Advertorial

Menyoroti Tren dan Proyeksi Masa Depan Social Commerce

Kompas.com - 28/10/2023, 09:22 WIB

KOMPAS.com – Perkembangan teknologi yang semakin pesat telah mendorong Pemerintah Indonesia untuk menetapkan berbagai regulasi, termasuk social commerce.

Salah satu regulasi yang baru-baru ini diterbitkan adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE). Peraturan ini melarang transaksi perdagangan melalui media sosial (medsos), termasuk social commerce.

Pelarangan itu menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Pihak yang sepakat menilai bahwa regulasi tersebut sebagai upaya untuk melindungi konsumen dari berbagai risiko, seperti penipuan, barang palsu, dan pelanggaran hak konsumen.

Selain itu, pelarangan itu juga dinilai sebagai upaya untuk menciptakan persaingan yang sehat di sektor perdagangan elektronik.

Di sisi kontra, pelarangan tersebut dinilai sebagai langkah tidak tepat dan justru akan merugikan konsumen dan pelaku usaha. Konsumen akan kehilangan alternatif belanja yang murah dan mudah, sedangkan pelaku usaha akan kehilangan peluang untuk menjangkau konsumen lebih luas.

Sesuai istilahnya, social commerce adalah praktik menggabungkan fungsi medsos dan e-commerce. Social commerce menggunakan fitur-fitur media sosial untuk promosi, memberikan informasi, serta bertransaksi melalui unggahan foto, video, dan live streaming.

Dengan format seperti itu, seseorang mendapatkan hiburan dan berbelanja dalam satu platform. Hal tersebut memberikan pengalaman berbeda dalam urusan berbelanja.

Bahkan, seseorang bisa saja memutuskan membeli produk, meski sebelumnya tidak berniat, hanya karena melihat unggahan atau konten dari seller.

Hal tersebut berbeda dengan e-commerce yang bersifat sebagai etalase toko. Sebelum membeli produk di e-commerce, konsumen akan mencari barang yang diinginkan melalui kolom “Search”.

Setelah itu, mereka akan membaca deskripsi produk, testimoni, dan membandingkannya dengan di toko lain. Setelah dirasa cocok, konsumen akan melakukan pembelian.

Bagi pelaku bisnis online, social commerce membuat teknik pemasaran dan promosi jadi beragam ketimbang di e-commerce. Mereka bisa mempromosikan produk secara hardsell lewat fitur live streaming atau softsell melalui konten-konten menarik.

Pelarangan social commerce di Indonesia tak lepas dari keberadaannya yang secara tidak langsung akan mengancam e-commerce.Dok. MNP Pelarangan social commerce di Indonesia tak lepas dari keberadaannya yang secara tidak langsung akan mengancam e-commerce.

Proyeksi masa depan social commerce

Keberadaan social commerce secara tidak langsung mengancam model bisnis e-commerce.

Selain bisa memancing seseorang untuk melakukan pembelian atas produk-produk yang awalnya tidak dicari, social commerce juga memiliki kemampuan untuk membaca tren pasar secara terus-menerus lewat data kebiasaan para penggunanya. Kemampuan ini tidak dimiliki e-commerce.

Adapun penggunaan data pribadi tersebut pun menjadi salah satu sorotan pengamat teknologi digital. Sebab, hal ini dinilai melanggar data privasi pengguna.

Karena itu pula, pemerintah memutuskan untuk melarang penerapan social commerce di Indonesia.

Meski demikian, kehadiran social commerce bisa dijadikan pengingat bahwa bidang pemasaran, bisnis, teknologi, dan logistik kini saling terhubung.

Hal itu menjadi dasar Program Studi (Prodi) E-Commerce Logistics di Multimedia Nusantara Polytechnic (MNP) untuk memberikan pemahaman terkait keterhubungan tersebut.

Ilmu-ilmu terkait pemasaran, bisnis, teknologi, dan logistik tidak hanya diberikan dalam bentuk teori kelas, tapi juga praktik lapangan, baik lewat magang maupun kunjungan.

Apalagi, MNP telah bermitra dengan berbagai perusahaan terkait agar peserta didik memiliki gambaran terhadap situasi industri terkini sehingga siap menghadapi perkembangan teknologi.

Untuk informasi lebih lengkap mengenai Prodi E-Commerce Logistics MNP, silakan klik tautan ini.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com