Advertorial

BRI Targetkan Porsi Loan at Risk Kembali Single Digit pada 2025

Kompas.com - 20/07/2023, 18:25 WIB

KOMPAS.com - Kondisi ekonomi yang sembaik memacu optimisme pada industri perbankan, salah satunya dalam hal penurunan kredit yang direstrukturisasi pascapandemi Covid-19.

Seiring geliat pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang meningkat, salah satu bank terbesar Tanah Air, PT Bank Rakyat Indonesia atau BRI menargetkan kredit yang direstrukturisasi kembali menjadi single digit atau sama seperti kondisi sebelum krisis akibat pandemi melanda dari total jumlah portofolio kredit pada 2025.

Direktur Manajemen Risiko BRI Agus Sudiarto menjelaskan, secara akumulatif, kredit BRI yang direstrukturisasi sebagai dmapak pandemi tertinggi mencapai 30 persen dari total portofolio. Puncaknya terjadi sekitar September 2020 dengan nilai lebih dari Rp 250 triliun.

“Alhamdulillah, saat ini (kredit yang direstrukturisasi) sudah jauh berkurang. Posisi pada Juni 2023, tinggal Rp 83,2 triliun atau sekitar 7,64 persen dari total kredit BRI. Jadi, setiap bulan, kami turun antara Rp 3 triliun – Rp 5 triliun,” ujar Agus dalam rilis yang diterima Kompas.com, Kamis (20/7/2023).

Agus berharap, sisa kredit yang direstrukturisasi dapat pihaknya kelola dengan baik sehingga terus menurun.

“Kami harapkan, porsi tersebut dapat terus turun hingga rasio loan at risk (LAR) BRI bisa kembali dari 15,1 persen pada Juni 2023 menjadi single digit. Mungkin (capaian tersebut) akan kami dapat pada akhir tahun 2024 atau 2025,” ujarnya optimistis.

Untuk memperkuat kondisi agar terus membaik, Agus menjelaskan, pihaknya menerapkan strategi konservatif dengan mengalokasikan dana pencadangan yang memadai sebagai salah satu mitigasi risiko.

Adapun non-performing loan (NPL) coverage BRI selama masa pandemi, yaitu mencapai 247,98 persen pada 2020 atau naik menjadi 278,14 persen pada 2021.

Pada 2022, persentasenya ditingkatkan menjadi 291,54 persen. Sedangkan pada kuartal I/2023 sebesar 268,93 persen.

“Jadi, dari 2020, 2021, sampai 2022, kami melakukan upaya mitigasi yang sangat konservatif dengan melakukan pencadangan-pencadangan yang cukup memadai sehingga kenaikannya cukup signifikan dibandingkan posisi pre-pandemic,” lanjutnya.

Hal itu pun, kata dia, berpengaruh dalam mengatrol cost of credit. Biasanya, cost of credit sebelum pandemi hanya sekitar 2 persen menjadi 3 persen selama masa pandemi.

Sementara pada 2023, perseroan memproyeksikan cost of credit mulai turun dan berada di kisaran 2,2-2,4 persen.

Agus menilai, kendati kondisi industri perbankan nasional saat ini lebih baik dan cost of credit BRI mulai turun setelah didera pandemi, manajemen perseroan tetap melakukan pencadangan secara konservatif.

“BRI tidak ingin mengabaikan kondisi ekonomi pada tataran global yang masih penuh ketidakpastian,” ujarnya.

Seperti diketahui, kondisi geopolitik di Eropa masih memanas akibat perang Ukraina-Rusia. Era suku bunga tinggi diberlakukan banyak bank sentral, termasuk di Amerika Serikat. Belum lagi, inflasi di berbagai belahan dunia juga masih tinggi.

“Di negeri kita, kondisinya masih lebih baik dari beberapa kawasan, baik dari sisi tingkat inflasi maupun pertumbuhan ekonomi. Hal ini berpengaruh pada kondisi di sektor perbankan. Meskipun kondisi perbankan lebih baik, kami tetap melakukan pencadangan secara konservatif. Jadi meskipun kondisi domestik membaik, kami tidak mengabaikan kondisi di luar,” papar Agus.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com