Advertorial

Belajar dari Kasus Silicon Valley Bank dan Credit Suisse, Dirut BRI Sebut Potensi Resesi Indonesia Hanya 2 Persen

Kompas.com - 31/03/2023, 09:25 WIB

KOMPAS.com - Silicon Valley Bank (SVB) dan Credit Suisse yang merupakan bank besar berskala global mengalami kebangkrutan akibat ketidakpastian ekonomi global. Kasus dua bank besar ini menjadi pelajaran bagi industri perbankan Tanah Air.

Pada rapat dengar pendapat bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Selasa (28/3/2023), Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI Sunarso menyampaikan bahwa kondisi perbankan nasional cukup kuat dan jauh dari episentrum krisis tersebut.

Meski demikian, perbankan nasional harus mewaspadai serta memitigasi risiko yang mungkin muncul.

Ia menjelaskan, Indonesia diprediksi mampu bertahan dari ancaman risiko resesi pada 2023. Keyakinan ini berdasarkan prediksi BRI dengan menggunakan metode Markov Switching Dynamic Model (MSDM).

Metode MSDM, kata dia, memperkuat evaluasi dan analisis yang dilakukan Bloomberg sebelumnya. Metode ini juga sudah terbukti secara akurat pada kasus terdahulu.

“Alhamdulillah, hasil analisis menunjukkan bahwa potensi resesi di Indonesia hanya sebesar 2 persen pada 2023. Metode ini mampu memproyeksikan resesi di Indonesia pada krisis keuangan Asia Tenggara 1998 dan saat pandemi Covid-19 pada 2020 secara akurat,” ucap Sunarso dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (30/3/2023).

Sunarso memaparkan, terdapat dua faktor yang membuat ekonomi Indonesia dapat bertahan dan memiliki resiliensi tinggi. Pertama, konsumsi domestik yang masih kuat dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Kedua, optimisme dari pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sebagai mayoritas usaha di Indonesia.

“Konsumsi domestik yang masih kuat menjadi pendorong utama pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Oleh karena itu, berbagai upaya harus kita arahkan pada penguatan daya beli masyarakat, peningkatan konsumsi, serta penggunaan produk dalam negeri. Itu yang harus kita dorong supaya lapangan pekerjaan dan optimisme di tengah masyarakat tercipta,” tuturnya.

Kemudian, optimisme pelaku UMKM terlihat dari tolok ukur Indeks UMKM BRI. Peningkatan indeks ini dari 103 pada kuartal III 2022 menjadi 105 pada kuartal IV 2022 menggambarkan aktivitas UMKM yang terus bergeliat. Pertumbuhan indeks tersebut disumbang oleh kenaikan rata-rata omzet, penggunaan tenaga kerja, dan lain-lain.

Berdasarkan data tersebut pula, para pelaku UMKM melihat aktivitas selama satu kuartal ke depan, yakni Januari hingga Maret 2023, masih baik.

Optimisme juga terlihat dari peningkatan kepercayaan pelaku UMKM terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola ekonomi. Indeks kepercayaan ini naik dari angka 127 menjadi 138.

Pelajaran penting dari kasus SVB dan Credit Suisse

Sunarso pun menjabarkan identifikasi dan pelajaran yang bisa dipetik dalam kasus SVB dan Credit Suisse. Kedua bank ini mengalami kesulitan likuiditas dan permodalan yang disebabkan oleh ketiadaan antisipasi terhadap risiko ganda (multiple risk), mulai dari reputational risk yang dihasilkan pemberitaan penjualan saham perusahaan oleh para petinggi hingga soal unreleased loss.

Selanjutnya, liquidity risk. Kedua bank tersebut tidak menyediakan likuiditas yang memadai untuk kebutuhan jangka pendek. Kondisi ini diperparah dengan contingency funding plan yang gagal dan maturity mismatch asset.

Masalah lain, lanjut Sunarso, adalah kenaikan suku bunga transaksi setempat (fed fund rate) dari 0,25 persen menjadi 4,75 sehingga menyebabkan market risk.

Berbagai masalah tersebut menyebabkan unreleased loss yang menurut International Financial Reporting Standard (IFRS) merupakan available for sale naik hingga 15,54 persen terhadap modal.

“Jadi, IFRS-nya, aset-aset dia yang available for sale itu menjadi berpotensi rugi. Dengan demikian, modalnya akan langsung berkurang sebesar potensinya. Saat dieksekusi, modalnya menjadi hilang sehingga berbahaya. Ini berpengaruh terhadap liquidity risk dan juga permodalan,” papar Sunarso.

Terakhir, risiko yang juga berbahaya adalah concentration risk. Pada risiko ini, nasabah mengumpulkan portofolio surat berharga hanya terkonsentrasi di sektor startup dan teknologi. Kondisi ini diperparah dengan fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) dari regulator (rule of regulatory) tidak tersedia, kelonggaran kewajiban loan coverage ratio (LCR), dan juga net stable funding ratio

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com