Advertorial

Gelar Academia Politica, Generasi Melek Politik Dorong Anak Muda Jakarta Berpartisipasi dalam Penyelesaian Masalah Limbah Plastik

Kompas.com - 09/09/2023, 11:21 WIB

KOMPAS.com - Sebagai kota metropolitan terbesar di Indonesia, Jakarta masih menghadapi masalah serius dalam pengelolaan sampah, khususnya limbah plastik.

Berdasarkan data Indonesia National Plastic Action Partnership yang dirilis pada April 2020, Indonesia menghasilkan 6,8 juta ton sampah plastik setiap tahun.

Sebagian besar sampah tersebut atau sekitar 80 persen masih berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Sementara, sampah-sampah yang berhasil diolah melalui daur ulang hanya berkisar 10 persen.

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu peran aktif dari berbagai pihak, termasuk anak muda yang merupakan generasi penerus bangsa.

Merespons hal tersebut, Yayasan Partisipasi Muda atau Generasi Melek Politik (GMP) menyelenggarakan program Academia Politica. Acara ini digelar untuk mendorong anak muda Jakarta ikut berperan dalam menghasilkan produk kebijakan dan kemunculan pemimpin “green leadership”. Program tersebut digelar dalam format workshop simulasi pembuatan kebijakan publik yang berfokus pada agenda setting.

Academia Politica kali ini mengusung tema “Mengemban Limbah Kita, Benahi Kota Plastik” dan diikuti oleh 84 pelajar sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK), serta mahasiswa dan mahasiswi tingkat pertama sampai ketiga di wilayah Jabodetabek dan sekitarnya.

Kegiatan hasil kerja sama dengan Satuan Inisiator Jingga (SATRIA) itu berlangsung di Auditorium Gedung C, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), Jumat (1/9/2023).

Paparkan bahaya sampah

Program Academia Politica kali ini turut menghadirkan beberapa narasumber dari berbagai latar belakang. Salah satunya adalah Head of Business Development Waste4Change Martin Manorek yang memaparkan materi tentang pengelolaan sampah dari perspektif pelaku industri berbasis sosial (sociopreneur).

Pada kesempatannya, ia mengajak para peserta untuk mengingat kembali ledakan dan longsor di TPA Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005. Peristiwa nahas ini menyebabkan 143 kematian dan menghapus dua desa dari peta.

Dari kejadian itu, kata Martin, sampah bisa memicu bencana besar. Hal ini pun tak terlepas dari perilaku manusia yang cepat menjadikan segala sesuatu menjadi sampah.

“Masyarakat terbiasa dengan hal-hal yang serbainstan dan budaya konsumtif. Dengan kata lain, gaya hidup seperti ini berkontribusi pada produksi sampah. Masalah ini dapat diatasi dengan berbagai cara. Salah satunya mempertahankan nilai suatu barang agar dapat lebih lama digunakan,” ujarnya seperti dikutip dari siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (8/9/2023).

Permasalahan sampah kian pelik dan tak kunjung menemukan solusi lantaran terkendala regulasi dan anggaran. Hal ini diungkapkan Kepala Subdirektorat (Kasubdit) Pengelolaan Hasil Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Ujang Solihin Sidik.

Ujang juga menyebutkan beberapa persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan sampah. Salah satunya adalah alokasi anggaran penanganan isu lingkungan dari pemerintah daerah (pemda) yang rendah, yakni hanya 0,51 persen dari total anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

“Persoalan selanjutnya adalah banyak masyarakat Indonesia masih belum peduli mengenai sampah (72 persen) dan ketidakoptimalan pebisnis menjalankan perannya dalam menjaga lingkungan. Pebisnis harus ditekan untuk berbisnis secara bertanggung jawab. Itu menjadi persoalan-persoalan isu sampah di Indonesia saat ini,” jelas Ujang.

Diajarkan membuat kebijakan publik

Setelah mendengarkan materi dari narasumber, para peserta kemudian melakukan simulasi pembuatan kebijakan publik terkait Jakarta Darurat Plastik. Mereka mempraktikkan role playing dan terbagi ke dalam kelompok yang mewakili akademisi, legislator, pemerintah, non-governmental organization (NGO), dan korporasi atau pebisnis.

Masing-masing kelompok diminta untuk menyusun argumentasi sesuai peran dan mengirimkan dua orang perwakilan sebagai juru bicara untuk menyampaikan pendapat. 

Hal itu bertujuan agar mereka dapat mengetahui kemampuan komunikasi politik yang dibutuhkan untuk membuat suatu kebijakan, seperti public speaking, membangun argumen, dan negosiasi.

Setelah sesi penyampaian pendapat, masing-masing kelompok juga diberikan waktu untuk melakukan counter-argument terhadap kelompok lain. Proses ini berlanjut hingga setiap kelompok melakukan voting untuk menyetujui.

Pada akhirnya, tercapai konsensus untuk menciptakan sebuah kebijakan yang lebih ramah lingkungan. Penciptaan kebijakan ini, dalam praktiknya, harus didukung oleh seluruh pemangku kepentingan.

Selama sesi tersebut, peserta mendapatkan bimbingan dan arahan dari beberapa narasumber yang berpengalaman di bidang kebijakan publik. Salah satunya adalah Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman.

Kepada para peserta, ia memperkenalkan framework regulatory impact assessment (analisis dampak peraturan) yang memuat aspek-aspek dasar dalam perancangan kebijakan publik.

Aspek tersebut di antaranya adalah intervensi pemerintah harus memiliki alasan, kebijakan yang dipilih merupakan alternatif terbaik, memperhitungkan manfaat dan biaya, dilakukan konsultasi publik, serta tidak ada beban yang tidak perlu.

“Tata kelola kebijakan buruk dikarenakan partisipasi semu, nir-transparan, dan minim akuntabilitas,” ujarnya di akhir sesi.

Keterlibatan anak muda dalam penyelesaian permasalahan sampah pun mendapat dukungan dari Wakil Manajer Khusus Bidang Kemahasiswaan FISIP UI Drs Raymond Michael Menot.

Ia menyampaikan bahwa anak muda perlu membuat gebrakan dan hadir di parlemen. Namun, kritik yang disampaikan harus memiliki argumentasi yang jelas.

“Hal itu yang membedakan anak muda yang ikut dalam kegiatan Academia Politica ini dengan orang-orang yang hanya berkoar soal lingkungan tanpa memiliki landasan pemikiran yang jelas,” ujarnya.

Sepakat dengan Raymond, Direktur Eksekutif Yayasan Partisipasi Muda Neildeva Despendya Putri mengatakan bahwa anak muda saat ini harus memahami sepenuhnya isu politik Indonesia. Dengan begitu, mereka tidak lagi hanya dijadikan kantong suara.

Ia pun berharap, Academia Politica dapat menjadi tempat belajar sekaligus wadah intelektual dan partisipasi pemuda Indonesia untuk mendapatkan kemampuan agenda setting, negosiasi, argumentasi, serta merumuskan rekomendasi kebijakan.

Nantinya, peserta terbaik dalam program itu berkesempatan untuk mengikuti Council of Gen Z, pertemuan perwakilan anak muda Indonesia untuk berinteraksi langsung dengan calon presiden atau tim sukses calon presiden di Pemilu 2024.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com