Advertorial

Kepemimpinan Kuat Jadi Kunci Kesuksesan Transformasi BRI

Kompas.com - 01/09/2023, 20:05 WIB

KOMPAS.com – Di tengah tantangan zaman, transformasi menjadi sebuah keniscayaan bagi korporasi untuk mempertahankan pertumbuhan berkelanjutan. Keberhasilan transformasi pun ditentukan oleh pucuk kepemimpinan yang kuat.

Hal itu diungkapkan Direktur Utama BRI Sunarso dalam seminar bertajuk “Leadership in Changing Atmosphere” yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Institute, Kamis (24/8/2023).

Sunarso menjelaskan, pada Basel III–sebuah framework yang menetapkan standar internasional untuk kecukupan modal bank, stress testing, dan persyaratan likuiditas–terdapat delapan poin yang perlu dikelola dengan baik oleh industri keuangan, khususnya perbankan.

Kedelapan poin tersebut adalah risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategi, dan risiko kepatuhan.

Dari seluruh poin tersebut, Sunarso menilai bahwa risiko yang paling menantang adalah risiko strategi.

“Ini risiko yang mengekspos kita dan berakibat pada gagalnya kita bersaing. Karena strategi yang kita terapkan tidak tepat, kurang tepat, atau sedikit kurang tepat, atau terlambat. Jadi, cara merespons strategic risk yang paling utama adalah kemauan kita untuk berubah. (Hal) itulah yang kita sebut transformasi,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (1/9/2023).

Di sisi lain, kata Sunarso, mengelola transformasi bukan perkara mudah. Bahkan, dapat dikatakan bahwa transformasi sama dengan mengelola sesuatu yang dilematis. Sebab, hasil transformasi umumnya baru tampak dalam waktu yang relatif jangka panjang.

“Sering seorang chief executive officer (CEO) takut melakukan transformasi karena mengejar aspirasi dan menyelamatkan perusahaan (dalam) jangka panjang, tapi mengorbankan kinerja perusahaan hari ini,” tuturnya.

Sebaliknya, imbuh Sunaro, jika perusahaan terlalu mengejar kinerja hari ini, maka risiko strategi akan terakumulasi. Kondisi ini membuat perusahaan sulit untuk bangkit yang ditandai dengan kegagalan korporasi.

Oleh karena itu, Sunarso memaparkan bahwa ada 4 syarat yang perlu dilakukan perusahaan untuk meraih kesuksesan transformasi.

Pertama, obyek yang ditransformasikan harus jelas. BRI sendiri telah mentransformasikan dua pilar fundamental perusahaan, yakni digital dan culture. Transformasi kedua pilar tersebut sudah dimulai sejak 2016,

Kedua, harus ada pemimpin yang menggerakkan dalam bertransformasi. Sunarso menekankan, dalam hal ini, pimpinan tertinggi memegang peranan paling penting. Pasalnya, pemimpin secara langsung terlibat dan mengawasi obyek yang ditransformasikan.

Ketiga, seluruh aktivitas dan aspirasi transformasi itu harus di-buy-in atau dikehendaki oleh seluruh karyawan.

Keempat, transformasi harus menjadi mekanisme kesisteman. Oleh karena itu, transformasi harus ditulis dan disusun dalam bentuk cetak biru. Kemudian, dalam menyusun cetak biru transformasi, manajemen memetakan kekuatan, kelemahan, tantangan, dan peluang yang dimiliki perusahaan.

Setelah itu, manajemen perusahaan dapat menyusun visi serta strategi dan waktu untuk merealisasikan transformasi yang direncanakan.

Langkah berikutnya, perusahaan dapat merancang struktur organisasi, mulai dari menyusun model bisnis hingga mendesain model bisnis baru.

Dalam hal itulah, transformasi digital BRI memiliki dua fungsi, yaitu efisiensi dan menciptakan model bisnis baru sehingga membentuk value baru.

“Terakhir, yang harus kita desain adalah perilaku kolektif yang efektif untuk mencapai tujuan. Itulah yang kita sebut mendesain culture. Jadi, culture di sini adalah agregasi dari perilaku-perilaku individu. Mindset individu yang secara kolektif itu adalah sangat efektif untuk mencapai tujuan bersama. Saya kira, itu prinsip-prinsip untuk transformasi,” ujar Sunarso menegaskan.

Melalui upaya transformasi tersebut, BRI ingin merealisasikan dua visi besar pada 2025, yakni menjadi “Champion of Financial Inclusion” dan “The Most Valuable Banking Group in South East Asia”.

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara mengatakan bahwa adaptasi atau transformasi harus diperhatikan dan dilakukan dalam menghadapi perubahan tantangan seiring perkembangan zaman.

“Sebagai manusia, adaptasi atau transformasi perlu terus dilakukan,” jelasnya.

Mirza mencontohkan transformasi yang terjadi saat pandemi Covid-19 melanda dunia. Kondisi ini membuat dunia harus menghadapi krisis ekonomi, krisis kemanusiaan, dan krisis kesehatan.

“Dampak negatif (pandemi Covid-19) besar sekali. Oleh karena itu, kalau kita bicara sebagai korporasi, sebagai perusahaan, baik itu perusahaan besar, menengah, maupun kecil, kita harus bisa beradaptasi terhadap perubahan tersebut,” tandasnya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com