Advertorial

Wujudkan Hilirisasi Komoditas Lokal, Kospermindo Ekspor 4 Kontainer Rumput Laut Ke China

Kompas.com - 06/11/2023, 14:37 WIB

KOMPAS.com – Koperasi Rumput Laut Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Kospermindo) mengekspor empat kontainer rumput laut senilai Rp 500 juta ke Xiamen, China, melalui pelabuhan di Sulawesi Selatan (Sulsel).

Pengiriman ekspor rumput laut tersebut diresmikan secara simbolis oleh Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Mikro (Menkop dan UKM) Teten Masduki di Makassar, Sulsel, Sabtu (4/11/2023).

Teten mengatakan, Indonesia memiliki potensi rumput laut untuk ekspor dan keperluan dalam negeri yang besar. Tak hanya sebagai substitusi impor gandum untuk ketahanan nasional, tetapi rumput laut juga berpotensi menjadi bagian dari hilirisasi komoditas lokal.

Hal tersebut sejalan dengan program Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait dengan industrialisasi berbasis sumber daya alam (SDA) lokal.

"Rumput laut bisa menyubstitusi sekitar 30 persen kebutuhan tepung terigu untuk ketahanan pangan. Olahan rumput laut lebih dapat menjadi pengganti tepung terigu yang lebih sehat untuk pembuatan mi, kue, pupuk bio plastik, kecantikan, dan makanan ternak. Bisa dikatakan, penggunaannya sangat luas,” ujarnya dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Senin (6/11/2023).

Selain itu, pasokan bahan baku rumput laut nasional juga cukup untuk menggantikan tepung terigu impor. Dari segi harga, imbuhnya, produk ini juga lebih kompetitif ketimbang tepung terigu impor.

"Selama ini, kita impor tepung terigu dan gandum. Kalau (program) substitusi olahan rumput laut bisa terlaksana secara menyeluruh, kita akan mampu menjaga ketahanan pangan sekaligus menghemat devisa negara," kata Teten.

Untuk memuluskan hal tersebut, lanjut Teten, dibutuhkan kebijakan afirmasi dari pemerintah, yang melibatkan berbagai kementerian atau lembaga untuk bersama-sama menentukan arah kebijakan tersebut.

"Saya sudah bicarakan dan usulkan supaya ada kebijakan afirmasi, yaitu kewajiban menggunakan rumput laut pada produk berbasis terigu. (Kebijakan ini) akan dibahas lagi bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop-UKM) sendiri," katanya.

Menkop dan UKM pun menegaskan, kebijakan tersebut sudah jamak dilakukan di berbagai negara, salah satunya Jepang.

"Afirmasi kebijakan perlu didorong karena seluruh dunia juga sudah melakukan itu," ucap Teten.

Kebijakan afirmasi yang mewajibkan penggunaan rumput laut sebagai bahan baku olahan tepung terigu tersebut diharapkan dapat menjadi pengganti gandum yang bisa dipasok dari dalam negeri.

Selain itu, dengan hilirisasi atau industrialisasi, kata Teten, produk rumput laut yang selama ini diekspor masih dalam bentuk material mentah bisa diolah menjadi tepung dan barang setengah jadi.

"Dalam hal ini, koperasi berperan menjadi aggregator sekaligus pengolah rumput laut. Bisa melalui kerja sama dengan perusahaan besar untuk teknis mesin dan pengolahan," katanya.

Kebijakan afirmasi

Ketua Kospermindo Arman Arfah menjelaskan, koperasi bimbingannya melakukan ekspor dengan mengirim lebih dari 7.000 ton ke China setiap bulan.

Sejak 2004, lanjutnya, para petani rumput laut di seluruh Indonesia telah mampu mencukupi kebutuhan ekspor luar negeri. Jika kebijakan afirmasi disetujui, petani rumput laut tetap bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Koperasi Rumput Laut Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Kospermindo) melakukan ekspor dengan mengirim lebih dari 7.000 ton ke China setiap bulan.dok. Kemenkop-UKM Koperasi Rumput Laut Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Kospermindo) melakukan ekspor dengan mengirim lebih dari 7.000 ton ke China setiap bulan.

"Riset terkait pengolahan rumput laut sudah ada. Tinggal arah kebijakan yang dibutuhkan dan kesempatan yang sangat besar untuk dimanfaatkan. Kami berharap, Kemenkop-UKM bisa mendorong itu melalui kebijakan afirmasi substitusi impor untuk mencukupi pasar luar dan dalam negeri," katanya.

Arman melanjutkan, Indonesia memiliki laut terpanjang kedua dunia yang potensinya dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan masyarakat di dalam negeri. Arman pun menjamin, jika kebijakan tersebut diterapkan, kebutuhan rumput laut untuk luar dan dalam negeri dapat tercukupi.

"Kita yang membudidayakan, mengolah, dan mengonsumsinya sendiri. Saya bisa pastikan, kualitas rumput laut (yang dihasilkan) jauh lebih bagus dari produksi di luar negeri. China sudah lama memakai rumput laut dari Indonesia dan diolah di sana. Jepang pun sama. Bahan baku agar-agar mereka dipasok dari Indonesia," ujar Arman.

Arman menjelaskan, Indonesia memiliki 500 jenis rumput laut dengan potensi ekonomi. Namun, rumput laut yang tergarap baru empat jenis, yaitu teleslaria, potonik, pinosum, dan lawi lae buleva.

Adapun jenis rumput laut yang paling banyak dikirim ke luar negeri adalah potonik, teleslaria, dan spinosum.

"Kalau tiga jenis ini saja bisa dikelola dengan baik, Indonesia akan mampu memproduksi sebanyak 350.000 ton (untuk dalam negeri) dan 200.000 ton untuk ekspor. Dengan begitu, dapat membangun ketahanan pangan dalam negeri," kata Arman.

Ia menegaskan, dalam hilirisasi, koperasi sangat membutuhkan dukungan dan dorongan dari pemerintah.

"Kami siap terlibat dalam hilirisasi. Akan tetapi, kami butuh dukungan dari Kemenkop-UKM untuk hilirisasi tersebut," ujarnya.

Sebagai informasi, Kospermindo mewadahi 2.000 anggota yang mayoritas petani rumput laut. Selain membawahi Kospermindo, Arman juga merupakan Ketua Asosiasi Petani Rumput Laut Indonesia yang memiliki 10.000 anggota di seluruh Indonesia.

Sementara itu, perwakilan Head Quality Control Green Fresh, Hongbo, mengatakan bahwa dalam mengolah berbagai produk, seperti es krim, sosis, puding, kue, roti, dan mi, pihaknya menggunakan pasokan bahan baku rumput laut dari Indonesia, tepatnya Sulsel.

Green Fresh sendiri merupakan perusahaan manufaktur yang memproduksi aditif makanan dengan pabrik terbesar di dunia yang berlokasi di Xiamen, China.

"Kami mendapat pasokan rumput laut dari Sulsel sebanyak 7.000 ton per bulan dengan kualitas yang sangat bagus. Saat ini, kami memiliki satu pabrik pengolahan di Situbondo, Jawa Timur, untuk pengolahan agar-agar dengan kapasitas 1.000 ton yang juga bekerja sama dengan koperasi," katanya.

Hongbo mengakui, dalam mengolah produk dari bahan baku rumput laut, dibutuhkan investasi yang tidak murah. Biaya yang dibutuhkan untuk investasi teknologi hingga mesin pengolahan bisa mencapai 2 miliar yuan atau setara Rp 100 miliar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com