Advertorial

Kerja di Klinik HIV dan Jadi Satgas Covid-19, Mashita Mantap Lanjutkan Studi International Public Health di Inggris

Kompas.com - 10/04/2023, 20:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Isu kesehatan selalu menarik untuk dibahas. Sebab, permasalahan ini tidak hanya terkait kesehatan personal, tetapi juga hal-hal lain, seperti mitigasi dan asuransi kesehatan.

Hal tersebut pula yang mendasari Mashita Fajri Maysuro memilih untuk melanjutkan kuliah di Program Studi (Prodi) Ilmu Kesehatan Lingkungan Universitas Indonesia (UI) pada 2015.

"Banyak lapisan yang bisa diperhatikan di dalamnya. Bagi saya, banyak isu (kesehatan yang) bisa dibahas dan tantangannya juga menarik untuk diteliti lebih lanjut," kata Mashita kepada Kompas.com, Jumat (24/3/2023).

Saking menariknya, perempuan asal Malang, Jawa Timur (Jatim), itu pun mendedikasikan dirinya di bidang kesehatan. Sejauh pengalamannya, ia menilai bahwa Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah terkait masalah kesehatan yang perlu dipecahkan.

Selepas lulus dari UI pada 2019, ia bekerja di klinik khusus HIV dan penyakit menular seksual. Di sana, ia menjadi data analyst. Lantaran masih penasaran soal isu kesehatan di Indonesia, ia pun bergabung dengan Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 saat virus itu menyeruak di Tanah Air.

"Bagi sebagian orang, pekerjaan ini terlihat sangat berisiko. Padahal, tidak sepenuhnya (seperti itu). Saya ingin mengetahui lebih jauh cara mikrob bisa sangat membahayakan kesehatan sekaligus cara mengatasi penyebaran penyakit. Jadi, bisa dibilang, pengalaman bekerja di bidang ini malah membuat saya semakin ingin terlibat dan berkontribusi untuk dunia kesehatan," ujar Mashita.

Oleh karenanya, Mashita memutuskan melanjutkan studi ke jenjang strata 2 (S2). Ia pun mendaftarkan diri pada program beasiswa S2 di beberapa negara Eropa sejak 2020. Meski begitu, sebanyak tujuh kali usahanya untuk menempuh perguruan tinggi di Benua Biru belum membuahkan hasil.

"Dari pengalaman gagal sebanyak itu, justru saya (jadi) mengetahui apa yang perlu dievaluasi (untuk mendaftar beasiswa)," imbuhnya.

Setahun berselang, Mashita memutuskan untuk mengikuti program beasiswa The British Council Scholarship for Women in Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM) yang baru saja dibuka. Ia memilih Liverpool John Moores University (LJMU) dan mengambil Prodi International Public Health.

"Jurusan ini sangat sesuai dengan ketertarikan saya. Terbukti, setelah belajar di LJMU, banyak hal menarik saya dapatkan, salah satunya soal universal health coverage issue yang ternyata masih menjadi issue di sebagian besar negara dalam penerapannya," tambahnya.

Mashita bertutur mengenai proses seleksi beasiswa. Ia menilai, kemudahan untuk lolos seleksi tak lain karena pengalamannya terdahulu. Ia juga mengungkapkan bahwa jalan menuju ke LJMU dan kesempatan mendalami public health menjadi mudah berkat peluang yang diberikan oleh British Council.

Setelah lulus, Mashita ingin mendedikasikan dirinya di bidang kesehatan, khususnya edukasi tentang penyakit menular, dan bekerja di Badan Kesehatan Dunia. Dok. British Council/Mashita Fajri Maysuro Setelah lulus, Mashita ingin mendedikasikan dirinya di bidang kesehatan, khususnya edukasi tentang penyakit menular, dan bekerja di Badan Kesehatan Dunia.

“Saya berterima kasih kepada British Council yang telah memberikan kesempatan sehingga saya bisa menempuh pendidikan di Inggris. Saya jadi mendapatkan pendidikan yang lebih komprehensif mengenai international public health, bisa berdiskusi dengan orang dari berbagai negara, dan mencari problem solving untuk masalah kesehatan yang ada Indonesia," ucap Mashita. 

Selain itu, Mashita juga menginginkan peran perempuan di bidang kesehatan semakin diperhatikan. Berdasarkan pengalamannya, perempuan masih dianggap "kecil" dan dikesampingkan dalam memberikan pendapat, terlebih di bidang STEM.

Menurutnya, dengan sumber daya yang ada disertai kemajuan teknologi, perempuan memiliki kekuatan yang sama dengan laki-laki di bidang STEM. Oleh karena itu, Mashita pun menginginkan perempuan lebih berperan dalam pengambilan keputusan dan lebih banyak dilibatkan.

"Masih ada stigma di masyarakat yang beranggapan bahwa laki-laki superior (di bidang STEM). Padahal, perempuan juga bisa setara dengan laki-laki. Justru dengan melibatkan perempuan, sudut pandang dalam menyelesaikan masalah akan semakin luas," ujarnya.

Ingin menginspirasi perempuan lain

Setelah menyelesaikan pendidikan di LJMU, Mashita mempertimbangkan mengambil gelar Doctor of Philosophy (PhD). Namun, dirinya juga tidak menutup kemungkinan kembali ke Indonesia dan berkontribusi untuk Tanah Air, khususnya di bidang HIV dan penyakit menular lain. 

Ia juga punya impian bergabung bersama Badan Kesehatan Dunia (WHO), baik di Indonesia maupun di negara lain.

Selain itu, Mashita berharap, dirinya juga bisa menginspirasi perempuan-perempuan lain yang ingin berkarier di bidang STEM. Ia pun berpesan kepada perempuan untuk terus mengejar ambisinya dan lakukan yang ingin dilakukan.

"Semua orang pasti akan menghadapi permasalahan yang kemudian menjadi ambisinya. Do what you wanna do karena kesempatan untuk mengejar impian itu pasti ada. Tidak ada yang boleh membuat perempuan berhenti ketika ingin melakukan perubahan yang baik," tutur Mashita.

Sebagai informasi, beasiswa The British Council Scholarship for Women in STEM yang diikuti oleh Mashita merupakan program yang menargetkan perempuan secara khusus.

Country Director British Council Indonesia Summer Xia mengatakan bahwa beasiswa tersebut diadakan untuk memberikan kesempatan besar kepada perempuan-perempuan berbakat agar bisa mengembangkan karier di bidang STEM.

“Inggris memiliki sektor pendidikan internasional yang diakui dunia. (Melalui program beasiswa Women in STEM), para perempuan dapat memanfaatkan pengalaman studi untuk menciptakan dampak positif yang lebih besar ketika kembali ke negara masing-masing,” kata Summer dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Minggu (19/3/2023).

Beasiswa tersebut memberikan pendanaan penuh kepada perempuan yang melanjutkan studi pendidikan tinggi di 21 universitas yang ada di Inggris. Adapun biaya yang diberikan meliputi biaya kuliah, ongkos perjalanan, visa, asuransi kesehatan, tunjangan, dan pengembalian biaya tes International English Language Testing System (IELTS).

Selain itu, bagi perempuan yang sudah dinyatakan lulus dan ingin membawa serta anaknya ke Inggris, pihak British Council dan universitas terkait juga bekerja sama untuk memudahkan proses dan penyediaan fasilitasnya.

Pendaftaran The British Council Scholarship for Women in STEM memiliki tenggat waktunya berbeda-beda, tergantung pada universitas yang dituju. Namun, pihak British Council mengingatkan bahwa tahapan pendaftaran telah dibuka mulai Maret hingga Mei 2023.

Informasi lebih lengkap mengenai The British Council Scholarship for Women in STEM dan universitas yang bekerja sama dengan program ini dapat diakses melalui tautan berikut. Anda juga bisa menghubungi British Council untuk pertanyaan seputar beasiswa ini melalui posel UK.Scholarships@britishcouncil.org

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com