Advertorial

Wayang Kulit, Kekayaan Budaya Sumber Inspirasi Pembangunan Karakter Anak Bangsa

Kompas.com - 04/09/2023, 19:19 WIB

TRENGGALEK,KOMPAS.com - Pementasan berbagai macam kesenian daerah dan nasional, termasuk wayang kulit, banyak digelar selama Agustus 2023.

Pementasan selama periode waktu tersebut sudah menjadi rutinitas tahunan bagi masyarakat sebagai wujud perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

Salah satu warga Trenggalek, Jawa Timur, Najib Brilian mengatakan bahwa terdapat beberapa tempat yang menampilkan pementasan wayang kulit di wilayahnya.

"Setahu saya, di kecamatan Dongko dan di Alun-Alun Treggalek," terang Najib saat ditemui Kompas.com di tempat kerjanya, Kamis (4/9/2023).

Secara umum, kata Najib, pertunjukan wayang kulit adalah salah satu budaya yang harus sering kali digelar.

Sebab, pergelaran wayang kulit bisa mengangkat kearifan lokal serta menjadi sumber inspirasi bagi anak bangsa untuk membengun karakter.

"Kita sering kali mendengar, wayang kulit terdapat berbagai karakter dan sudah ada sejak jaman para wali," ujar Najib.

Salah satu tokoh budayawan nasional, Sudarko Prawiroyudo, menjelaskan bahwa wayang kulit merupakan seni budaya tradisi yang sudah diwariskan sejak jaman kerajaan. 

“Dengan menjadikan budaya sebagai referensi pembangunan karakter, maka budaya tersebut akan selalu diingat dan dilestarikan dari waktu ke waktu,” terangnya melalui rilis pesan singkat, Senin.

Ia menjabarkan, dialog yang terbangun dalam pementasan lakon wayang kulit kerap menyuratkan pesan penting bagi penonton.

Sebagai contoh, cerita pewayangan berjudul Arjuna Wiwaha. Lakon tersebut bisa menjadi referensi dalam menjelaskan pentingnya figur yang mumpuni dan layak dijadikan panutan untuk kemudian dipersiapkan menjadi pemimpin bangsa. 

“Setiap pergelaran wayang kulit selalu menyentuh lima wujud kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lima wujud tersebut adalah ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan nasional,” terang Sudarko.

Menurut Sudarko, tantangan Indonesia dalam melestarikan budaya tidaklah mudah. Banyaknya kebudayaan di Indonesia membuka kemungkinan bagi negara lain untuk mengakuinya, terutama negara tetangga. 

Oleh sebab itu, sambungnya, generasi muda perlu ikut serta dalam usaha menjaga keamanan budaya dengan mempraktikkan cara berbahasa, menjadi pelaku seni budaya, hingga menjadi penikmat budaya Nusantara. Dengan begitu, budaya tidak mudah diambil atau diakui oleh negara lain.

Selain itu, kata Sudarko, pergelaran wayang kulit juga bisa memupuk rasa bangga terhadap budaya bangsa. Hal ini pun perlu disertai semangat nasionalisme yang tinggi untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. 

“Modernisme merupakan keniscayaan yang tak bisa ditolak di tengah dinamika zaman. Namun, jati diri bangsa Indonesia sebagai manusia berbudaya harus tetap ditanamkan di benak generasi muda. Artinya, ke manapun anak-anak muda ini pergi dan berkarya, mereka tetap menjaga warisan luhur nilai-nilai budaya Nusantara,” terang Sudarko.

Praktisi pendidikan yang juga pelaku seni budaya, Sumadiningrat, turut mengingatkan pentingnya membangun kebanggaan atas budaya Indonesia. 

Menurutnya, rasa bangga atas budaya bangsa tersebut bisa dikembangkan dengan mengembangkan konten-konten seputar budaya melalui media sosial, yang kini marak digunakan generasi-Z Indonesia.

“Sejalan dengan semangat pemajuan kebudayaan, pendidikan seputar nilai-nilai budaya Indonesia harus dimulai sejak dini. Harus diakui, menguatnya tren gaya hidup modern yang kebarat-baratan, menjadikan sebagian generasi muda Indonesia kurang mengenal budaya daerahnya sendiri,” terang Sumadiningrat.

Ia menambahkan, banyak generasi milenial saat ini yang terkesan enggan mempelajari dan melestarikan budaya Indonesia. 

Untuk itulah, Sumadiningrat mengingatkan akan pentingnya internalisasi pemahaman kebudayaan Indonesia sebagai karakter dan jati diri bangsa. Hal ini pun harus bisa diperkuat dalam semangat nasionalisme. 

Sebab, katanya, kekuatan alami bangsa Indonesia bermula dari kekayaan budaya di masing-masing suku. Perbedaan suku, agama, latar belakang ekonomi, dan politik justru menjadi modal untuk memperkuat persatuan Indonesia yang dibangun di atas perbedaan. 

"Pengikat dari seluruh perbedaan tersebut adalah nasionalisme," imbuh Sumadiningrat.

Menurutnya, penetapan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia berelasi kuat dengan semangat nasionalisme.

"The founding fathers Indonesia tidak memilih agama ataupun sekulerisme sebagai dasar negara. Namun, (mereka) merumuskan sendiri dasar negara bernama Pancasila yang digali dari budaya bangsa Indonesia. Pancasila inilah yang mengikat bangsa Indonesia. Kekayaan budaya dan tradisi suku-suku di tanah air diikat dalam satu semangat yang berbunyi Bhineka Tunggal Ika,” tambahnya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com