayaan juga didukung dengan likuiditas yang memadai dan permodalan yang kuat. Hal ini terlihat dari loan to depost ratio (LDR) secara konsolidasian yang terjaga di level 87,09 persen dengan capital adequacy ratio (CAR) sebesar 25,54 persen.

Direktur Manajemen Risiko BRI Agus Sudiarto mengatakan bahwa kemampuan perseroan dalam membukukan kinerja harus diimbangi dengan pengelolaan risiko bisnis yang prudent.

Oleh karena itu, menurutnya, top management perseroan perlu selalu mengambil langkah strategis dengan menyiapkan pencadangan yang memadai. Dalam hal ini, BRI menaikkan NPL coverage pada 2022 sebesar 24,57 persen dari posisi akhir 2021 sebesar 281,16 persen dari posisi di akhir 2021 menjadi 305,73 persen

”Rasio pencadangan itu sangat memadai. Kami memiliki alasan kuat untuk menaikkan pencadangan tersebut. (Hal) ini sebagai langkah antisipatif dan upaya mitigasi risiko menghadapi tantangan ekonomi tahun ini, seperti ketidakpastian perekonomian global, inflasi, suku bunga yang naik, serta potensi perlambatan ekonomi,” ujar Agus dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (23/2/2023).

Berdasarkan data perseroan, lanjutnya, BRI selalu meningkatkan dana pencadangan sejak 2019. Pada tahun tersebut, BRI menyiapkan pencadangan sebesar 166,59 persen. Tahun berikutnya, yakni pada saat pandemi Covid-19, pencadangan BRI naik pesat menjadi 247,98 persen.

”Dengan upaya mitigasi risiko, menjadi komitmen nyata perseroan untuk menjaga bisnis yang sehat dan berkelanjutan. Ini merupakan salah satu value dari kami untuk stakeholders,” kata Agus.

Dengan demikian, Agus menambahkan bahwa kepercayaan dari seluruh stakeholder dapat selalu terjaga dengan bukti konkret yang tecermin dari kinerja perseroan secara menyeluruh.

Secara terpisah, pengamat perbankan Lando Simatupang mengemukakan pendapat senada. Lando mengatakan bahwa kebijakan pencadangan adalah upaya bank memitigasi atas segala potensi eksternal.

“Pembentukan cadangan yang cenderung tinggi menjadi bentuk mitigasi bank atas potensi resesi global yang akan memengaruhi domestik,” katanya.

Pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Riset Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) itu menilai bahwa pada 2023, bank berpotensi kembali mempertebal pencadangan.

Akan tetapi, kata Landor, bila Indonesia dapat mengatasi gejala resesi global dengan baik, hal tersebut tidak perlu dilakukan.

“Misal, ekspor komoditas masih bertumbuh, maka industri perbankan bisa jadi masih bisa tumbuh dan membukukan (pertumbuhan) laba,” ujar Lando.

Indonesia sendiri diproyeksikan mampu menghadapi tantangan ekonomi global. Hal ini terlihat dari optimisme berbagai pihak.

Riset media ekonomi terkemuka dunia, Bloomberg, menyatakan bahwa kemungkinan Indonesia mengalami resesi sangat tipis pada 2023, yakni hanya sekitar 3 persen.

Bank Indonesia juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional berada di kisaran 4,5-5,3 persen pada 2023. Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksikan kredit perbankan pada 2023 tumbuh sekitar 10-12 persen. Hal ini didukung oleh pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sekitar 7-9 persen.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com