Advertorial

Komite I DPD RI dan Pemerintah Bahas Keppres serta Inpres Soal Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat secara Non-Yudisial

Kompas.com - 04/07/2023, 18:53 WIB

KOMPAS.com - Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) mempertanyakan penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 dan Keppres Nomor 4 Tahun 2023.

Selain kedua Keppres tersebut, Komite I DPD RI juga mempertanyakan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2023 mengenai Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.

Keputusan itu dinilai DPD RI telah menimbulkan perdebatan di masyarakat atas peristiwa masa lalu.

Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono mengatakan, pihaknya telah melakukan diskusi intensif antara Pimpinan DPD RI La Nyalla Mattalitti dan Para Pimpinan Alat Kelengkapan DPD RI dalam menyikapi situasi tersebut.

“Kami juga telah mengundang para pakar untuk mendapatkan gambaran. Perhatian kami berkaitan dengan peristiwa 1965,” ujar Nono dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (4/7/2023).

Senada dengan Nono, Wakil Ketua Komite I DPD RI Filep Wamafma juga mempertanyakan urgensi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam mengeluarkan keputusan tersebut.

Ia juga penasaran tentang cara pemerintah dalam mengakomodasi peristiwa 1965 yang coba diselesaikan secara non-yudisial.

“Sebenarnya kami ingin tahu seberapa pentingnya keputusan ini. Apalagi, peristiwa pelanggaran HAM pada 1965 tidak berjalan tuntas. Bahkan, sampai saat ini, pelaku peristiwa 1965 tidak terungkap ke publik. Pertanyaan kami, kenapa pelaku pelanggaran yang sudah bertahun-tahun ini tidak ada kejelasannya,” jelas Filep.

Sementara itu, Anggota DPD RI asal Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) Alirman Sori mengatakan, dalam prinsip negara hukum seperti Indonesia, peristiwa 1965 tergolong sebagai kasus besar.

“Artinya, jika ada korban, sudah pasti ada pelakunya. Namun, sampai detik ini, kasus tersebut masih abu-abu. Bila pelakunya sudah meninggal atau sudah tua dan tidak ada bukti, maka dibuka saja siapa pelaku-pelakunya,” kata Alirman.

Menanggapi opini tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menjelaskan bahwa pascareformasi 1998, banyak bermunculan kasus pelanggaran masa lalu, termasuk peristiwa 1965.

Mekopolhukam Mahfud MD. Dok. DPD RI Mekopolhukam Mahfud MD.

“Negara telah memerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, baik secara yudisial dan non-yudisial secara simultan. Tugas ini sangat sulit karena pada 1998 hingga sekarang, (upaya tersebut) tidak menghasilkan apa-apa. Selama 25 tahun diperintah untuk menyelesaikan pelanggaran, tapi tidak menghasilkan apa-apa,” ucap Mahfud.

Faktanya, sambung Mahfud, 35 orang tersangka malah dibebaskan atau tidak mendapat hukuman sama sekali setelah diadili di meja hijau.

“35 orang dinyatakan bebas karena tidak ada bukti yang kuat. Pertanyaan dari hakim, kapan peristiwa itu? Di mana? Jam berapa? Pakai apa? Itu sulit dibuktikan karena peristiwa ini sudah bertahun-tahun. Jejaknya hilang semua,” ujarnya.

Terkait situasi tersebut, Wakil Jaksa Agung Sunarta pun membeberkan penyidikan yang dilakukan pihaknya atas peristiwa yang terjadi sepanjang 1965 hingga 1966, penembakan misterius (petrus), dan peristiwa Paniai

“Semua kasus tersebut sudah diputuskan oleh pengadilan dan dikatakan bukan pelanggaran berat. Kesulitan kami dalam bukti peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu karena alat bukti dan saksi tidak.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com