Advertorial

Kemenkominfo Ajak Anak Muda Paham UU ITE agar Bijak Berekspresi di Ruang Digital

Kompas.com - 03/11/2023, 21:27 WIB

KOMPAS.com - Kemerdekaan berekspresi di Indonesia dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Amandemen ke-2, yaitu dalam Pasal 28 E ayat (2).

Lebih lanjut, praktik kemerdekaan berekspresi diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Namun, seiring perkembangan zaman, masyarakat kini dihadapkan dengan banyak pilihan media untuk berkomunikasi serta bertukar pikiran. Salah satunya, melalui internet dan media sosial (medsos).

Guna menjaga ruang publik tetap kondusif, ramah, dan produktif dengan mendukung penggunaan internet dan kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab, pemerintah Indonesia pada 2008 mengesahkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Adapun UU tersebut kemudian direvisi pada 2016. Sejatinya, UU ITE bertujuan untuk memastikan transaksi elektronik atau e-commerce berjalan dengan baik sekaligus melindungi hak-hak konsumen.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) melalui Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Ditjen IKP) berupaya memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang jaminan kebebasan berekspresi bagi setiap warga negara serta regulasi yang melindunginya.

Ketua Tim Informasi dan Komunikasi Hukum dan HAM Kemkominfo Astrid Ramadiah Wijaya mendorong masyarakat untuk cermat dan bijak dalam berpendapat dan berekspresi, terutama di ruang digital.

“Mari bersama-sama mulai menggunakan internet dan hak berekspresi secara bertanggung jawab,” ujar Astrid dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (3/11/2023).

Untuk diketahui, paparan tersebut disampaikan Astrid dalam seminar yang digelar Kemenkominfo di Denpasar, Bali, Kamis (2/11/2023).

Selain Astrid, narasumber yang didapuk pada seminar tersebut, yakni Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga Prof Dr Henri Subiakto dan pemengaruh (influencer) Sophie Navita Barata.

Astrid berharap, diskusi dalam seminar yang berlangsung tersebut dapat dioptimalkan kaum muda untuk lebih bijak menggunakan ruang digital dalam berekspresi dan mengemukakan pendapat.

Sebagai negara ke-4 dengan jumlah pengguna internet terbanyak di dunia, Indonesia turut merasakan laju informasi yang kian deras.

Berdasarkan data We Are Social pada 2023, jumlah pengguna internet di Tanah Air mencapai 212 juta orang atau 77 persen dari total populasi.

Seperti halnya Indonesia, negara-negara anggota ASEAN juga menghadapi tantangan serupa dalam menjaga kebebasan berekspresi.

Untuk diketahui, ASEAN sudah mengesahkan Deklarasi Hak Asasi Manusia pada 18 November 2012.

Pasal 23 deklarasi tersebut menjelaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menyatakan pendapat dan berekspresi, termasuk kebebasan untuk mempertahankan pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi, baik secara lisan, tulisan, maupun melalui cara lain yang dipilih oleh orang tersebut.

Pada kesempatan sama, Henri mengatakan, berpendapat dan berekspresi dapat diatur oleh negara karena bisa mengganggu dan merugikan orang lain.

Mantan Staf Ahli Kemenkominfo periode 2007-2022 itu menyebutkan bahwa fitnah dilarang di Tanah Air dan bisa mendapatkan hukuman.

“Misalnya, fitnah atau menuduh seseorang sebagai anak haram. Pernyataan itu akan memengaruhi hajat hidup seseorang. Ini bukan bagian kebebasan berekspresi karena setiap manusia berhak hidup secara normal,” kata Henri.

Ia menilai, seluruh aturan dalam UU ITE juga dimiliki negara lain, tidak hanya di Indonesia. Untuk itu, kebebasan berpendapat bukan hak asasi yang absolut.

“Jadi, hak asasi warga negara tidak menghilangkan kewenangan negara yang mengaturnya. Pasal-pasal pidana dalam UU ITE diambil dari Budapest Convention on Cybercrime,” terang Henri.

Sebagai informasi, Budapest Convention on Cybercrime adalah perjanjian internasional yang mengatur perlindungan bagi masyarakat terhadap kejahatan dunia maya dengan tingkat kejahatan biasa.

Adapun penyelenggaraan konvensi tersebut digelar pada 2001 dan kewenangan atas penetapan isi perjanjiannya diberikan kepada Majelis Eropa.

Untuk itu, menurut Henri, masyarakat harus bisa membedakan antara tuduhan atau fitnah ataupun kritik serta opini.

“Opini adalah menilai, mengevaluasi, setuju-tidak setuju. Sementara, menuduh adalah sikap menunjuk pada perbuatan yang tidak dilakukan. Hati-hati, tidak boleh terjebak menyebarkan informasi yang belum jelas. Dalam UU ITE masyarakat harus aware terhadap pasal-pasal yang menyangkut pencemaran nama baik dan ujaran kebencian,” terang Henri.

Pada kesempatan sama, Sophie juga mengajak masyarakat mengelola kalimat secara teratur sebelum menyampaikan pendapat di ruang digital, seperti halnya prinsip komunikasi dalam public speaking.

Dengan begitu, lanjut Sophie, informasi yang hendak disampaikan ke publik dapat tersampaikan dengan jelas.

“(Kalimatnya) tidak muter-muter. Tak kalah penting, cek secara runut semua informasi,” kata Sophie.

Menurutnya, masyarakat di Tanah Air, terutama anak muda, harus bisa membawa diri di ruang digital.

Tidak hanya itu, kalangan muda juga harus mampu menahan diri dalam menulis atau mengungkapkan ekspresi. Ia pun mendorong anak muda untuk menyampaikan informasi yang esensial serta berguna bagi berbagai pihak.

Hate speech is not free speech. Mari lebih memahami UU ITE. Semua orang adalah influencer yang bisa memengaruhi orang lain dengan hal-hal baik melalui ruang digital pada akun medsos masing-masing,” ujar Sophie.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com