Advertorial

Lewat Forum Diskusi di Kota Surabaya, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda Pahami HKI

Kompas.com - 10/11/2023, 13:39 WIB

KOMPAS.com – Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Ditjen IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menggelar forum diskusi untuk generasi muda di Kota Surabaya, Jawa Timur (Jatim), Kamis (9/11/2023).

Mengusung tema "Lebih Paham Pentingnya Hak Kekayaan Intelektual", forum tersebut menghadirkan narasumber dari berbagai bidang, yaitu Ketua Tim Kerja Informasi dan Komunikasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Ditjen IKP Kemenkominfo Astrid Ramadiah Wijaya, Penyuluh Hukum Madya Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Provinsi Jatim Wiwin Winarti, serta influencer sekaligus pendiri Mannequin Plastic Evan Driyanada dan Attina Nuraini.

Dalam paparannya, Astrid mengemukakan signifikansi pemahaman tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) bagi setiap warga negara yang mempunyai produk dan karya. Ia menjelaskan, konsep HKI bersumber dari pemikiran bahwa karya intelektual yang telah diciptakan atau dihasilkan manusia memerlukan pengorbanan waktu, tenaga, dan biaya.

“Jadi, HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual,” jelas Astrid dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Jumat (10/11/2023).

Astrid mengatakan, pemerintah melindungi secara hukum para pemilik hak cipta berbentuk digital melalui Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sayangnya, sebagian masyarakat masih belum memahami hal tersebut.

Bahkan, Studi Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) pada 2020 menunjukan bahwa terdapat peningkatan praktik pemalsuan atas produk yang dilindungi HKI secara signifikan.

“Hasil studi menemukan, software masih menempati urutan tertinggi rentan dipalsukan hingga 84,25 persen, kemudian kosmetik 50 persen, produk farmasi 40 persen, pakaian dan barang dari kulit masing-masing 38 persen, makanan dan minuman 20 persen, serta pelumas dan suku cadang otomotif 15 persen,” terangnya.

Astrid melanjutkan, UU Hak Cipta menganut asas deklaratif. Ini berarti, seseorang yang mewujudkan ciptaannya dalam bentuk nyata dan diumumkan terlebih dahulu akan memperoleh hak atas ciptaannya tersebut.

“Hak cipta sebagai hak eksklusif melekat kepada diri penciptanya sehingga penggunaan atas ciptaan seseorang harus memerlukan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Hak cipta juga terdiri atas hak moral dan hak ekonomi,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa terkadang secara tidak sadar, masyarakat, khususnya generasi muda, mengunggah sesuatu di media sosial dengan menggunakan karya orang lain.

“Mari kita tingkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya HKI dalam kehidupan sehari-hari. Mari lebih cermat dan bijak dalam menghargai HKI yang dimiliki seseorang,” ucap Astrid.

Untuk diketahui, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan tentang HKI sejak 1840-an. Kala itu, pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan UU pertama mengenai pelindungan HKI pada 1844. Beberapa peraturan perundang-undangan HKI yang dibuat Hindia Belanda pada waktu itu adalah UU Merek pada 1885, UU Paten pada 1910, UU Hak Cipta pada 1912.

Ketiga peraturan tersebut mengalami perubahan dan revisi sesuai dengan perkembangan zaman. Perubahan terakhir dilakukan pada 2001. Saat itu, pemerintah Indonesia mengesahkan UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dan UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Wiwin menjelaskan, UU tersebut telah mengalami pembaruan, yakni pada pembahasan merek, paten, dan hak cipta. Meski begitu, menurutnya, banyak masyarakat belum mengetahui dan memahami UU HKI sehingga terjadi pelanggaran secara tidak sengaja.

Maka dari itu, ia menyarankan masyarakat untuk mencari dan mempelajari informasi terkait UU HKI secara daring melalui situs Kemenkumham.

“Semua sudah online. (Jadi), lebih mudah (mencari informasi terkait HKI),” ujar Wiwin.

Pada kesempatan itu, Evan dan Attina mengisahkan perjalanan mereka saat mendaftarkan karya sebagai pelindungan dari penjiplakan yang dilakukan individu atau institusi.

“Karena kami sudah mendaftar karya sebelumnya, UU HKI (dapat) membentengi karya kami ketika dijiplak dan diperbanyak untuk meraih keuntungan oleh orang lain,” ungkap Evan.

Selain itu, Evan dan Attina juga bercerita tentang sejarah merek yang sudah bersertifikat HKI. Keduanya pun turut membagikan beberapa kiat membuat desain baru dan menggali nama-nama merek yang unik.

Wiwin menjelaskan bahwa peristiwa yang dialami Evan dan Attina merupakan contoh pentingnya mendaftarkan HKI.

Tak hanya sertifikat merek, Wiwin menjelaskan bahwa skripsi juga termasuk karya yang bisa dibuatkan Sertifikat Hak Cipta.

“Beberapa waktu lalu ada adik-adik mahasiswa yang mendaftarkan skripsinya untuk mendapatkan Sertifikat Hak Cipta,” ungkap Wiwin.

Ia melanjutkan bahwa saat ini, pendaftaran untuk mendapatkan Sertifikat HKI bisa dilakukan secara online sehingga pemohon tidak harus mendatangi kantor Kemenkumham. Dengan begitu, proses mendapatkan sertifikat HKI menjadi lebih mudah dan cepat.

“Sejak akhir 2019, masyarakat sudah bisa mendaftarkan merek, hak cipta, dan hak paten secara online,” papar Wiwin.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com