Advertorial

Kemenkominfo Ajak Generasi Muda Padang Jadi Pemilih Cerdas

Kompas.com - 13/10/2023, 17:27 WIB

KOMPAS.com – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengajak generasi muda Padang untuk menjadi pemilih cerdas menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Hal itu diwujudkan melalui gelaran Forum Literasi Demokrasi bertema “Wujudkan Demokrasi Sehat di Dunia Digital” yang digelar Kemenkominfo di Padang Old Town, Sumatera Barat, Jumat (13/10/2023).

Sebagai informasi, Kemenkominfo juga menggelar kegiatan serupa di beberapa kota besar lainnya, seperti Pekanbaru, Denpasar, Manokwari, dan Yogyakarta.

Ketua Tim Kerja Informasi dan Komunikasi Politik dan Pemerintahan Kemenkominfo Agus Tri Yuwono berharap, pesta demokrasi lima tahunan itu dapat dioptimalkan para pemilih pemula sebagai sarana literasi demokrasi yang sehat dan meriah.

Apalagi, mereka menghadapi tantangan berupa sebaran konten di berbagai kanal informasi dan komunikasi yang perlu dikonsumsi secara cerdas dan bijaksana.

Agus menyampaikan bahwa masyarakat, khususnya generasi muda, perlu lebih jeli dan waspada dalam memilah dan memilih asupan berita, informasi, atau konten yang ada di media-media digital. Utamanya, ketika mencari referensi untuk mengambil keputusan terkait pesta demokrasi lima tahunan itu.

“Marilah kita bersama-sama menjaga demokrasi Pancasila di ruang-ruang digital agar pesta demokrasi lima tahunan ini berlangsung secara damai, sehat, dan meriah,” ajak Agus.

Indonesia, tambah Agus, merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Kematangan demokrasi untuk melahirkan pemimpin-pemimpin terbaik untuk bangsa Indonesia masih membutuhkan perhatian bersama.

Mengacu pada data Badan Pusat Statistik, indeks demokrasi Indonesia pada 2021 mencapai 78,12 persen dan 2022 mencapai 80,41 persen.

Pada skala global, demokrasi Indonesia pada tahun 2021 mendapatkan skor 6,71 yang menempati peringkat ke-50 dunia. Meskipun skor demokrasi Indonesia pada 2022 tetap sama, tetapi peringkatnya turun ke-54 dunia.

Data itu, kata Agus, menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih dalam proses pembelajaran dan belum sepenuhnya mapan.

“Inilah pentingnya kerja sama antara pemerintah beserta seluruh elemen masyarakat untuk meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, internet, dan media sosial,” ujar Agus.

Generasi apatis

Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas Andri Rusta menilai, generasi muda saat ini cenderung apatis dan tidak bergairah seperti pada 1998.

Sebagai bagian kelompok terpelajar, mahasiswa seharusnya merasakan bahwa demokrasi itu penting bagi kemajuan bangsa ini.

“Jangan sampai mahasiswa apatis terhadap kehidupan demokrasi kita karena jika demikian, maka yang terjadi adalah Indonesia tidak akan pernah maju mencapai Generasi Emas 2045,” ujar Andri.

Menurut Andri, anak muda sebagai calon pemimpin masa depan harus mampu memanfaatkan kesempatan belajar demokrasi yang menyehatkan dan penuh kemeriahan dengan menyaring informasi di media digital yang penuh dengan hoaks.

“Salah satu temuannya adalah hoaks sebenarnya ada industrinya. Karena itu, kita harus pandai saring dulu sebelum sharing,” katanya.

Sementara, influencer Shaza Bella Dona mengatakan bahwa seorang influencer sering disebut sebagai aktor digital. Dia bisa menyampaikan aspirasi masyarakat tapi dengan cara dia sendiri yang khas, bahkan dapat juga menjadi sosok key opinion leader.

Shaza mengajak mahasiswa secara aktif memanfaatkan ilmu dari kampus dan menyebarkannya di media sosial.

“Kita jangan cuma sekedar kuliah, tapi ikut terjun. Misalnya, mengikuti event, seperti pemilihan Uda-Uni untuk turut berbagi tentang politik atau hukum,” ujar Shaza.

Shaza yang juga seorang dokter itu juga mengingatkan, keterampilan digital di media sosial dapat dikontribusikan untuk membangun demokrasi yang damai, sehat, dan meriah.

“Kembangkan berbagai ketrampilan digital, jadi kreator konten atau kreatif konten di Tiktok dan Instagram. Manfaatkanlah sebaik-baiknya demi memajukan demokrasi damai di negeri ini,” katanya.

Ruang digital, tambah Shaza, memungkinan siapa pun bebas berpendapat. Ruang-ruang tersebut tak lagi dimonopoli oleh ahli politik dan pemerintahan saja. Anak muda bisa menyampaikan aspirasi politik secara langsung sebebasnya di media sosial.

Namun, lanjutnya, kebebasan itu jangan digunakan untuk melontarkan ujaran kebencian atau komentar negatif lainnya.

“Demokrasi di era digital ini sangat luas, tapi kita harus tetap ingat ada koridor yang harus kita patuhi,” tambahnya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com