Advertorial

Kurikulum Merdeka Belajar Jadi Kunci Pemerataan Kualitas Pendidikan di Indonesia

Kompas.com - 18/05/2023, 14:11 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pesatnya perkembangan teknologi pada era industri 4.0 menuntut pemerataan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. Untuk mencapai hal itu, transformasi sistem pendidikan dibutuhkan guna mengakselerasi kualitas SDM secara merata dari Sabang sampai Merauke.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) telah mencanangkan terobosan “Merdeka Belajar” untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas peserta didik di Indonesia.

Sekretaris Jenderal Kemendikbud Ristek Suharti menjelaskan, program Merdeka Belajar dicetuskan saat Nadiem Makarim dilantik menjadi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) pada 2019. Program ini diinisiasi karena saat itu, kualitas pendidikan di Indonesia memiliki masalah di bidang pendidikan yang serius.

Hal tersebut disampaikan Suharti di webinar bertajuk “Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar” yang diadakan Kemendikbud Ristek bekerja sama dengan Kompas.com, Rabu (17/5/2023).

Berdasarkan hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA), sebanyak 70 persen anak-anak Indonesia pada usia 15 tahun tidak mencapai kompetensi minimum pada bidang literasi dan numerasi.

Guna menyikapi masalah tersebut, Kemendikbud Ristek melalui program Merdeka Belajar berupaya menyediakan pendidikan berkualitas untuk semua kalangan. Adapun visi program ini tidak hanya menghasilkan peserta didik berkualitas, tapi juga menghasilkan pembelajar sepanjang hayat serta berkarakter sesuai nilai-nilai Pancasila.

Visi tersebut diwujudkan dengan memastikan semua anak Indonesia mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan bermutu dan pembelajaran berkualitas. Selain itu, layanan pendidikan dilakukan secara inklusif dan terbuka untuk semua kalangan.

Selain kualitas pendidikan, program Merdeka Belajar juga mentransformasi pembiayaan pendidikan supaya lebih adil. Pembiayaan mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai perguruan tinggi disesuaikan dengan kebutuhan di masing-masing wilayah.

“Paradigma pembelajaran juga turut berubah. Dari semula sekolah identik dengan tugas menjadi tempat yang menyenangkan untuk belajar. Selain itu, guru yang semula menjadi pelaksana kurikulum menjadi co-creator. Dengan demikian, guru turut ikut andil dalam membuat kurikulum sesuai dengan kebutuhan di sekolah,” ujar Suharti kepada Kompas.com.

Suharti juga membantah anggapan yang kerap mengemuka bahwa Merdeka Belajar merupakan program yang bersifat reaktif dari Kemendikbud Ristek dalam menyikapi masalah pendidikan.

Menurutnya, program Merdeka Belajar dari episode 1 sampai 24 merupakan rangkaian holistik dalam menyelesaikan berbagai masalah pendidikan di Indonesia, mulai dari jenjang PAUD hingga perguruan tinggi. Penyelesaian juga termasuk pada solusi bagi pihak yang terlibat dalam ekosistem pendidikan, seperti siswa, guru, orangtua, serta organisasi pendidikan.

Suharti mencontohkan bahwa program Merdeka Belajar episode 1 mengeluarkan kebijakan penggantian Ujian Nasional (UN) menjadi Asesmen Nasional (AN). AN lebih menekankan pada aspek literasi, numerasi, serta karakter peserta didik. Selain itu, kurikulum Merdeka Belajar juga menekankan pengembangan peserta didik sesuai dengan potensinya masing-masing.

Untuk pendidikan profesi guru, misalnya, program Merdeka Belajar telah menyeimbangkan besaran teori dan praktik masing-masing 50 persen. Selanjutnya, program ini juga memilah para guru penggerak potensial yang memiliki kemampuan leadership untuk melanjutkan karier sebagai kepala sekolah dan pengawas sekolah.

“Selain itu, guru-guru juga memiliki komunitas belajar untuk saling berbagi pengetahuan dan membahas berbagai isu di dunia pendidikan. Saat ini, terdapat 2,3 juta guru yang tergabung di platform Merdeka Belajar. Di sana, para guru bisa saling berbagi pengalaman dan materi untuk peserta didiknya,” ujar Suharti.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Probolinggo Fathur Rozi yang turut berbicara pada kesempatan tersebut mengatakan bahwa kurikulum Merdeka Belajar membuat para guru menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam mengajar. Para guru juga dapat fokus untuk mendidik anak berdasarkan materi esensial yang dicanangkan program Merdeka Belajar, yakni literasi dan numerasi.

Meski demikian, Fathur tak memungkiri bahwa pada awal pemberlakukan Merdeka belajar, pihaknya mendapatkan penolakan dari para guru. Namun, menurutnya, hal ini wajar karena para guru belum terbiasa dengan sistem seperti itu.

Setelah program tersebut berjalan beberapa tahun, para guru menjadi lebih nyaman karena dapat mengimplementasikan Merdeka Belajar dalam tiga pilihan, yakni Merdeka Belajar, Merdeka Berubah, serta Merdeka Berbagi

“Para guru dapat mempelajari hal tersebut di platform Merdeka Belajar secara mandiri. Kehadiran platform dan komunitas belajar ini menjadi penting karena para guru dapat meningkatkan kompetensi dirinya,” kata Fathur.

Dirasakan langsung manfaatnya

Manfaat program Merdeka Belajar turut dirasakan langsung oleh mahasiswa penerima beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP-Kuliah) di Universitas Gadjah Mada, Alir Bening Firdausi.

Mahasiswa berprestasi itu mengatakan, program KIP-Kuliah dari Merdeka Belajar bermanfaat untuk dirinya yang berasal dari keluarga tidak mampu. Pasalnya, kondisi ekonomi keluarganya tidak memungkin dia untuk kuliah di UGM.

Namun, berkat program KIP-Kuliah, anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu dapat melanjutkan pendidikan tinggi dengan beasiswa hingga semester 8 dan 10.

Selain biaya kuliah, program KIP-Kuliah juga memberikan bantuan biaya hidup kepada mahasiswa penerima beasiswa. Adapun besaran bantuan biaya hidup pada mahasiswa yang lolos beasiswa tergantung dari kebutuhan hidup di kota tersebut.

“Saya ingin berterima kasih kepada Kemendikbud Ristek karena telah memberikan saya kesempatan yang sama dengan teman-teman lain untuk bisa berkuliah di UGM,” kata Alir.

Tak hanya mahasiswa, manfaat program Merdeka Belajar juga dirasakan oleh orangtua murid. Salah satunya, Yana Haudy. Yana yang juga merupakan Kompasianer menilai, program Merdeka Belajar yang dilaksanakan di SDN Negeri Muntilan, Kabupaten Magelang, telah membuat anaknya lebih semangat belajar dan datang ke sekolah.

Kurikulum itu dinilainya cocok diterapkan pada anak generasi sekarang yang kerap bersentuhan dengan gadget. Menurutnya, siswa-siswi zaman sekarang lebih mudah memahami sesuatu jika mempelajarinya secara langsung.

“Kurikulum Merdeka Belajar membuat proses belajar mengajar menjadi lebih menyenangkan karena para guru lebih kreatif saat mengajar. Bahkan, anak saya menjadi lebih berani untuk bertanya karena para guru di sekolah memancing mereka untuk lebih aktif berinteraksi selama proses pembelajaran,” ujar Yana.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com