JAKARTA, KOMPAS.com – Transisi energi merupakan salah satu kunci untuk mencapai target emisi nol bersih atau net zero emission (NZE) pada 2060. Oleh sebab itu, negara-negara di dunia terus berupaya untuk mempercepat akselerasi transisi energi.
Agenda transisi energi juga menjadi fokus anggota Business of 20 (B20) dan Group of 20 (G20). Adapun G20 merupakan forum kerja sama ekonomi internasional negara-negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Sementara, B20 merupakan forum dialog antara komunitas bisnis global yang memiliki lebih dari 1.000 delegasi dari negara-negara G20.
Pada gelaran G20 India 2023, forum B20 fokus menyuarakan transisi energi yang inklusif dan adil, memastikan akses energi yang terjangkau, serta transisi energi yang ramah alam.
Salah satu gugus tugas (task force) forum B20, yakni Gugus Tugas Energi, Perubahan Iklim, dan Efisiensi Sumber Daya, merekomendasikan empat hal kepada negara-negara G20.
Pertama, meningkatkan kerja sama global dalam mempercepat transisi menuju NZE. Kedua, meningkatkan ketersediaan dan akses terhadap pendanaan iklim. Ketiga, memastikan transisi yang adil, merata, dan berketahanan.
Keempat, menciptakan kerangka peraturan, kebijakan, model bisnis, serta pembiayaan yang menghilangkan hambatan kebijakan untuk mendorong perekonomian berkelanjutan dan efisiensi sumber daya.
Selain di G20 India, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-43 ASEAN di Jakarta pada September 2023 juga fokus mendorong percepatan transisi energi ramah lingkungan.
Pasalnya, perubahan iklim berdampak langsung terhadap perekonomian negara-negara ASEAN, sebagaimana ditemukan dalam laporan Swiss Re Institute berjudul “The Economics of Climate Change: Impacts for Asia” pada 2021.
Laporan itu menyebutkan, jika tidak ada kebijakan untuk memitigasi perubahan iklim, perekonomian ASEAN akan anjlok 37,4 persen dari produk domestik bruto (PDB) 2021 pada 2048.
Komitmen Indonesia
Sebagai anggota G20 dan ASEAN, pemerintah pun berkomitmen untuk mempercepat pencapaian transisi energi sebagai salah satu upaya untuk mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat.
Adapun percepatan transisi energi telah dituangkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN), salah satunya pada sektor ketenagalistrikan.
Sekretaris Direktorat Jenderal (Ditjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ida Nuryatin Finahari menjelaskan, pihaknya telah melakukan sejumlah upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) pada sektor ketenagalistrikan.
Upaya tersebut, lanjut Ida, di antaranya adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan clean coal technology, pengoperasian pembangkit listrik gas baru, serta pembangunan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) yang terhubung ke jaringan listrik (on-grid).
“Pemerintah bersinergi dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN yang bertindak sebagai operator untuk mengembangkan pembangkit listrik EBT di Tanah Air,” jelas Ida dalam Konferensi Pers Hari Listrik Nasional Ke-78 dan Enlit Asia 2023 di Hotel Mulia Senayan, Jakarta, Rabu (18/10/2023).
Direktur Manajemen Risiko PLN Suroso Isnandar yang juga hadir pada kesempatan itu mengatakan bahwa PLN tengah berupaya untuk menjadikan EBT sebagai penghasil listrik hijau bagi masyarakat Indonesia.
“Kami tengah merencanakan dan mengembangkan 21 gigawatt (GW) pembangkit listrik EBT yang tertuang dalam The Greenest Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL),” ucap Suroso.
Tinggalkan energi fosil
Sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan jumlah penduduk besar, Indonesia membutuhkan dukungan energi listrik yang kuat.
Sayangnya, menurut catatan Our World in Data, 86,95 persen dari total produksi listrik Indonesia pada 2020 masih bergantung pada bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas.
Padahal, selain ketersediaan semakin menipis, bahan bakar fosil juga menjadi salah satu penyumbang emisi GRK terbesar.
Director of Electric Power Industry Digital Solution Huawei Indonesia Frank Zou menilai, ketergantungan Indonesia terhadap energi berbahan bakar fosil memang menjadi salah satu tantangan untuk melakukan transisi energi. Tantangan lain adalah infrastruktur yang belum memadai, kendala finansial, dan ketidaksiapan masyarakat untuk meninggalkan energi fosil.
“Penghentian penggunaan batu bara secara bertahap menjadi kunci untuk memulai transisi energi,” ujar Frank Zou melalui jawaban tertulis kepada Kompas.com, Selasa (24/10/2023).
Transisi energi, lanjut dia, juga memerlukan dukungan kebijakan dan peraturan yang jelas dari pemerintah. Proses ini juga akan berjalan mulus jika kesadaran masyarakat untuk menggunakan energi berkelanjutan terbangun.
Modernisasi jaringan listrik
Frank Zou menjelaskan, transisi energi dapat dimulai dari sejumlah sektor penting di Tanah Air. Sektor transportasi, misalnya. Pemerintah dapat menggalakkan penggunaan kendaraan listrik dan menyediakan pilihan transportasi berkelanjutan.
“Pemerintah juga dapat memulai transisi energi dengan mendorong pengembangan dan inovasi teknologi ramah lingkungan pada sektor manufaktur,” ucap Frank Zou.
Kemudian, Indonesia juga dapat mengembangkan solusi penyimpanan energi, seperti battery energy storage systems (BESS), untuk meningkatkan keandalan jaringan listrik.
Seperti diketahui, modernisasi jaringan listrik dapat mengakomodasi penggunaan EBT yang lebih besar serta memungkinkan integrasi yang andal dengan jaringan pintar dan teknologi digital.
“Hal itu dapat mengoptimalkan jaringan listrik guna meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan sambungan listrik ramah lingkungan,” kata dia.
Sebagai perusahaan information and communication of technology (ICT) terkemuka di dunia, Huawei juga berupaya untuk mendukung transisi energi global, termasuk di Indonesia.
Frank Zou menjabarkan tiga solusi berbasis teknologi digital yang dihadirkan Huawei untuk mendukung transisi energi di Indonesia.
Pertama, Smart PV Solutions, yakni inverter yang dapat diintegrasikan ke dalam pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan instalasi tenaga surya terdistribusi.
Inverter itu berfungsi meningkatkan efisiensi sistem tenaga surya. Terlebih, Indonesia merupakan negara dengan sumber tenaga surya yang melimpah.
Kedua, Battery Energy Storage Solutions, yakni sistem penyimpanan energi. Melalui teknologi ini, kelebihan energi yang dihasilkan dari EBT, seperti tenaga surya dan angin, dapat disimpan dalam baterai.
“Sistem itu dapat membantu mengelola sumber EBT Indonesia yang cenderung intermiten. Dengan demikian, pasokan listrik pun lebih stabil,” ucap Frank Zou.
Ketiga, Smart Grid Solutions yang dapat mengoptimalkan manajemen jaringan listrik, meningkatkan efisiensi pengoperasian dan pemeliharaan, serta mengurangi potensi kehilangan energi, baik pada pembangkitan listrik, transmisi, maupun distribusi.
Seluruh solusi itu, lanjutnya, didukung oleh pemanfaatan teknologi artificial intelligence (AI), internet of things (IoT), high performance liquid chromatography (HPLC) mode ganda, dan big data.
Energi panas bumi
Untuk memutus ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, terdapat sejumlah alternatif energi yang bisa dimanfaatkan. Salah satunya adalah energi panas bumi (termal).
Pengoptimalan energi termal menjadi fokus transisi energi yang dilakukan perusahaan energi asal Jepang, Jera.
“Seluruh dunia, termasuk kami, harus bekerja sama dalam transisi energi untuk menuju masyarakat hijau. Jadi, sebagai komitmen untuk mengurangi emisi karbon global, kami meluncurkan inisiatif Jera Zero CO2 Emission 2050,” jelas Chief Executive Officer (CEO) Jera Asia Toshiro Kudama.
Lewat inisiatif itu, lanjut dia, pihaknya mendukung negara-negara di dunia untuk melakukan transisi cerdas dengan memanfaatkan EBT pada pembangkit listrik tenaga panas bumi (PTLP). Pada praktiknya, PLTP ini mengusung kecanggihan teknologi digital.
Upaya pertama yang tengah dijalankan Jera adalah pemanfaatan amonia pada PTLP Hekinan di Aichi Prefectur, Jepang. Adapun PLTP ini mampu menggantikan 20 persen penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik.
Selain amonia, Jera juga memanfaatkan pembakaran hidrogen untuk pengoperasian PLTP Linden di New Jersey, Amerika Serikat (AS).
Seperti diketahui, ketimbang pembangkit listrik jenis lain, PLTP menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah. Jejak karbon yang dihasilkan pun tak banyak karena sumber energi tersedia di lokasi.
“Dengan Jera Zero CO2 Emission 2050, Jera tidak hanya berupaya menghadirkan sumber energi ramah lingkungan, tetapi juga menyediakan pasokan listrik yang stabil dan terjangkau, baik di Jepang maupun negara-negara tempat Jera beroperasi,” ujar Toshiro Kudama.
Hari Listrik Nasional Ke-78 Enlit Asia 2023
Huawei serta Jera hanya segelintir dari sejumlah pelaku di sektor industri energi dan ketenagalistrikan global yang terus mendorong transisi energi dunia.
Kedua perusahaan global itu akan memaparkan lebih detail mengenai inovasi dan teknologi yang dimiliki melalui gelaran “Hari Listrik Nasional Ke-78 Enlit Asia 2023” di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Tangerang, Banten, mulai Selasa (14/11/2023) hingga Kamis (16/11/2023).
Untuk diketahui, Enlit Asia merupakan acara konferensi serta pameran tahunan yang menyatukan dua acara besar di sektor listrik dan energi, yakni POWERGEN Asia serta Asian Utility Week.
Acara tersebut merupakan platform bagi penyedia industri terkemuka untuk menampilkan solusi, layanan, dan produk inovatif yang sejalan dengan strategi Asia untuk beralih ke pasokan energi rendah karbon.
Frank Zou mengatakan, pada ajang Enlit Asia 2023, pihaknya akan membuka booth dengan 14 layar yang mempertunjukkan inovasi, teknologi, dan solusi dalam industri tenaga listrik.
“Teknologi terkemuka yang kami kembangkan meliputi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), internet of things (IoT), dual-mode HPLC, dan big data,” ucap Frank Zou.
Teknologi tersebut, lanjut dia, telah terintegrasi dalam beragam solusi energi, seperti dalam distribusi energi berbasis IoT, sistem pemantauan gardu listrik cerdas, analisis jalur transmisi energi cerdas, pertahanan ransomware, sistem tenaga matahari cerdas, dan penyimpanan energi.
Adapun teknologi dan solusi itu dirancang untuk memberikan manfaat bagi sektor ketenagalistrikan melalui peningkatan efisiensi, daya ekonomi, dan peningkatan keamanan selama fase transisi energi.
"Semoga kehadiran kami di Enlit Asia 2023 dapat memperkuat komunikasi dan interaksi dengan para stakeholder di industri ketenagalistrikan Asia. Melalui demonstrasi teknologi dan solusi yang dikembangkan, kami berharap dapat menemukan peluang kerja sama yang lebih besar dengan pelanggan dan para mitra kami, serta mendukung percepatan transisi energi di Asia," ucap Frank Zou.
Senada dengan Frank Zou, Toshiro juga menilai bahwa Enlit Asia merupakan platform penting bagi produsen dan pemasok energi terkemuka untuk berkolaborasi, berbagi pengalaman, serta memberikan rekomendasi dalam menghadapi transisi energi.
“Kami merasa antusias dapat berpartisipasi dalam acara tersebut. Pada gelaran itu, kami akan membahas berbagai upaya yang dilakukan perusahaan untuk mendukung komitmen NZE 2050,” ucap Toshira.
Beberapa upaya tersebut, lanjut dia, meliputi penggunaan amonia dan hidrogen dalam skala besar untuk pembangkit listrik, pengembangan teknologi sintesis amonia di Jepang, serta pengembangan bahan penyerap karbon yang dikembangkan di dalam negeri untuk mengurangi biaya pemisahan dan pemulihan CO2 dari turbin gas pembangkit listrik tenaga gas (CCS).
“Kami berharap dapat memperluas kemitraan ini, termasuk potensi kerja sama dengan Indonesia,” imbuh Toshiro.