Advertorial

Pengamat Kajian Strategis Peringatkan Filipina untuk Membatalkan Pembentukan EDCA dengan AS

Kompas.com - 08/03/2023, 21:01 WIB

KOMPAS.com - Pengamat politik sekaligus Wakil Presiden Urusan Luar Negeri Asian Century Philippines Strategic Studies Prof Anna Malindog-Uy memperingatkan Filipina untuk belajar dari pengalaman Ukraina yang sedang berperang dengan Rusia agar tidak dimanfaatkan sebagai wakil Amerika Serikat (AS) dalam melawan China.

Pada Forum Pandesal, Malindog-Uy mengatakan bahwa Filipina harus menolak pembentukan kesepakatan Perjanjian Kerja Sama Peningkatan Pertahanan (EDCA) dengan AS. Penolakan EDC bertujuan untuk menyelamatkan negara apabila terjadi perang antara AS dan China.

“Saya ingin mengutarakan penolakan sepenuh hati saya terhadap militerisasi Filipina. Pasalnya, pelaksanaan EDCA merupakan keinginan dan ulah AS bersama para sekutunya di wilayah Asia Pasifik,” ujar Malindog-Uy dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu (3/8/2023).

Malindog-Uy juga mengkritik Menteri Pertahanan Filipina Carlito Galvez Jr yang menolak perlawanan pejabat pemerintahan setempat atas rencana pembangunan fasilitas tambahan militer AS di provinsi masing-masing.

“Kita harus mengatakan tidak atas pelaksanaan EDCA serta (pembangunan) pangkalan militer EDCA baru akibat sengketa Taiwan dan Laut China Selatan,” tuturnya.

Filipina, lanjutnya, juga harus menolak patroli bersama lanjutan yang dilakukan AS, Jepang, serta Australia di Laut Filipina Barat. Hal ini dapat memprovokasi China.

“Aktivitas tersebut dapat mendatangkan bencana di Laut China Selatan yang saat ini sedang bersengketa. Kita juga harus mengatakan tidak terhadap pembangunan aset militer lain di wilayah Filipina,” tuturnya.

Pemerintah Filipina, lanjut Malindog-Uy, harus mengizinkan debat umum atas isu tersebut dalam rangka membentuk sentimen nyata di masyarakat.

Malindog-Uy menilai, AS sudah lama mengupayakan perang di Laut China Selatan. Jika terjadi, perang akan mengorbankan Filipina dan Asia. Perang antara AS dan China akan berdampak fatal bagi negara mana pun yang “disandera” AS.

Oleh karena itu, lanjutnya, Filipina tidak boleh menyerahkan nasibnya ke AS, terlebih untuk dijadikan tempat pangkalan militer.

“Dimanfaatkan sebagai wakil dan koloni baru bagi AS bukanlah sebuah candaan. Ini berarti, sebagai sebuah bangsa, kami tidak benar-benar bebas. Ini berarti, nasib kami sebagai bangsa tidak sepenuhnya milik kami dan dikendalikan oleh konglomerat. Pengakuan terberat bagi setiap warga Filipina,” ujar Malindog-Uy.

Malindog-Uy mengatakan, Perang Dunia III bisa saja terjadi jika ketegangan AS dan China semakin memuncak. Terlebih, situasi politik global saat ini sedang dalam kondisi paling berbahaya sejak 1945.

Filipina, kata Malindog-Uy, berada di dekat tiga persimpangan wilayah yang sedang bersengketa, yakni Laut China Selatan, Selat Taiwan, serta Semenanjung Korea. Ketegangan di kawasan ini berpotensi menjadi jurang menuju Perang Dunia III.

“Perang tersebut merupakan bencana besar dan fatal,” katanya.

Ketua Bukluran Ng Manggagawang Pilipino Emeritus Ka Leody de Guzman mengatakan, meskipun sudah menjadi sekutu selama bertahun-tahun, AS tidak mampu membantu Filipina dalam mengatasi kemiskinan.

“Jika AS benar-benar ingin membantu kami, mengapa 23 juta orang Filipina masih mengalami kelaparan, 7 juta warga Filipina menjadi gelandangan, dan 4 juta pengangguran?” ujar de Guzman.

Sebagai informasi, Galvez tengah menargetkan pencapaian jumlah dan lokasi optimal pembangunan pangkalan militer EDCA di Filipina. Hal ini dilakukan untuk memaksimalkan cakupan EDCA di seluruh wilayah kepulauan Filipina.

Karena kebijakan tersebut, Presiden United Filipino Consumers and Commuters Ka RJ Javellana pun menginginkan pengunduran diri Galvez.

“Galvez harus mengundurkan diri,” ujarnya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com