Advertorial

Kenali Penyebab dan Cara Penanganan Asma pada Anak

Kompas.com - 14/07/2023, 09:58 WIB

KOMPAS.com - Permasalahan pada pernapasan anak menjadi salah satu kekhawatiran setiap orangtua. Utamanya, saat memasuki musim pancaroba seperti pada beberapa waktu terakhir.

Pada kondisi tersebut, anak yang memiliki riwayat asma berisiko mengalami kesulitan bernapas. Gangguan kesehatan ini dapat mengganggu kenyamanan mereka saat bermain serta melakukan ragam aktivitas lain.

Dalam situasi seperti itu, tidak sedikit orangtua ingin mengetahui seluk-beluk asma, mulai dari tindakan preventif hingga tingkat kesembuhannya.

Dokter Spesialis Anak Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Grand Family sekaligus RSIA Family dr Irene Melinda Louis, SpA, mengatakan, asma adalah penyakit saluran pernapasan kronik yang dapat dialami seseorang, baik anak-anak maupun orang dewasa.

Prevalensi penyakit asma pada anak di berbagai negara bervariasi, yakni berkisar antara 1 hingga 18 persen.

Meski tidak menempati peringkat teratas sebagai penyebab kematian pada anak, asma merupakan masalah kesehatan yang wajib diantisipasi sejak dini. Jika tidak ditangani dengan baik, asma dapat menurunkan kualitas hidup anak, membatasi aktivitas, menyebabkan gangguan tidur, serta memengaruhi kualitas belajar.

“Asma yang tidak terkendali juga dapat berpengaruh terhadap ekonomi keluarga karena dapat meningkatkan pengeluaran untuk biaya pengobatan,” ujar dr Irene dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (13/7/2023).

Dokter Irene menjelaskan, pemahaman mengenai keseluruhan perkembangan penyakit, respons imun yang berhubungan dengan penyakit, genetika, manifestasi klinis, diagnosis, hingga penanganan asma telah mengalami banyak kemajuan.

Asma sendiri, jelas dr Irene, terjadi akibat faktor genetik dan lingkungan. Meski begitu, faktor paling dominan yang dapat memicu asma belum dapat dipastikan seiring kompleksitas hubungan kedua faktor tersebut.

“Asma terjadi akibat inflamasi kronik, hiperresponsif, dan perubahan struktur akibat penebalan dinding bronkus (remodelling) saluran pernapasan yang berlangsung kronik. Bahkan, kondisi ini sudah ada sebelum kemunculan gejala awal asma,” papar dr Irene.

Penyempitan dan obstruksi pada saluran pernapasan terjadi akibat penebalan dinding bronkus, kontraksi otot polos, edema mukosa, serta hipersekresi mukus. Gejala klinis yang timbul pada asma dapat berupa batuk, wheezing (mengi), sesak napas, dada terasa tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, dan reversible.

“Pada kondisi tertentu, asma cenderung memburuk pada malam atau dini hari. Biasanya timbul jika ada pencetus,” jelasnya.

Diagnosis anamnesis

Dokter Irene menambahkan, penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis medis, yaitu melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.

Untuk diketahui, diagnosis anamnesis memegang peranan penting terhadap penanganan asma. Pasalnya, diagnosis asma pada anak sebagian besar ditegakkan secara klinis. Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan gejala klinis yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma.

“Oleh karena itu, dokter perlu melihat karakteristik dari gejala yang dirasakan oleh anak. Hal ini dapat menentukan tingkat keparahan asma yang dirasakan oleh si kecil,” terang dr Irene.

Salah satu karakteristik asma adalah gejala timbul secara episodik atau berulang. Kemudian, variabilities atau intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam. Biasanya, gejala yang muncul cenderung lebih berat pada malam hari (nokturnal).

Karakteristik gejala berikutnya, imbuh dr Irene, adalah reversibility. Dalam kondisi ini, gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat pereda asma.

Selain itu, asam dapat timbul bila ada faktor pencetus, seperti iritan berupa rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, serta pewarna makanan.

Selain iritan, faktor pencetus berikutnya adalah alergen, seperti debu, tungau, debu, rontokan hewan, dan serbuk sari. Kemudian, infeksi saluran pernapasan akut karena virus serta aktivitas, seperti berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.

“Keberadaan riwayat alergi pada pasien atau keluarga juga menjadi faktor pencetus asma pada anak-anak,” katanya.

Diagnosis pemeriksaan fisik dan penunjang

Dokter Irene menjelaskan, dalam kondisi pernapasan stabil tanpa gejala, biasanya tidak ditemukan kelainan saat pemeriksaan fisik dilakukan terhadap pasien.

Namun, dalam kondisi bergejala berupa batuk atau sesak, lanjut dr Irene, dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau melalui stetoskop.

“Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien, seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi. Adapun tanda alergi lainnya adalah allergic shiners atau geographic tongue,” jelasnya.

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menunjukkan variabilities gangguan aliran napas akibat obstruksi, hiperaktivitas, dan inflamasi saluran pernapasan, atau keberadaan atopi pada pasien.

Dokter Irene menambahkan, salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibility dan untuk menilai variabilities. Jika memiliki fasilitas terbatas, dokter dapat melakukan pemeriksaan dengan peak flow meter.

Selain itu, uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE spesifik juga dapat dilakukan. Berikutnya, uji inflamasi saluran pernapasan, seperti fractional exhaled nitric oxide (FeNO) dan eosinofil sputum.

“Pemeriksaan penunjang yang tak kalah penting adalah uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin hipertonik. Setelah anak mendapatkan diagnosis yang pasti, dokter dapat mulai merencanakan langkah penanganan tepat untuk menangani asma pada anak,” terangnya.

Tujuan penanganan

Dokter Iren menjelaskan, untuk mengendalikan asma pada anak serta mengurangi risiko serangan, perlu dilakukan penanganan jangka panjang. Penanganan ini juga dapat meminimalisasi risiko penyempitan saluran pernapasan yang menetap dan efek samping pengobatan.

Dengan langkah penanganan tersebut, orangtua dapat menjamin anak tumbuh serta berkembang secara optimal.

“Tujuan penanganan jangka panjang yang dapat dicapai, antara lain, adalah aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga. Selain itu, gejala tidak timbul pada siang ataupun malam hari serta meminimalisasi kebutuhan obat serta serangan, serta meminimalkan efek samping obat yang dapat memengaruhi tumbuh kembang anak,” tambahnya.

Ia menambahkan, penanganan jangka panjang pada asma anak dibagi menjadi dua. Pertama, tata laksana non-medikamentosa (penanganan nonobat). Kedua, tata laksana medikamentosa (penanganan dengan pemberian obat pada pasien).

Terkait tata laksana medikomentosa, obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller).

Untuk diketahui, obat pereda juga disebut sebagai obat pelega atau obat serangan. Obat ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan gejala tidak ada lagi, pemakaian obat dapat dihentikan.

Sementara, obat pengendali digunakan untuk mencegah serangan asma. Obat ini berguna untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi respiratori kronik sehingga tidak timbul serangan atau gejala asma.

“Obat pengendali digunakan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, tergantung pada kekerapan gejala asma serta respons terhadap pengobatan atau penanggulangan,” jelasnya.

Kemudian, untuk tata laksana nonmedikasi, penghindaran pencetus asma harus dilakukan pada anak, selain tata laksana KIE, yaitu komunikasi, informasi dan edukasi, baik pada pasien maupun keluarga.

Adapun serangan asma dapat terjadi akibat dua faktor, yaitu kegagalan dalam farmakoterapi jangka panjang dan kegagalan menghindari faktor pencetus. Hal ini dapat menyebabkan keadaan yang sebelumnya tidak ada gejala menjadi bergejala atau yang gejalanya ringan menjadi berat.

“Ada banyak faktor risiko terhadap kejadian asma pada anak. Namun, dua faktor besar yang dipercaya sangat berperan pada kejadian asma, yaitu faktor genetik dan lingkungan,” terangnya.

Ia menambahkan, faktor genetik hampir tak dapat dimodifikasi lagi dalam tata laksana penghindaran pencetus. Sementara, faktor lingkungan diklasifikasikan dalam beberapa kategori, yakni alergen hirupan (indoor dan outdoor), iritan, kondisi komorbid, dan faktor lain.

Oleh karena itu, untuk meminimalkan risiko serta upaya preventif asma pada anak, kunjungi dokter spesialis anak untuk membantu Anda dalam mendiagnosis serta langkah pengobatan yang diperlukan.

“Asma dapat menyerang anak kapan pun dan di mana pun sehingga penting bagi orangtua untuk mulai mengetahui risiko tersebut sejak dini demi memulai perencanaan penanganan yang lebih baik.

Namun, tidak hanya asma, alergi memiliki banyak jenis dan juga faktor yang sebaiknya diketahui orangtua sejak dini.

Lantas, seperti apa risiko dan potensi dari alergi pada anak serta langkah apa yang perlu dilakukan sebagai orangtua? Simak penjelasan secara langsung dr Irene Melinda Louis, SpA, dari RSIA Family dan Grand Family di sini.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com