Advertorial

Menikah pada Usia Tepat Jadi Kunci Pencegahan Stunting

Kompas.com - 27/07/2023, 12:33 WIB

KOMPAS.com - Tengkes atau stunting menjadi salah satu masalah serius di Indonesia. Seperti diketahui, stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita).

Kondisi tersebut disebabkan kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, terutama pada periode 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Adapun periode HPK dimulai sejak janin hingga anak berusia 23 bulan.

Anak tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badannya berada di bawah minus dua standar deviasi panjang atau tinggi anak seumurnya.

Salah satu faktor penyebab stunting adalah menikah di usia muda atau dini. Pasalnya, ibu yang hamil di usia terlalu muda pada umumnya belum siap secara fisik dan mental. Akibatnya, bayi berisiko besar lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan terkena stunting.

Hal tersebut disampaikan Ketua Tim Informasi Komunikasi Kesehatan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Marroli J Indarto dalam Genbest Talk bertema “Reproduksi Sehat, Generasi Hebat No Debat” di Purbalingga, Jawa Tengah, Rabu (26/7/2023).

Diseminasi informasi dan edukasi percepatan penurunan stunting itu dihadiri para remaja di Purbalingga dan sekitarnya.

Marroli menjelaskan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 telah menetapkan batas usia minimal pernikahan, yakni 19 tahun. Sementara itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merekomendasikan usia siap menikah minimal 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki.

“Usia menikah untuk perempuan 21 tahun dan 25 tahun untuk laki-laki. Standar ini ditetapkan karena pada usia ini, laki-laki dan wanita dinilai siap secara fisik, mental, finansial, moral, emosional, sosial, interpersonal, keterampilan hidup, serta intelektual,” kata Marroli dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (27/7/2023).

Marroli menjelaskan, calon pengantin dapat mencegah stunting dengan mengonsumsi makanan bergizi, menjalani diet sehat, mengonsumsi rutin tablet tambah darah (TTD), serta menjaga kebersihan diri.

Selain itu, calon pengantin juga wajib memeriksakan kondisi kesehatan maksimal tiga bulan sebelum menikah ke puskesmas ataupun fasilitas kesehatan lain yang ditunjuk oleh pemerintah. Tujuannya, supaya calon pengantin bisa mendapatkan Sertifikat Layak Kawin.

Pada kesempatan tersebut, dr Clarin Hayes yang menjadi narasumber mengatakan bahwa dari segi medis, pernikahan dini berbahaya dan mengancam keselamatan calon ibu.

“Organ reproduksi perempuan di bawah 20 tahun masih berkembang. Apabila organ reproduksi masih membutuhkan nutrisi untuk berkembang dan sudah mengandung janin, dikhawatirkan tumbuh kembangnya tidak optimal,” papar dr Clarin.

Selain organ reproduksi, dr Clarin menjelaskan bahwa kesiapan mental calon pengantin sangat berpengaruh pada lahirnya generasi yang sehat.

“Menurut berbagai penelitian, penyakit mental, seperti depresi, berpotensi lebih tinggi pada wanita hamil yang berusia di bawah 20 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia ini, ibu hamil masih dalam fase mencari jati diri,” ujarnya.

Oleh karena itu, dr Clarin mengimbau agar generasi muda memahami risiko stunting. Pasalnya, anak yang terlahir stunting tidak hanya memiliki tubuh lebih pendek, tapi juga berisiko memiliki tingkat kecerdasan rendah. Hal ini dapat menurunkan tingkat produktivitas pada anak sehingga tidak kompetitif.

Kasus pernikahan dini di Kabupaten Purbalingga

Kepala Bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera Dinas Sosial, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Purbalingga, Mukhsinun, menyampaikan bahwa kasus pernikahan dini yang dilaporkan di Kabupaten Purbalingga tidak terlalu banyak.

“Kalalu masalah data, sebetulnya tidak terlalu banyak, paling di bawah 100. Namun, memang satu bulan terakhir ini yang sempat datang ke kami mulai dari tiga sampai empat laporan. Artinya, (pasangan) yang tidak konsultasi ke kami lebih banyak dari itu,” ujar Mukhsinun.

Mukhsinun menjelaskan, pernikahan dini di Purbalingga disebabkan oleh beberapa faktor. Masalah ini pun ia nilai sangat kompleks. Pasalnya, orangtua di desa kerap menikahkan anak yang sudah berusia 15 tahun.

“Selain itu, terdapat berbagai faktor lain yang membuat kami tidak bisa berbuat banyak,” tuturnya.

Untuk mencegah pernikahan dini dan stunting, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purbalingga terus melakukan beberapa kegiatan tentang reproduksi sehat kepada generasi muda.

Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menyebut, stunting di Kabupaten Purbalingga mencapai 26,8 persen. Jumlah ini berada di urutan ke-empat dari seluruh kabupaten di Jawa Tengah. Sementara itu, angka stunting tertinggi di Jawa Tengah adalah Kabupaten Brebes sebesar 29,1 persen dan Kabupaten Temanggung sebesar 28,9 persen.

Marroli menjelaskan, Kemenkominfo sudah melakukan kampanye penurunan stunting. Upaya ini dilakukan untuk mendukung penurunan angka stunting di Indonesia berada di 14 persen pada 2024 sesuai yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) .

Sejak 2019, Kemenkominfo telah menggandeng generasi muda untuk turut serta mendukung upaya penurunan prevalensi stunting melalui Generasi Bersih dan Sehat (Genbest). Kampanye ini merupakan inisiasi Kemenkominfo untuk menciptakan generasi Indonesia yang bersih dan sehat serta bebas stunting.

Sebagai informasi, Genbest Talk yang diadakan di Kabupaten Purbalingga merupakan bagian dari kampanye Genbest. Genbest mendorong masyarakat, khususnya generasi muda, agar menerapkan pola hidup bersih dan sehat di kehidupan sehari-hari.

Melalui situs genbest.id dan media sosial @genbestid, Genbest juga menyediakan berbagai informasi seputar stunting, kesehatan, nutrisi, tumbuh kembang anak, sanitasi, siap nikah, serta reproduksi remaja. Informasi disajikan dalam bentuk artikel, infografis, serta videografi.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com